Gambar by
pengabarmasalalu.wordpress.com
Selain majalah Horison, pada masa pemapanan terbit juga majalah Sastra. Lalu apa dan bagaimana sajakah dinamika yang dilalui majalah Sastra di Masa Pemapanan Sastra Indonesia Tahun 1965-1998?
pengabarmasalalu.wordpress.com
Selain majalah Horison, pada masa pemapanan terbit juga majalah Sastra. Lalu apa dan bagaimana sajakah dinamika yang dilalui majalah Sastra di Masa Pemapanan Sastra Indonesia Tahun 1965-1998?
Majalah Sastra merupakan majalah yang terbit pada 1 Mei 1961 sampai 1964, setelah majalah horison. Kedua majalah ini begitu dekat, sebab dari kedua majalah tersebut dipimpin oleh H.B.Jassin. Adapun tokoh redaksi lainnya yaitu M. Balfas, D.S Moeljanto, Ipe Ma’ruf, Ekana Siswojo, Toha Mohtar, Tatang M., Zaini, A. Wakidjan (Yudiono, 2010). Pada awal penerbitannya, kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai pengelola dan penguasa kegiatan kebudayaan yang termasuk didalamnya ada sastra, telah mengolok-olok majalah ini. Dalam jurnal karya Susanti, Supriatna & Sumantri (2019) menyatakan bahwa perilaku tersebut disebabkan karena majalah Sastra mempunyai konsep kebudayaan sendiri dan berbeda dengan sastrawan Indonesia lainnya.
Pada saat itu merupakan masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno sebagai presiden mengatakan bahwa sastrawan harus berpatokan terhadap politik saat membuat karyanya untuk mengikuti jalannya revolusi pada masa itu. Tetapi, majalah Sastra menegaskan jika tidak terikat oleh ideologi politik apapun. Sebab majalah Sastra berpendapat bahwa jika mendukung politik tidak perlu memperlihatkannya. Majalah Sastra membuka halaman pertama dengan cerita pendek yang berseni tinggi berbeda dengan majalah sastrawan lain. Menurut Susanti, Supriatna & Sumantri (2019) majalah Sastra diserang dengan berbagai tudingan, salah satunya yaitu dianggap sebagai majalah yang anti politik dengan dua cerpen pertamanya.
Setelah itu, tekanan terus terjadi setelah dibentuknya Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963. Manifes Kebudayaan terbentuk untuk menampung para sastrawan yang ingin kebebasan dalam berkarya dari tekanan. Susanti, Supriatna & Sumantri (2019) mengemukakan bahwa, serangan berupa tulisan dan karikatur dalam surat kabar PKI menyebabkan Manifes Kebudayaan resmi diberhentikan setelah edisi Mei 1964 karena dianggap menjadi saingan Manifes Politik Indonesia. Sehingga Majalah Sastra tidak laku di pasaran dan para redaksi didemo untuk diberhentikan agar tidak menyebarkan Manifes Kebudayaan.
Pada November 1967, majalah Sastra kembali diterbitkan oleh H.B.Jassin, Darsjaf Rachman, Muhlil Lubis dan Hamsad Rangkuti. Mereka berharap majalah Sastra bisa beriringan dengan majalah Horison, karena sudah adanya komunitas kuat yang telah lama terbangun. Namun, majalah Sastra hanya terbit sampai Oktober 1969, disebabkan oleh cerpen ‘Langit Makin Mendung’ karya Kipandjikusmin. Dalam buku karya Yudiono (2010) cerpen ini berisi tentang Nabi Muhammad yang diizinkan Tuhan untuk melihat kondisi dunia dengan segala kesibukan politik dan penuh kemaksiatan. Para masyarakat Islam Sumatera Utara berbondong-bondong memprotes cerpen karena dianggap menistakan agama dan akhirnya cerpen ‘Langit Makin Mendung’ dilarang terbit.
Karena hal tersebut, H.B.Jassin selaku pemimpin majalah Sastra menjadi terseret kasus yang menyebabkan beliau harus bertanggung jawab atas tuntutan jaksa. Keputusan Jaksa menyebutkan bahwa kurungan penjara satu tahun dengan dua tahun masa percobaan. Kemudian H.B.Jassin mengajukan banding, tetapi belum ada kelanjutan sampai pada 11 Maret 2000 H.B.Jassin meninggal dunia. Menurut Wahyuningtias (2015) bahwa H.B.Jassin selaku pemimpin redaksi bersikukuh untuk membela pengarang, alasannya untuk menegakkan Undang-Undang 1966 terkait etik jurnalis, H.B.Jassin percaya jika pengarang tidak salah, ini hanya salah paham karena perbedaan sudut pandang pengarang terhadap imajinasinya disalah artikan oleh pembaca, dan untuk menjaga keselamatan pengarang. Yudiono (2010) mengemukakan bahwa dinamika terkait cerpen inilah menjadi sumbangan berharga sekaligus penutup untuk Sastra Indonesia akhir tahun 1960-an dari majalah Sastra.
