Memandang Manusia Sebagai Makhluk Holistik

Benar adanya bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Setelah saya menerima pengumuman lulus Sekolah Menengah Kejuruan Asisten Keperawatan, saya memiliki waktu 2 bulan sembari menunggu waktu masuk kuliah. Dengan berdiam diri di rumah tidak akan membuat dunia saya berubah. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan di SMK, saya dan teman saya memberanikan diri untuk melamar pekerjaan sebagai caregiver di bawah naungan perawat di salah satu rumah sakit besar di daerah saya. Kami mendapatkan kesempatan untuk merawat orang sakit selama 24 jam penuh di rumahnya. Jarak rumah pasien dengan rumah saya cukup jauh yang mengharuskan kami menginap. Saya sangat bersyukur memiliki orang tua yang selalu mendukung anaknya.

Awalnya saya tidak yakin dengan kemampuan saya, selama pandemi Covid-19 praktikum hanya disekolah dengan menjadikan teman sebagai probandus dan kami tidak mendapatkan kesempatan untuk Praktik Kerja Lapangan (PKL) sehingga kami belum memiliki pengalaman dengan pasien secara langsung. Saya pikir tidak ada salahnya mencoba, menerapkan ilmu dan keterampilan yang kita punya bukanlah suatu hal salah selama kegiatan tersebut positif. Saya sangat bersyukur selama bekerja kami tidak hanya mendapatkan gaji saja tetapi juga ilmu dan pengalaman baru yang tidak pernah saya dapatkan dan saya bayangkan.

Benar adanya bahwa sehat mahal harganya dan tidak sedikit orang yang dapat merasakan nikmat sehat, salah satunya nenek yang saya rawat. Beliau yang mengalami stroke sejak 1 tahun yang lalu. Pertama kali saya datang ke rumahnya dan bertemu dengannya, saya merasa ingin kembali pulang saja. Tetapi takdir mengatakan bahwa saya dan teman saya harus tetap tinggal dirumah nenek untuk merawat dan menemaninya. Beliau hanya dapat berbaring di tempat tidur (bed rest) dan tidak dapat melakukan aktivitas apapun tanpa bantuan. Dalam memberikan asuhan keperawatan manusia dipandang sebagai makhluk holistik meliputi bio, psiko, sosiokultural, dan spiritual. Untuk memenuhi kebutuhan biologi nenek berupa makan, minum, dan eliminasi dipasang alat kesehatan berupa NGT dan kateter.

Hari demi hari kami lalui, sampai suatu ketika saya, teman saya dan nenek menjadi teman. Yang awalnya disepanjang hari nenek hanya dapat menangis dan melamun sampai pada akhirnya beliau dapat kami ajak berkomunikasi. Dari sinilah saya belajar bahwa berkomunikasi terapeutik pada orang-orang yang mengalami gangguan psikis tidaklah mudah. Perlu membangun sikap saling percaya dan kesabaran yang ekstra dalam berkomunikasi. Kita juga diharuskan selalu berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi pasien untuk memenuhi tuntutan kebutuhannya. Setiap pagi, kami mengajak nenek jalan-jalan dengan menggunakan kursi rodanya. Disepanjang perjalanan banyak tetangga yang menyapa kami. Nenek terlihat sangat senang bertemu dan berkomunikasi dengan mereka. Hal ini baik untuk memnuhi kebutuhan sosial dan mengembalikan ingatan nenek.

Selain kebutuhan bio, psiko, sosiokultural terdapat kebutuhan spiritual yang harus dipenuhi. Mengingat bahwa ikhtiar harus disertai dengan doa. Untuk memenuhi kebutuhan spiritual kami selalu mengajak dan membimbingnya sholat, berdzikir serta mengaji. Awalnya beliau tidak mengingat bacaan sholat sehingga saya dan teman saya harus melafalkan bacaan sholat. Lambat laun beliau dapat mengingat dan membaca Surah Al-Fatihah dan berdzikir sendiri. Tidak terasa dua bulan berlalu, kami harus berpisah karena saya dan teman saya harus pulang untuk melanjutkan pendidikan kami sebagai mahasiswa baru.

Dari pengalaman ini, saya lebih memahami mengenai hakikat manusia sebagai makhluk holistik yang ternyata sekarang diajarkan di bangku kuliah. Dari sinilah saya belajar bahwa kita tidak akan maju jika kita tidak mengawalinya. Akan ada banyak pengalaman yang dapat kita peroleh. Oleh karena itu kita tidak perlu takut untuk memulai suatu hal yang baru.

3 Likes