Mengulas Keunikan Unsur Intrinsik dalam Cerpen Tukar Guling Karya Muna Masyari


Sumber: JawaPos.com

Cerita pendek atau biasa disingkat cerpen merupakan suatu karya sastra dalam bentuk tulisan yang mengisahkan tentang sebuah cerita fiksi lalu dikemas secara pendek, jelas, dan ringkas. Dengan panjang yang terbatas, cerpen mampu menghadirkan konflik, karakter, dan emosi yang mendalam, menjadikannya media yang menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut. Dalam artikel ini penulis akan mengupas secara mendalam unsur-unsur intrinsik dalam cerpen “Tukar Guling”. Sebelum mengulas unsur intrinsik, izinkan kami memberikan sinopsis cerpen ini.

Cerpen “Tukar Guling” karya Muna Masyari mengisahkan seorang ibu yang merenungi masa lalu kelamnya setelah terjebak dalam praktik “tukar guling” hingga berakhir di penjara. Selain itu cerpen ini menceritakan seorang ibu yang merenungi perubahan besar pada putrinya, terutama ketika putrinya hendak menikah. Sang ibu, yang terbiasa merawat dan melindungi putrinya sejak kecil, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa putrinya telah dewasa dan siap memulai kehidupan baru bersama suaminya. Dengan demikian, cerita ini menggambarkan rasa cinta, pengorbanan, dan keikhlasan seorang ibu, disertai nuansa tradisi yang kuat dalam budaya masyarakat.

Setelah pembaca mengetahui sinopsisnya, kemudian pembaca akan diajak untuk mengulas unsur intrinsik. Melalui unsur intrinsiknya, cerpen ini berhasil menghadirkan kedalaman cerita yang memikat. Mari kita tinjau lebih jauh unsur intrinsik cerpen ini untuk melihat bagaimana cerita ini berhasil memberikan kesan mendalam bagi pembacanya.

Tema dari cerpen berjudul Tukar Guling ini memiliki banyak golongan tema. Yang pertama ada Penggolongan Tema Dikotomis, dengan subtema Tradisional. Dalam cerpen ini dijelaskan bahwa tokoh ibu sempat di penjara dan tidak bisa bertemu dengan anaknya sangat lama ditambah pula harus merantau ke luar negeri untuk menyelamatkan kakek-nenek dari cemoohan dan hinaan karena memiliki anak seorang pembunuh. Seorang ibu yang ada didalam cerpen tersebut merenungi perubahan besar pada putrinya yang kini sudah menginjak dewasa dan siap memulai kehidupan baru bersama dengan suaminya.

Yang kedua ada penggolongan tema pengalaman jiwa dengan sub tema Tingkat Organik. Masuk ke sub tema tingkat organik karena Adanya istilah Tukar Guling yang dengan artian bertukar istri. Termasuk kedalam tema organik, karena terdapat istilah Tukar Guling atau yang disebut tukar istri, ini bertukar dengan antar sesama supir. Saat itu juga Ibu merasa marah.

Yang ketiga ada tema dengan subtema Tingkat sosial. Masuk ke subtema ini karena ada konflik berupa pembunuhan ketika Tukar Guling. Ketika melakukan Tukar Guling ibu merasa marah sehingga memberikan kekuatan untuk memberontak dan melawan serta tidak membiarkan tangan laki laki itu menyentuh kulitnya. Di dalam cerita tidak dijelaskan secara detail bagaimana dia melakukan adegan pembunuhan itu.

Pada cerpen ini menggunakan plot sorot balik, plot tunggal, dan plot padat. Plot sorot balik adalah alur cerita yang menggunakan kilas balik untuk memperlihatkan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Dalam cerpen ini dibuktikan dengan adanya tokoh Ibu yang menjelaskan melalui flashback bagaimana ia bisa berada di keadaaan sekarang.

Plot tunggal adalah alur yang hanya berfokus pada satu rangkaian peristiwa utama tanpa ada cerita sampingan. Cerita dengan plot tunggal membuat narasi terasa lebih sederhana dan fokus pada tujuan utama cerita. Pada cerpen ini dibuktikan memiliki plot tunggal karena hanya menceritakan kehidupan tokoh utama yaitu Ibu, lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya.

