Malioboro, Malam Itu

Karya Nawar Shabnam Kalila

Sepatu kets masih setia terpasang di kedua kakiku. Ku lihat sekelilingku yang masih terlihat ramai walaupun tahun ini corona masih enggan menghilang dari muka bumi.

Kali ini aku sendirian duduk di kursi taman yang tersedia di sepanjang trotoar Malioboro. Sejujurnya sangat sedih karena mengingat baru minggu lalu aku duduk di kursi yang sama bersama sahabatku, Rania.

Rasanya masih seperti mimpi, Rania Wulandari teman dari kecilku pergi jauh meninggalkanku. Seharusnya aku menahannya untuk tak melakukan hal itu. Mungkin saja Rania masih bisa menghirup udara malam di kota kelahiranku ini.

Ah sial! lagi-lagi air mata ini menetes. Aku heran mengapa orang baik sepertinya harus pergi terlebih dahulu? Mengapa bukan aku saja yang kerjaannya selalu membebani orang tua dan orang-orang disekitarku. Kenapa harus Rania?

Ketika sedang asyik-asyiknya menangis, sebuah tangan menyodorkan tiga lembar tisu di depanku. Membuatku langsung menoleh ke arah sang pemilik tangan. Terlihat laki-laki menggunakan kaos hitam dan juga jaket merah tebal tengah menatapku. Sayang sekali sebagian wajahnya tertutup masker. Hingga aku hanya bisa melihat matanya yang lumayan sipit.

“Jangan nangis mbak, nanti hidungnya bumpet” katanya.

“Nggak usah sok peduli” balasku kesal kemudian mengalihkan pandanganku.

“Ya mbaknya nangis gitu, masa ya saya biarin. Nanti kalo bumpet terus pakai masker gitu kan bisa sesak nafas” katanya lagi, ku putar bola mataku malas kemudian menerima tisu yang ia sodorkan.

“Makasih” balasku singkat.
“Sama-sama mbak” aku langsung menghapus air mata yang tersisa jejaknya di wajahku.

“Ngomong-ngomong mbak, nggak meh kenalan?” kalau saja ini tidak di tempat umum mungkin aku sudah menamparnya.

“Nggak perlu, nggak minat”
“Halah… nggak usah gengsi mbak… saya ki terkenal bakul angkringan paling ganteng lho” katanya percaya diri. Aku hanya membalasnya dengan dehaman saja.

“Mbak, jarang-jarang lho aku ki deketin cewek dulu, biasane malah saya yang dikejar-kejar” aku menatap kesal laki-laki yang duduk disampingku itu.
“Bodoamat ya mas”

“Ayo to mbak kenalan…” paksanya, aku menatapnya tajam.
“Nggak-”
“Nama saya Wisnu, asli Jogja. Paginya jadi mahasiswa ilmu komunikasi, malamnya jadi bakul angkringan hehe bantu bapak” katanya sebelum aku membalas perkataannya tadi.

“Oh” balasku singkat. Bukannya kesal atau bahkan marah, laki-laki yang bernama Wira itu malah tersenyum. Kualihkan pandanganku ke arah lain.

Mbake namane Erina to?”
Tunggu! dia tau darimana? jangan bilang dia stalker-ku. Aku menoleh dan menatapnya penuh curiga. Bagaimana bisa ia tau namaku?

“Kamu stalker ya! tau nama aku dari mana?” tanyaku sambil menatapnya curiga. Bukannya langsung menjawab ia malah terkekeh.

“Ngomong apa to mbak?” katanya disela kekehannya.
“Bukan… saya bukan stalker e Mbak Erin… saya tau mbak dari temene mbak sing nggak kalah cantik itu lho” ku sipitkan mataku.

“Rania?” tanyaku, Wisnu mengangguk cepat.
“Kamu kenal Rania?” tanyaku lagi.
“Dibilang kenal banget sih enggak, cuma sekedar tau nama sama beberapa hal yang berhubungan sama Rania cuma tau dikit, kayak nama temennya dia. Mbak Erin misalnya” katanya sambil menunjukku menggunakan ibu jarinya.

“Kok bisa kenal? ehm bukan kok bisa tau?” lagi-lagi aku bertanya.

“Ya itu sih gara-gara Mbak Rania sering beli makanan atau minuman di angkringan saya, terus kita kenalan deh, pas tak tanyain bilangnya mau ketemuan sama temennya lha njuk saya lihat mbak e ngobrol sama Mbak Rania. Besok e saya tanya namane mbak e ke Mbak Rania soale mbak e cantik jadi saya pengen kenal” jelasnya sambil senyum-senyum. Untung saja aku tau situasi, coba kalau tidak sudah ku dorong sampai jatuh.

“Oalah…” balasku lagi-lagi singkat.
“Mbak e nggak kedinginan? nggak haus?” tanyanya padaku.
“Lumayan haus sih…” balasku lirih namun dia masih bisa mendengar.

" Mampir ke angkringanku yuk, deket kok tuh disebelah situ nggak jauh to?" katanya sambil menunjuk angkringan yang kira-kira jaraknya cuma beberapa langkah saja. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Tak buatke susu jahe, ayo” ia menarikku pelan menuju angkringan yang katanya miliknya itu.
“Makasih yo mas wes di jagake” katanya pada seorang tukang parkir yang duduk di sana.
Oh yo sami-sami” balasnya kemudian pergi.

“Sek yo mbak tak buatke” ia mulai membakar jahe di atas alat bakar, sembari menunggu ku main kan handphoneku yang penuh dengan notifikasi grup Whatsapp namun tak ada satu pun yang menurutku percakapan penting dan berakhir membuka aplikasi berlogo burung biru membaca semua keluh kesah orang yang lewat di halaman awal.

