Melihat Tradisi Nyadran di Masyarakat Jawa

Di kepulauan Jawa sangat banyak terkandung budaya dan tradisi yang masih hidup dan dilakukan oleh masyarakat.Karena masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi budaya dan tradisi yang sejak zaman dahulu sudah dilakukan guna untuk melestarikan dan menjaga budaya dan tradisi itu tidak hilang dan tidak dilupakan oleh generasi selanjutnya.Karena di setiap budaya dan tradisi menyimpan banyak makna dan pembelajaran untuk bisa diambil, dipergunakan dan dilakukan di kehidupan ini.Salah satu tradisi yang masih dilestarikan dan dilakukan yaitu tradisi nyadran.

Di masyarakat Jawa penyebutan tradisi "nyadran berbeda- beda ditiap daerah.Di Jawa tengah khususnya Boyolali dan temanggung dikenal dengan istilah sandranan.Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Khususnya Kulonprogo dikenal istilah kenduri masal.Di Jawa timur seperti Bojonegoro dikenal dengan sedekah bumi atau manganan.Walaupun berbeda-beda dalam penyebutan istilah nyadran ditiap daerah dan tempat tapi makna dan substansi sama.

Menurut berbagai sumber istilah nyadran ini sudah sangat dikenal masyarakat. Pertama,Dalam KBBI (2010), sadran-menyadran diartikan mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur (ayah, ibu, dan lainnya) dengan membawa bunga atau sesajian.Kedua,bahasa Sanskerta, sraddha artinya keyakinan. Ketiga, nyadran dalam Bahasa Jawa berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban lantaran dilakukan sebelum Ramadhan.

Di berbagai daerah istilah nyadran berbeda-beda namun secara umum tradisi berisikan kegiatan bersih desa dan makan, doa, ziarah kubur, sedekah bumi hingga makan bersama. Tradisi nyadran dilakukan pada bulan ruwah atau syaban yaitu menjelang bulan Ramadhan,akan tetapi ada juga dilakukan saat musim panen sebagai wujud rasa syukur terhadap hasil panen yang diterima.Dengan itu maka nyadran adalah rangkaian budaya berupa pembersihan makam leluhur dan tabur bunga juga dzikir dan tahlil dan diakhiri dengan makan bersama.

Dalam perkembangannya Tradisi nyadran ini sudah ada sejak zaman Hindu Budha (craddha) ritual ini berisi pemujaan terhadap arwah nenek moyang yang sudah meninggal dengan menggunakan sesaji dan doa-doa.Tradisi nyadran berlanjut ketika masa Walisongo datang ke daerah Jawa dengan kearifan dan kebijakan Walisongo masa itu demi membuat masyarakat Jawa memeluk agama Islam tanpa adanya kekerasan,maka Walisongo melakukan islamisasi dan akulturasi budaya lokal dengan tetap ritual nyadran dengan membuat ziarah kubur tetap dilakukan tapi dengan menggunakan doa doa bersumber dari Al Qur’an dan sesajinya diganti makanan untuk dibuat makan bersama.

Setelah adanya akulturasi budaya dengan Islam maka makna nyadran yaitu sebagai wujud doa dzikir tahlil kepada mayit yang telah meninggal dunia juga sebagai sarana muhasabah atau instrospeksi diri dalam satu tahun terakhir juga sebagai wujud membersihkan hati menyambut bulan penuh Rahmat dan keberkahan yaitu bulan Ramadhan.Tradisi juga sebagai budaya lokal dan sarana dakwah wujud kegiatan yang dilakukan masyarakat berupa pertama bersih desa dan berkunjung ke makam leluhur, doa dan juga biasanya dilanjutkan dengan silaturahmi ke rumah rumah tetangga.

Berbagai daerah berbeda beda kegiatan tapi pada umumnya tradisi ini dilakukan pada bulan ruwah dengan dengan membersihkan desa, kegiatan ini dilakukan di lingkungan masyarakat sekitar dengan dengan gotong royong membersihkan halaman depan rumah masing-masing dilanjutkan membersihkan jalan sekitaran kampung termasuk juga membersihkan got yang mampet.Pada hari berikutnya dilanjutkan dengan berkunjung ke makam leluhur.

Di makam para leluhur dilakukan pada pagi hari para warga berbondong-bondong menuju ke makam leluhur dengan membawa aneka makanan seperti ayam ingkung,nasi tumpeng,dan jajanan pasar dengan dimasukan ke dalam wadah makanan yang disebut Tenong (wadah makanan ini terbuat dari bambu dan sekarang ada yang plastik).Para warga berkumpul di makam leluhur menunggu warga yang lain yang belum datang ke makam.Setelah semuanya berkumpul ada satu orang yang memimpin doa dzikir dan tahlil kepada Allah SWT.Setelah acara berdoa selesai selanjutnya warga melakukan makan bersama-sama didalam makan bersama ini ada juga warga yang berbagi makanan dengan warga yang lain.