Plot padat adalah jenis alur cerita yang tidak memiliki banyak pengembangan cerita sampingan, sehingga terasa ringkas. Dalam pemplotan ini, setiap adegan dan dialog memiliki peran penting. Pada cerpen ini dibuktikan terdapat plot padat saat tokoh Ibu lepas dari jeruji besi dan memilih merantau ke negeri seberang tetapi tidak diceritakan bagaimana Ibu menjalani kehidupannya di sana.

Penokohan dalam cerpen ini menjelaskan mengenai tokoh sang Ibu yang
digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang, perhatian dan memiliki keterikatan emosional yang kuat dengan anaknya. Namun, dibalik diamnya terdapat perasaan sakit hati yang mendalam. Sang ibu menyimpan luka batin akibat pengkhianatan suaminya, tetapi ia tidak punya pilihan selain terus bertahan demi anaknya. Meskipun ia berat melepas anaknya, ia tetap mendukung pernikahan anaknya sebagai bentuk keikhlasan dan kasih sayang.

Ketika sang suami memutuskan untuk menukarnya dengan istri teman
suaminya, sang ibu tidak memiliki suara untuk menolak atau memperjuangkan haknya. Ia diperlakukan seperti “barang” yang dapat dipertukarkan tanpa mempertimbangkan perasaannya. Meski demikian, di balik ketundukannya, terdapat perasaan luka, sakit hati, dan kehilangan harga diri yang mendalam.

Tokoh anaknya dalam cerpen ini digambarkan sebagai pribadi yang sudah mandiri dan memahami perasaan ibunya. Anak dari sang ibu dan ayah adalah simbol dari generasi muda yang menjadi korban dari keputusan orang tua. Ia tidak memiliki kendali atas situasi yang terjadi tetapi terpaksa hidup dalam bayang-bayang konflik moral dan emosional yang diciptakan oleh orang dewasa. Tokoh ini menyoroti bagaimana tindakan orang tua dapat meninggalkan dampak psikologis yang mendalam pada anak-anak. Meski mungkin kurang eksplisit dalam menyampaikan perasaannya, anak ini tetap memiliki rasa hormat terhadap ibunya.

Sang ayah digambarkan sebagai tokoh yang menjadi sumber utama konflik dalam cerita. Ia adalah kepala keluarga yang merasa memiliki kuasa penuh atas istrinya, sesuai dengan norma patriarkal yang melekat di masyarakat. Keputusannya untuk menukar istrinya dengan istri temannya menunjukkan karakter yang egois, tidak peka, dan memandang perempuan sebagai “properti” yang bisa dipertukarkan.

Sedangkan teman sang ayah adalah tokoh setuju untuk melakukan “tukar istri” dengan sang ayah, yang menunjukkan bahwa ia juga melihat perempuan sebagai objek atau komoditas yang bisa dipertukarkan. Tokohnya digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki empati dan menganggap perempuan hanya sebagai bagian dari negosiasi.

Melalui tokoh-tokohnya, cerpen Tukar Guling menggambarkan struktur
masyarakat patriarkal yang timpang, di mana perempuan dipandang sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Sang ibu dan istri teman ayah adalah simbol dari perempuan yang menjadi korban budaya ini, sementara sang ayah dan teman ayah menjadi representasi dari norma patriarki yang memberikan kekuasaan penuh kepada laki-laki. Sang anak adalah gambaran dari generasi muda yang terkena dampak trauma akibat keputusan yang tidak adil.

Latar dalam sebuah karya sastra berperan penting dalam membangun suasana dalam karya sastra tersebut. Pelataran tidak hanya sekedar latar belakang cerita, tetapi juga menjadi elemen yang membentuk keseluruhan makna sebuah karya sastra. Dalam cerpen ini terdapat latar tempat, latar waktu, dan latar sosial yang saling menguatkan menciptakan sebuah cerita fiksi yang sangat relevan dengan kita.

Cerpen ini terdapat latar tempat yang hidup dan sangat hidup. Pemilihan latar tempat seperti berada di dalam rumah yang mencakup beberapa ruangan. Ruangan tersebut meliputi, ruang tamu, kamar, dan bagian depan rumah yang dihiasi dengan dekorasi panggung pernikahan.

