Makna dari suatu kata

Makna kata memiliki hubungan antara ucapan dan arti dari suatu kata, sehingga makna dengan bendanya sangat berkaitan dan saling menyatu. Apabila suatu kata tidak dapat dihubungkan dengan benda, peristiwa, atau keadaan tertentu, maka kata tersebut tidak memiliki makna.
Perbedaan makna dengan ejaan yang sama itu disebut Homonim, seperti kata Malang yang memiliki makna kota dan kata Malang yang memiliki makna nasib.
Bagaimana tanggapan kalian tentang fenomena tersebut?

2 Likes

Bila melihat kasus yang saudara jelaskan… menurut saya, kata malang dapat masuk ke dalam kata kabur. Hal tersebut didasarkan oleh alasan deskriptif. Mengutip dari Ullmann (2014, h.98) bahwa alasan deskriptif muncul ketika kaitan makna dan kata tidak selalu sama seperti yang diharapkan. Benda atau makna yang sama seharusnya ditunjukkan oleh bunyi-bunyi yang sama, namun dalam kenyataannya tidak seperti itu.
Contohnya seperti yang saudara sebutkan malang (nasib) dan malang (kota); serta contoh dalam bahasa Jawa mari (selesai) dan mari (sembuh).

Referensi
Ullmann, S. (2014). Pengantar Semantik (5th ed.). (Sumarsono, Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

1 Like

Menurut saya, fenomena tersebut masuk ke dalam makna kontekstual. Di mana makna tersebut berhubungan dengan situasi, seperti tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut. Menurut Chaer (2003:290) menyatakan bahwa makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Hal ini didukung pendapat dari Djajasudarma (1999:166) menjelaskan bahwa makna kontekstual adalah makna yang muncul sebagai akibat hubungan antarujaran dan konteks.

Misalnya makna dalam kata ‘jatuh’ pada kalimat di bawah ini.
a. Rani jatuh dari sepeda. (‘jatuh’ bermakna ‘turun ke bawah’)
b. Dina jatuh cinta pada pemuda dari desa sebelah. (‘jatuh’ bermakna ‘menjadi’)

Referensi

  • Chaer, A. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Djajasudarma, F. 1999. Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.
2 Likes

Menurut saya memang unik. Jika ditinjau dari aspek semantik, hal tersebut memang memiliki makna tersendiri. Selan itu, banyaknya varian-varian bahasa menyebabkan banyak kata yang memiliki makna berbeda. Hal tersebut akan dapat diidentifikasi sesuai konteksnya.

Fenomena tersebut ada dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Salah satu penyebabnya ialah banyaknya kata asing yang masuk ke dalam suatu bahasa. Misalnya kata bang “kakak” menjadi homonim dari kata Belanda bank. Kata asing tersebut membangun himonimi dengan kata asli setelah kata asing disesuaikan bunyinya dengan lidah Indonesia (Ullman, 2014: 229). Dalam bahasa Bima, contoh dari homonim ini yaitu kata “mada”, memiliki beberapa arti yang disesuaikan berdasarkan konteks.

  1. Mada dula wau (Saya pulang dulu) - mada=saya.
  2. Oha na mbuipo mada (Nasinya masih mentah) - mada=mentah/belum matang.
  3. Madamu ntika (matamu cantik) - mada=mata.

Berkaitan dengan itu, Prof. Palmer (dalam Ullman, 2014: 231) mengemukakan “Kehomoniman itu hanya menyebabkan gangguan kebahasaan jika ia berada di antara kata-kata yang dalam konteks-konteks tertentu akan menyebabkan kesalahpahaman.” Saya setuju dengan pernyataan beliau, apabila tidak digunakan sesuai konteks akan menimbulkan kesalahpahaman.

Referensi
Ullmann, Stephen. 2014. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.