Mengenal Toxic Positivity: Perilaku yang Baik atau Buruk

Toxic positivity vs Genuine optimism
sumber: https://pin.it/2DHbUeK

Semua orang pernah berada di kondisi terendah dalam hidup. Kondisi di saat tidak berhasil melewati sesuatu yang diimpikan sejak lama, gagal dalam tes masuk PTN setelah berusaha keras, dikhianati oleh orang terdekat setelah sekian lama bersama, atau kondisi dimana merasa lelah bekerja seharian. Sebagai makhluk sosial, manusia saling membutuhkan kehadiran seseorang sebagai tempat berkeluh kesah, atau sebagai pendengar. Dalam mendengar cerita hari-hari buruk yang seseorang tengah lewati, teman terdekat contohnya, timbul pertanyaan mengenai cara untuk memberikan reaksi yang baik dan tanggapan yang mendukung. Oleh karena itu, sebagai manusia yang dianugrahi perasaan, berkeluh kesah kepada orang terdekat merupakan suatu cara agar memperoleh kepuasan atau perasaan lega. Namun, ada kalanya rasa lega tidak kunjung didapatkan setelah bercerita karena orang yang dianggap sebagai pendengar, tidak merespons sesuai harapan.

Ah, masa gitu aja sedih?

Baru ngerjain segitu udah capek.

Semangat ya, lebih keras lagi kedepannya.

Itu karena kamu berpikir negatif, coba mikir yang baik-baik aja.

Kamu terlalu mikir, bawa seneng aja!

Kamu pasti bisa kok!

Kamu harus bangkit, jangan mau gagal!

Jangan nyerah dong, masa gitu doang nyerah? Itu mah belum seberapa sama aku.

Jika dicermati, kalimat-kalimat di atas bersifat positif dan mendukung, akan tetapi pasti pernah merasa bahwa kata-kata tersebut tidak juga membuat merasa lebih baik, parahnya membuat diri merasa lebih buruk. Sadar atau tak sadar, pasti pernah melontarkan atau mendengarkan kalimat-kalimat di atas. Semua kalimat itu termasuk ke dalam toxic positivity. Quintero & Long (dalam Kojongian & Wibowo, 2021) mengatakan bahwa toxic positivity artinya hanya berfokus pada hal-hal positif dan mengabaikan apapun yang memicu emosi negatif. Proses dari toxic positivity akan menghasilkan penyangkalan, minimalisasi dan invalidasi terhadap pengalaman emosi manusia yang sebenarnya.

Toxic positivity merupakan suatu energi positif yang berlebihan. Mempunyai energi positif tentu merupakan hal baik. Dengan begitu, orang akan berpikir dari sudut pandang yang dirasa lebih baik. Namun, energi positif yang berlebihan juga tidak baik. Akibat positivity yang berlebihan, dalam hal ini, kualitas diri bisa diragukan, membuat asumsi negatif di dalam kepala, merasa kurang berharga dan kurang cukup baik. Itu hanya akan memberi makan pemikiran negatif yang sebetulnya tidak ada. Sebagai seorang manusia yang memiliki perasaan, hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Energi negatif bisa membawa dampak buruk, akan tetapi jangan melupakan bahwa energi negatif merupakan sesuatu yang hadir dan bisa kita rasakan. Maka, menjadi negatif dalam hal ini tidak selamanya buruk atau salah.

Manusia lahir dengan sifat dan kepribadian yang beragam. Oleh sebab itu, antara satu dengan yang lainnya berbeda dalam menyikapi peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Perbedaan ini jika dikaitkan dengan penerimaan toxic positivity juga akan beragam. Sebagian orang menganggap hal tersebut baik dan biasa. Namun, sebagian yang lain menganggap toxic positivity bukan sesuatu yang membuat kembali bersemangat, justru memberikan invaliditas atau keraguan dalam diri seseorang. Dalam studi yang dilakukan Wood, Perunovie, dan Lee (2009) dijabarkan bahwa orang dengan tingkat percaya diri yang tinggi lebih percaya dan merasa lebih baik ketika diberikan pernyataan positif pada kondisi buruk mereka. Sedangkan orang dengan tingkat percaya diri yang rendah, cenderung akan merasa lebih buruk ketika diberikan pernyataan positif pada saat keadaan mereka sedang tidak baik. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya menjadi positif dalam keadaan buruk adalah sesuatu yang salah, pun dengan merasa tidak baik-baik saja saat kondisi buruk adalah hal yang wajar.

