Mengenal Lebih Dalam Mengenai Sinonimi dan Antonimi Sebagai Relasi Makna Bahasa

Dalam setiap bahasa tidak terkecuali dengan bahasa Indonesia sendiri, pasti memiliki hubungan makna atau biasa disebut dengan relasi semantik yang terbentuk antara sebuah kata dengan satuan bahasa yang lainnya. Nah, bentuk-bentuk dari hubungan makna tersebut yaitu berupa kesamaan makna (sinonimi), berlawanan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas). kecakupan makna (hiponimi), berlainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi). Dari beberapa bentuk relasi makna yang telah disebutkan tersebut, mari kita ulas mengenai sinonimi dan antonim.

Secara semantik Verhaar (1978) telah memberikan penjelasan mengenai sinonimi yaitu sebuah ungkapan yang bisa berwujud kata, frase, atau kalimat yang memiliki makna kurang lebih sama dengan makna ungkapan lainnya. Selanjutnya, Ullman (1972) juga menjelaskan bahwa dua buah kata yang bersinonim itu, kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja atau bisa dikatakan bahwa kesamaannya tidak bersifat mutlak. Kedua pernyataan tersebut ternyata juga berkaitan dengan prinsip umum semantik yaitu bahwa apabila bentuk berbeda, maka makna yang akan dihasilkan pun berbeda, meskipun perbedaannya tersebut hanya sedikit.

Dalam beberapa materi pelajaran Bahasa Indonesia, telah disebutkan bahwa sinonim merupakan persamaan kata, atau bisa diartikan sebagai kata-kata yang sama maknanya. Nah, ternyata pernyataan tersebut dirasa kurang tepat karena yang bersinonim itu bukan hanya sekedar antara kata dengan kata, namun sebuah sinonim juga terbentuk dari antara satuan-satuan bahasa yang lainnya, seperti:

  1. Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat)
    Contoh:
    Minta bantuan dia = Minta bantuannya
    (Sinonim antara morfem dia dengan MORFEM -nya)
  2. Sinonim antara kata dengan kata
    Contoh:
    buruk = jelek
  3. Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya
    Contoh:
    pencuri = tamu tak diundang
  4. Sinonim antara frase dengan frase
    Contoh:
    ayah ibu = orang tua
  5. Sinonim antara kalimat dengan kalimat
    Contoh:
    adik menendang bola = bola ditendang adik
    Kedua kalimat tersebut dianggap bersinonim meskipun kalimat pertama tersebut berbentuk kalimat aktif dan yang kedua merupakan kalimat pasif.

Masih mengenai sinonimi, ternyata kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris tidak ada dalam dunia perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Sehingga meskipun terdapat dua buah kata yang berstatus sinonim, kedua kata tersebut tidak bisa ditukar dalam penggunaannya. Mengapa tidak bisa ditukar? Ternyata hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu diantaranya:
1. Faktor waktu
Contoh katanya yaitu, kata hulubalang yang bersinonim dengan kata komandan. Kedua kata tersebut harus diperhatikan kapan waktu penggunaannya karena, kata hulubalang hanya cocok untuk situasi zaman dahulu atau klasik. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini.
2. Faktor tempat atau daerah
Bisa kita lihat pada contoh kata saya dan beta. Kata beta hanya cocok digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia pada bagian timur, kemudian kaya saya dapat digunakan secara umum dimana saja diseluruh wilayah Indonesia.
3. Faktor sosial
Kita pasti sudah mengetahui bahwa kata aku dengan kata saya merupakan dua buah kata yang berstatus sinonim. Namun perlu diketahui pula bahwa penggunaan dua buah kata tersebut harus diperhatikan waktu penggunaannya. Kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi. Sehingga untuk situasi yang telah disebutkan itulah penggunaan kata saya mulai digunakan.
4. Faktor bidang kegiatan
Pada faktor ini bisa dilihat pada kata tasawuf, kebatinan, dan mistik. Ketiga kata tersebut merupakan kata yang saling bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim digunakan dalam agama Islam, kata kebatinan biasa digunakan dalam dunia non-Islam, kemudian untuk selanjutnya kata mistik digunakan dalam semua kalangan agama.
5. Faktor nuansa makna
Untuk faktor yang terakhir ini dapat dilihat pada kata hotel yang bersinonim dengan kata penginapan. Namun kedua kata tersebut tidak bisa ditukar dalam penggunaannya dikarenakan kata penginapan lebih luas maknanya dari kata hotel, sebab di dalam kata penginapan mencakup dari berbagai bentuk penginapan seperti hotel, losmen, dan motel.

Berlanjut mengenai lawan dari sinonimi yaitu antonimi. Secara semantik, Verhaar (1978) telah mendefinisikan antonimi sebagai ungkapan yang berwujud kata, frase, atau kalimat yang memiliki kebalikan makna dari ungkapan lain. Kata yang berantonim memiliki makna yang bersifat dua arah, artinya jika kata gelap berantonim dengan kata terang, maka berlaku pula pada ketentuan kata terang berantonim dengan kata gelap.

Dalam berbagai buku materi bahasa Indonesia telah mengungkapkan bahwa antonim merupakan lawan kata. Pernyataan tersebut ternyata masih dirasa kurang tepat karena pada hakikatnya yang berlawanan bukanlah kata-katanya, melainkan makna dari kata-kata tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud antonim adalah lawan makna, bukan lawan kata.

Ternyata, antonim juga memiliki kesamaan dengan sinonimi yaitu sama-sama terdapat pada tataran bahasa yaitu tataran morfem, tataran kata, tataran frasa, dan tataran kalimat. kesamaan yang lainnya yaitu, antonim sama halnya dengan sinonim bahwa lawan kata maknanya tidak bersifat mutlak. Kemudian Verhaar juga telah berpendapat bahwa dua buah kata bisa dikatakan antonim karena maknanya dianggap kebalikan, bukan mutlak berlawanan.

Dari uraian singkat di atas, perlu kita ingat bahwa sinonim merupakan persamaan makna dan kesinonimannya tidak bersifat mutlak atau simetris. Sedangkan antonim merupakan kebalikan makna. Sama halnya dengan sinonim, antonim juga tidak bersifat mutlak pada makna lawan katanya. Dan perlu kita ketahui pula bahwa tidak semua kata memiliki sinonim dan antonimnya.

Referensi:
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Masduki, M. (2013). Relasi Makna (Sinonimi, Antonimi, dan Hiponimi) dan Seluk Beluknya. Prosodi, 7(1).