Setelah acara makan bersama telah selesai para warga beranjak pulang ke kediaman masing-masing,setelah pulang kegiatan dilanjutkan dengan saling bersilaturahmi ke rumah tetangga.Silaturahmi ini dilakukan para tetangga dengan bergantian masuk menuju satu pintu rumah ke rumah warga lainnya untuk meminta maaf dan menjalin kerukunan.Selain itu salah satu sebagai wujud bersih desa biasanya ada kegiatan kenduri atau perayaan dengan pertunjukan wayang atau ketoprak.

Dengan melihat tradisi ini dapat diambil banyak pembelajaran guna untuk melestarikan tradisi ini agar tetap diketahui oleh para generasi muda.pertama kita dapat mengambil nilai gotong royong dan kebersamaan ini terlihat dengan para warga saling membersihkan lingkungan desa dan berbagi makanan.Nilai ini harus tetap dijaga agar senantiasa kerukunan ini tidak hilang , apalagi di era sekarang yang rasa gotong royong dan kebersamaan ini sudah mulai pudar dan hilang karena manusia sudah bersifat individualistik.Seperti filosofi Jawa rukun agawe sentosa crah gawe bubar.artinya rukun membuat hidup menjadi sentosa tapi sebaliknya jika bertikai akan bercerai berai atau bubar.Sebagai manusia yang diciptakan sebagai makhluk sosial maka sudah sepantasnya dan seharusnya bagi manusia untuk bisa gotong royong bersama sama demi terciptanya kerukunan.

Penghormatan kepada leluhur yang sudah meninggal, nilai kedua ini sebagai wujud bahwa kita semua akan mati dan salah satu yang menolong kita selain amar perbuatan manusia sendiri yaitu doa para warga yang lain.Dengan ini sebagai bahan introspeksi diri untuk jangan terlena dengan kehidupan duniawi dan ingat akhirat dengan melakukan amal perbuatan baik.Seperti dalam filosofi Jawa yaitu memayu Hayuning pribadi,memayu Hayuning keluwarga memayu hayuning sesama, memayu hayuning bawana artinya berbuat baik kepada diri sendiri, Keluarga, sesama umat manusia da kepada negara.Menunjukan bahwa semua kebaikan yang akan kita lakukan kepada apapun akan kembali kepada diri sendiri,maka dari itu berbuat baiklah kepada semuanya dan jangan berbuat buruk.

Yang ketiga nilai saling menghormati,di dalam tradisi ini semua kalangan hadir dalam tradisi ini dari mulai orang tua, anak muda , yang pejabat yang rakyat,dari yang golongan orang kaya dengan golongan miskin semuanya duduk sama rata tanpa ada perbedaan.Karena satu sama lain saling hormat menghormati.Dalam filosofi Jawa ada aja mbedakake marang sapadha- padha artinya jangan membedakan sesama manusia.Disini diajarkan bahwa manusia itu derajat dan haknya sama di depan tuhan yang maha esa.Tidak ada yang lebih tinggi satu sama lain ,Yang punya kedudukan lebih tinggi yaitu yang amal perbuatannya bagus.Yang punya jabatan merasa lebih tinggi dari yang tidak punya jabatan belum tentu.Orang kaya merasa lebih tinggi dari yang miskin belum tentu karena semua itu hanya kehidupan dunia yang tinggi kedudukannya yang amal perbuatannya itu bagus.

Dengan banyaknya nilai yang dapat diambil dari tradisi nyadran ini sudah sepatutnya bagi generasi muda untuk melestarikan tradisi ini agar tidak hilang dan pudar di tengah tengah arus modernisasi dan budaya barat yang masuk ke sendi sendi kehidupan masyarakat.Maka masyarakat khususnya generasi muda agar tak lupa budayanya sendiri agar menjadi identitas dan pijakan hidup dalam mengahadapi kehidupan ini.Karena budaya dan tradisi yang sangat beragam harus dijaga keberadaan nya seperti peribahasa Jawa desa mawa cara negara mawa Tata artinya setiap desa punya aturan sendiri dan negara punya hukum tersendiri.Jadi setiap kebudayaan dan keberagaman budaya daerah punya ciri khasnya Masing-masing yang dapat ditonjolkan dikancah negara.

Referensi
Nyadran dan penguatan nasionalisme, nuonline, 7 Juni 2018, diakses pada 22 april 2022, /https://www.nu.or.id/post/read/91578/nyadran-dan-penguatan-nasionalisme.

Parmadi, Y. D. (2013). Upacara Tradisi Nyadran Di Desa Bulusan Kecamatan Karangdowo Kabupaten Klaten (Kajian Makna Simbolik Dan Nilai Religius).

Riyadi, A. (2017). KEARIFAN LOKAL TRADISI NYADRAN LINTAS AGAMA DI DESA KAYEN-JUWANGI KABUPATEN BOYOLALI Local Wisdom of Cross-Religious Nyadran Tradition at Kayen-Juwangi Village of Boyolali. Jurnal SMART (Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi), 3(2), 139-154.

Yusof, A. (2016). Relasi Islam dan budaya lokal: studi tentang tradisi Nyadran di desa Sumogawe kecamatan Getasan kabupaten Semarang. IAIN Tulungagung Research Collections, 4(1), 67299.

1 Like