Validasi atas perasaan yang kita rasakan merupakan serangkaian hal yang manusiawi, karena sejatinya perasaan semacam sedih atau senang, merasa bangga atau kecewa, takut atau berani, dan lain sebagainya adalah perasaan yang saling memberi timbal balik. Perasaan senang tidak ada, jika tak ada sedih. Sama halnya ketika muncul keberanian sesuatu, artinya rasa takut sudah bisa dilenyapkan. Perasaan-perasaan tersebut saling hadir, saling melengkapi dan saling memperbaiki.

Untuk mengatasinya, akan dipaparkan beberapa cara yang dinilai cukup efektif untuk diterapkan kepada teman-teman terdekat ketika sedang di posisi terendah dalam kehidupan.

  1. Ketahui dahulu termasuk seseorang yang mempunyai percaya diri yang tinggi atau rendah. Dengan begitu, bisa diketahui cara seseorang tersebut dalam mengolah energi positif pada saat keadaan buruk.
  2. Beri validasi, maksudnya bahwa apapun yang sedang dirasakan adalah sesuatu yang valid atau benar. Dengan pemberian validasi, diharapkan mampu membuat perasaan apapun yang dialami bukan hal yang salah. Bisa dengan mengatakan;

Kamu boleh kok merasa sedih.

Gak apa kalau kamu sedang nggak bersemangat.

Kamu bisa merasa tidak baik-baik saja hari ini, wajar kok.

Soalnya memang sulit, nggak papa kalau kamu merasa tidak bisa.

  1. Buat merasa bahwa mereka tidak sendiri, tidak tersudut, dan tidak merasa kecil.

Gak apa merasa lelah, kalau aku mengalami hal yang sama seperti kamu, aku juga merasa lelah.

Lolos atau tidak, aku tetap mendukungmu!

Kamu tidak lolos seleksi pun, tidak membuat kamu lebih buruk dari mereka yang lolos.

  1. Hindari terlebih dahulu memberi kalimat-kalimat yang sifatnya menyemangati. Bagi orang yang sedang menjalani keadaan buruk, kata-kata penyemangat terkadang tidak berarti apapun. Simpan kata-kata semangat saat dirasa sudah yakin dan lebih kondusif. Berikan saat waktunya sudah tepat.
  2. Beri apresiasi atas usaha mereka. Ketika sedang gagal seleksi PTN, bos di kantor marah-marah, tidak mendapat nilai yang bagus di sekolah, tetapi justru disuruh kembali bersemangat dan berusaha lebih keras lagi. Bisa menggantinya dengan memberikan apresiasi atas usaha mereka, alih-alih mengatakan untuk bersemangat.

Meski ditolak PTN, kamu sudah berusaha keras semampu kamu, kamu hebat!

Kamu sudah melewati hari ini dengan begitu keras, tidak apa kalau merasa lelah.

Walau gagal, kamu tetap hebat di mataku karena kamu sudah bekerja semaksimal yang kamu bisa.

  1. Jika dirasa kurang mampu memberi tanggapan, bisa memilih untuk menjadi pendengar. Atau jika tidak tahu apa yang dibutuhkan, boleh cukup menjadi pendengar karena terkadang orang yang sedang berkeluh kesah lebih suka didengar atau lebih baik hanya didengar daripada harus menelan kata-kata yang tidak diharapkan.

Dari sini, bisa didapat perspektif baru mengenai toxic positivity dalam kehidupan sehari-hari yang sejatinya baik, tapi bisa menjadi sesuatu yang buruk. Sebelum mengerti cara menanggapi seseorang, haruslah mengerti dahulu cara menerima tanggapan yang diberikan kepada diri masing-masing. Cara-cara yang dipaparkan di atas tidak selamanya bekerja maksimal, kembali kepada individu dalam mengolah perasaan yang dimiliki dan tanggapan yang diberikan. Manusia tidak bisa mengontrol manusia lain akan bertindak atau berbicara, maka dari itu hal yang paling utama adalah kontrol diri tiap individu dalam mengolah segala bentuk emosi.

DAFTAR PUSTAKA

Kojongian, M. G., & Wibowo, D. H. (2021). Toxic Postivity: Sisi Lain dari Konsep untuk Selalu Positif dalam Segala Kondisi. Psychopreneur Journal, 6, 11-12.

Wood, J. V., Perunovie, W. Q., & Lee, J. W. (2009). Positive Self-Statements: Power for Some, Peril for Others. Psychological Science, 861-865.

1 Like