“Mbak Erin sama Mbak Rania sering banget ya dateng ke sini, kayake Malioboro ki wes jadi tempat favorit ngono lho” kata Wisnu masih sibuk membuatkan minuman untukku.

“Malioboro malam hari tuh enak untuk dinikmati entah kenapa jadi tempat enak buat refreshing buat aku sama Rania” jelasku. Wisnu hanya mengangguk mengerti.

“Tapi kayaknya Malioboro nggak lagi jadi tempat favoritku buat refreshing lagi” lanjutku sambil menerima gelas besar berisi susu jahe hangat. Ia terlihat menautkan alisnya bingung.

“Lho kenapa mbak?” tanyanya kemudian duduk di sampingku.

“Di Malioboro banyak kenangan aku sama Rania, kayaknya aku nggak bisa buat terus-terusan ke sini nanti akhirnya nangis kayak tadi”

“Kalo boleh tau mbak… emang Mbak Rania kemana? pindah rumah?” tanya Wisnu. Tatapan kita tak sengaja bertemu. Ku alihkan pandanganku ke arah lain.

“Rania pergi jauh ninggalin aku,” suaraku bergetar, berusaha keras menahan air mata agar tak kembali jatuh.

“Terlalu jauh sampai nggak bisa balik lagi” air mataku kembali jatuh, dasar lemah lagi-lagi menangis. Aku bisa merasakan tangan hangat menepuk-nepuk pundakku.

“Aku ngerti rasane ditinggal orang yang kita sayang, tapi sedih terus ki ya nggak baik mbak… sing sabar ya… ikhlaske Mbak Rania, pasti sekarang dia udah bahagia di sana. Aku ikut berduka cita” aku hanya membalas dengan anggukan sembari menghapus air mataku menggunakan jariku.

Wes to jangan sedih-sedih, cantik nya ilang lho nanti” katanya lagi sambil tersenyum lebar, meskipun tertutup masker aku bisa melihat matanya yang sedikit menyipit begitu juga pipinya yang tertarik ke atas.

“Bodoamat” balasku membuang muka. Aku juga perempuan yang terkadang malu-malu kucing ketika mendengar ucapan manis dari laki-laki.

Akhirnya malam itu kita habiskan untuk mengobrol tentang hal-hal lucu yang pernah kita alami, tugas-tugas kuliah yang selalu menghantui pikiran, hingga masalah asmara. Laki-laki yang baru ku kenal ini kembali menyunggingkan senyuman. Namun untuk kali ini aku dapat melihatnya dengan jelas karena wajahnya tak lagi tertutup masker.

“Ya gitulah mbak, padahal aku ini udah berusaha nurutin apa yang dia mau eh akhirnya di tinggal juga” katanya masih terkekeh lalu kembali memakai maskernya ketika sesak telah hilang.

“Namanya juga belum jodoh” balasku ikut memasang maskerku lagi, kemudian melirik ke arah jam tangan yang aku pakai.

“Udah malam banget mbak, nggak pulang?” tanyanya lalu beranjak dari kursi.

“Ini baru mau pulang” kataku. Tanganku merogoh ke dalam tas, mengeluarkan dompet dari tas dan beranjak dari kursi juga.

“Aku habis berapa?” mengingat tadi aku mengambil gorengan dan juga sate telur puyuh juga selain meminum susu jahe.

“Nggak usah bayar, gratis buat Mbak Erin” aku menatapnya tak percaya.

“Ya nggak bisa gitu dong, aku bayar pokoknya” kataku lalu mengeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribuan.

“Udah aku bilangin nggak usah” mendorong tanganku.

“Sebagai bayarannya minta nomor handphone kamu aja” katanya sambil menyodorkan handphonenya.

“Nomor handphone?” ia mengangguk cepat matanya terlihat berbinar. Ku ambil handphonenya, mengetikkan nomorku baru kemudian ku kembalikan padanya.

“Nah… makasih yo mbak”

“Jangan manggil mbak ih, kita seumuran Nu” ia langsung menggaruk kepalanya yang tak gatal itu.

“Hehe iya Erin” aku tersenyum lalu memasukkan dompetku ke dalam tas. Bersiap akan pulang.

“Ya udah, makasih ya Nu udah nemenin ngobrol. Lain kali jangan larang aku buat bayar ya” kataku lalu bermaksud keluar dari tenda angkringannya.

“Lain kali? berarti kamu mau ke sini lagi kan besok?” langkahku berhenti lalu menoleh ke arahnya.

“Ya?” bingungku, aku takut salah dengar.

“Nggak papa, udah sana pulang udah malam banget ini. Dadah Erin cantik…” katanya sambil melambaikan tangannya. Aku terkekeh dan membalas lambaian tangannya baru kemudian jalan menjauhi angkringannya.

Ku pikir Malioboro tak lagi jadi tempat favoritku di Jogja semenjak perginya Rania. Ternyata, Malioboro tetap menjadi tempat favoritku dan sepertinya akan selamanya jadi tempat favoritku. Terima kasih untuk Juandra Wisnu Adiatma, penjual angkringan sekaligus sang pemilik hati saat ini.


Setidaknya ada akhir bahagia di cerita khayalanku. Meskipun pada kenyataannya aku masih saja duduk sendiri di salah satu cafe dekat Malioboro menunggu sampai diusir sembari mengetikkan beberapa kata berharap akan segera bertemu dengan laki-laki sebaik dan semenyenangkan Wisnu si penjual angkringan.