Mengenal Bentuk Etika Lingkungan (Hormat Terhadap Makhluk Tak Hidup) dalam Sastra Lisan Masyarakat Borotretes


Gunung Arjuno dan Welirang (Foto: Muhajir Arifin/detikcom)

Manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap komunitas tempatnya hidup, dan kepada masing-masing sesama anggota (Callicott, 2003). Konsep tersebut nyatanya relevan dengan dinamika kehidupan masyarakat Borotretes dalam konteks ini berposisi sebagai manusia yang mendiami dan memanfaatkan alam Borotretes beserta seluruh isinya. Mereka sadar memiliki tugas dan kewajiban dalam bentuk pemeliharaan sumber daya. Menjadi sebuah fenomena unik yang terjadi pada seluruh lapisan masyarakat mereka, bahwa masyarakat telah membentuk pola penjagaan lingkungan yang mandiri berbasis sastra lisan.

Tumbuh dan bertahannya sastra lisan masyarakat Borotretes menjadi salah satu upaya tradisional masyarakat dalam melestarikan lingkungan. Masyarakat menyadari bahwa mereka bukan hanya penikmat alam beserta sumber dayanya, melainkan juga pemelihara alam beserta sumber dayanya. Dalam kehidupan masyarakat Borotretes, mereka menyejajarkan posisi bahwa masyarakat Borotretes dan keseluruhan unsur alam di wilayah tersebut memiliki hak yang sama. Hal itu setidaknya memenuhi konsep dasaar ekosentris bahwa kepedulian terhadap lingkungan tidak hanya mengutamakan penghormatan atas spesies (makhluk hidup saja), tetapi tidak kalah penting pula adalah perhatian setara atas seluruh kehidupan (Susilo, 2008).

Hal yang harus diperhatikan dalam pemenuhan konsep ekosentris adalah mampu menunjukkan dua komponen dalam rekam jejak perilaku manusia, yakni:

(a) hormat terhadap sesama makhluk hidup dan (b) hormat terhadap makhluk tak hidup (Callicot, 2003). Hormat pada konteks tersebut dimaknai sebagai bentuk menghargai keberadaan makhluk hidup yang lain bukan hanya manusia, melainkan juga semua aspek yang hidup di sekitar manusia.

Masyarakat Borotretes sebagai anggota dari biotik lokal nyatanya hidup berdampingan dengan komunitas abiotik. Ia merupakan kumpulan benda tidak hidup dan tidak memiliki ciri-ciri sebagai makhluk hidup. Kiranya unsur air dan unsur tanah merupakan cakupan komunitas abiotik tersebut, masyarakat Borotretes memiliki pandangan bahwa sesama komunitas yang mendiami wilayah Borotretes seharusnya memiliki sikap hormat.

Dalam menjalani kehidupan, masyarakat selalu memercayai bahwa unsur air merupakan salah satu sumber kebaikan hidup mereka. Selain asal usul wilayah tersebut dilatarbelakangi oleh penemuan sumber mata air, masyarakat meyakini bahwa air membawa keberkahan dalam hidup. Sikap hormat terhadap unsur air, salah satunya diwujudkan dalam bentuk barian. Barian dianggap sebagai bentuk komunikasi masyarakat dengan segenap unsur kehidupan air.

mulo pramilo tulak balak saking leresan mosolmat ngualer tulak balak ing inggel kerto barat angin tulak belak saking ngandap kerto banjir

(oleh karena itu menolak keburukan dari kebenaran, keburukan dari atas yakni angin dari barat dan dari bawah berupa banjir)

Penggalan ujub di atas merupakan ujub barian di Sumber Ketoro Wongso yang diujarkan oleh sesepuh wilayah. Dalam kegiatan barian diyakini masyarakat merupakan bentuk komunikasi masyarakat dengan semua komponen unsur air. Tidak hanya itu, secara subtansi masyarakat juga mengucapkan rasa syukur atas kelimpahan air yang diberikan. Masyarakat selalu berharap bahwa sumber-sumber mata air tidak akan mengering ataupun air hujan yang datang tidak berlebihan sehingga menyebabkan banjir.

Harapan-harapan baik senantiasa dipanjatkan agar masyarakat tidak dihadapkan pada kondisi keringnya sumur-sumur mereka atau jenis lain yang menyebabkan kesulitan hidup. Jika disepesifikan unsur air membentuk tiga konstruksi bagian yakni: (i) unsur pelibatan makhluk gaib yang dipercaya sebagai sang baungrekso atau pemelihara mata air (ii) unsur pelibatan seluruh makhluk hidup meliputi tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang mendiami wilayah Borotretes serta (iii) unsur pelibatan manusia yakni masyarakat Borotretes itu sendiri.

Dari uraian fenomena di atas, munculah paradigma masyarakat Borotretes bahwa mereka nyatanya tidak hanya hidup berdampingan dengan manusia, melainkan juga menganggap hidup makhluk lain dan kesemua yang menjadi komponen wilayah Borotretes. Dari paradigma tersebut etika atau sikap hidup masyarakat Borotretes terbentuk naluriah untuk menjaga, melestarikan dan memosisikan semua unsur kehidupan, air dan tanah bukan hanya sebagai benda mati, melainkan sebagai makhluk hidup yang juga memiliki hak hidup yang sama. Perwujudan etika yang dilakukan oleh Masyarakat Borotrets terhadap wilayahnya melalui aneka sastra lisan dan tradisi temurun merupakan bentuk pengkristalan etika lingkungan ekologis internasional dalam tradisi budaya lokal sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Callicot, J. Baird. 2003. Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup terjemahan Worldviews and ecology: Religion, Philosophy and the Environment. Yogyakarta: PT. Kanisius

Endraswara, Suwardi. Tradisi Lisan Jawa Timur. Yogyakarta: Narasi.

Haq, Muhammad Zainul. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa. Malang: Aditya Media Publishing.

Purwadi. 2003. Kamus Jawa Indonesia. Yogyakarta: Widyatama

Sukmawan, Sony. 2013. Model-model Kajian Ekokritik Sastra. Jurnal Ilmiah Penstra, Volume II-No.2, 1-63

Sukmawan, Sony. 2013. Sastra (Lisan) Pastoral Sebagai Sastra Lingkungan. Jurnal Ilmiah Fonema, Volume II-No.4, 161-224