Kemudian latar waktu dalam cerpen ini terbagi menjadi malam dan pagi hari. Kejadian ketakutan yang dialami oleh tokoh utama terjadi pada malam hari. Sementara untuk bagian pagi hari, meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, kata “terbangun” dan tindakan tokoh yang melangkah keluar kamar menuju panggung dekorasi mengindikasikan bahwa pernikahan berlangsung di pagi hari. penggunaan latar yang tidak dijelaskan secara eksplisit tersebut dapat membuat pembaca untuk lebih mudah untuk mengetahui latar waktu yang muncul dengan mengaitkannya dengan realitas kehidupan mereka secara nyata.

Untuk yang terakhir latar yang muncul dalam cerpen ini adalah latar suasana emosional. Suasana emosional yang hadir dalam cerita sangat kompleks. pelataran yang muncul dalam latar ini adalah perpaduan antara nostalgia dan kegelisahan. Nostalgia terhadap masa lalu yang tradisional bercampur dengan kegelisahan akan perubahan zaman yang semakin cepat atau modern. Suasana emosional tersebut menciptakan suasana yang mendalam dan mengundang empati dari pembaca.
Suasana emosional yang kompleks juga mencerminkan perasaan campur aduk antara kebahagiaan, keraguan, dan refleksi mendalam tentang kehidupan.

Sudut pandang dalam sebuah karya sastra sangat memengaruhi cara pembaca memahami cerita. Sudut pandang yang muncul akan menentukan sejauh mana pembaca dapat masuk kedalam pemikiran dan perasaan tokoh. Cerpen ini menggunakan dua penyudutpandangan, yaitu sudut pandang orang ketiga “Dia” dan sudut pandang orang pertama “Aku”.

Sudut pandang orang ketiga yaitu “Dia”. Dalam cerpen ini narator tidak
terlibat langsung dalam cerita, tetapi mengamati dan melaporkan apa yang terjadi pada karakter-karakter lain. Sudut pandang orang ketiga yaitu dari perspektif seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai kakak dari sosok ibu yang sedang membicarakan anak perempuan (anak dari sosok ibu tersebut) dengan sosok ibu.

Sedangkan sudut pandang orang pertama yaitu “Aku”. Dalam cerpen ini
narator adalah tokoh utama dalam cerita dan pembaca melihat segala sesuatu dari perspektif tokoh tersebut. Pembaca hanya mengetahui apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh tokoh utama tersebut. Sudut pandang orang pertama “Aku” yang digunakan yaitu dari perspektif seorang ibu yang menyampaikan pemikiran, perasaan, dan refleksi pribadinya.

Dengan demikian, unsur intrinsik dalam cerpen “ Tukar Guling “ karya Muna Masyari menunjukkan bahwa kemampuan penulis dalam menciptakan sebuah karya sastra yang kompleks dan unik. Terdapat kombinasi elemen-elemen unik dalam unsur intrinsik. Elemen-elemen unik dalam unsur intrinsik seperti tema, pemplotan, penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan.

Pada bagian tema cerpen tersebut terdapat tiga golongan tema, yaitu tema tradisional, tema tingkat organik, dan tema tingkat sosial. Dalam pemplotan pada cerpen menggunakan plot sorot balik, plot tunggal, dan plot padat. Pada bagian penokohan mengkaji tentang perwatakan tokoh dan teknik pelukisan tokoh yang ada dalam keluarga, khususnya sang ibu
dan anak. Pada bagian penyudutpandangan orang orang ketiga dengan sebutan “Dia” dan orang pertama dengan sebutan “Aku”. Pada bagian pelataran terdapat 3 pelataran yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial.

Elemen-elemen tersebut dapat menciptakan sebuah karya sastra dalam bentuk cerpen yang sangat menarik dan penuh makna. Karya Sastra ini tidak hanya menghibur pembaca, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan arti keluarga. Sehingga hasil mengulas cerpen ini diharapkan dapat memperbanyak pemahaman pembaca terhadap karya sastra ini, menginspirasi pembaca untuk dapat menciptakan karya sastra, dan juga dapat memotivasi pembaca untuk mengulik lebih mendalam karya-karya sastra lainnya.

Penulis: Hani, Salwa, Regita, Dinda, Fadilla

1 Like