Jurnal
Susanti, N., Supriatna, N., & Sumantri, Y. K. (2019). Lekra vs Manikebu: Perlawanan Majalah Sastra terhadap Politik Kebudayaan Pemerintah Masa Demokrasi Terpimpin (1961-1964). Factum: Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Sejarah, 8(1), 97-112.
Wahyuningtias, A. (2015). Upaya HB.Jassin dalam Penyelesaian Polemik Heboh Sastra Cerpen ‘Langit Makin Mendung Karya Kipandjikusmin di Majalah Sastra Tahun 1968-1970. Jurnal Avatara, 3(2).
Buku
Yudiono, K. S. (2010). Pengantar sejarah sastra Indonesia. Grasindo.
Majalah “Sastra” adalah salah satu publikasi penting dalam sejarah sastra Indonesia, terutama selama periode 1965-1998. Berikut dinamika utama yang dialami majalah ini:
Awal dan Pertumbuhan
Pendirian dan Tujuan: Didirikan untuk menyediakan platform bagi penulis Indonesia, memperkenalkan berbagai bentuk sastra, dan memfasilitasi pertukaran ide serta ekspresi kreatif.
Tokoh Penting: HB Jassin dan Mochtar Lubis adalah tokoh-tokoh kunci dalam pengelolaan majalah ini.
Dinamika Sosial-Politik
Rezim Orde Baru: Di bawah pemerintahan Orde Baru, majalah ini menghadapi sensor dan tekanan politik yang mempengaruhi isi dan arah editorialnya
Gerakan Budaya: Terlibat dalam gerakan budaya untuk mempertahankan kebebasan berekspresi di tengah tekanan politik.
Isi dan Gaya
Variasi Isi: Memuat puisi, cerpen, esai, kritik sastra, dan ulasan buku, dengan keragaman gaya dan tema
Inovasi Sastra: Era 1980-an dan 1990-an membawa keterbukaan terhadap inovasi bentuk dan teknik penulisan, memberi tempat bagi penulis muda dan eksperimental.
Penurunan dan Pengaruh
Kendala Finansial: Kendala finansial sering menjadi tantangan besar bagi kelangsungan penerbitan.
Pengaruh: Banyak penulis terkenal pertama kali mempublikasikan karya mereka di majalah ini, yang menjadi referensi penting bagi generasi berikutnya
Penutupan
Akhir Penerbitan: Faktor seperti perubahan minat pembaca, perkembangan media baru, serta tantangan finansial dan politik menyebabkan penurunan penerbitan. Meski begitu, pengaruhnya tetap terasa dalam sastra Indonesia hingga kini
Majalah “Sastra” berperan penting sebagai platform bagi ekspresi kreatif dan intelektual di tengah tekanan politik dan sosial selama masa pemapanan sastra Indonesia.
Refrensi:
Maksum, A., Bustami, R. Kudeta dan reformasi 1965 1998: dua momen kritis dalam hubungan Indonesia-Malaysia selama dan setelah Perang Dingin. SpringerPlus 3, 45 (2014). https://doi.org/10.1186/2193-1801-3-45
Majalah sastra diterbitkan pertamakali pada 1 Mei 1961 sampai dengan maret 1964. Sejak pertamakali di terbitkan, majalah tersebut sudah mnejadi bulan bulanan kelompok Lekra. Tekanan tersebut ssmakin kuat ketika deklarasi manifes kebudayaan pada 17 agustus 1963 sehingga majalah sastra terpaksa berhenti setelah edisi maret 1964. Kemudian pada November 1967 majalah sastra diteebitkan kembali. Akan tetapi penerbitanya hanya berlangsung hingga oktober 1969 kemudian terpaksa berhenti karena kasus cerpen " langit makin mendung" karangan kipandjikusmin pada agustus 1968.
Pelarangan tersebut berasal dari konflik antara karya sastra yang bersifat imajinatif dan realitas sosial. Masyarakat sering melihat sastra sebagai cermin kehidupan yang sebenarnya dan memiliki fungsi sosial dan keagamaan, namun sebenarnya sastra adalah karya rekaan yang berdiri sendiri dan tidak selalu bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu, mengikuti pandangan seni untuk seni. Karya sastra sering kali dapat diinterpretasikan berbeda-beda oleh pembaca dengan harapan dan pandangan mereka sendiri, dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya saat itu. Tulisan-tulisan mengenai kontroversi cerpen “Langit Makin Mendung” menunjukkan bahwa sastra dapat memiliki dampak sosial yang signifikan, dan pandangan masyarakat terhadapnya harus dipahami secara kontekstual, menghindari pemikiran yang terlalu memihak atau memilah dengan jelas antara yang benar dan yang salah. Majalah Sastra pada akhir 1960-an memberikan kontribusi berharga terhadap kehidupan sastra Indonesia, termasuk memberikan penghargaan kepada pengarang-pengarang yang karyanya dianggap berkualitas tinggi, bukan hanya dalam bentuk uang tetapi juga penghargaan tulus terhadap dunia kepenulisan.
Sumber : Yudhiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. (2010). Grasindo
Pada 1 Mei 1961 hingga Maret 1964 majalah sastra diterbitkan dengan tokoh-tokoh bernama H.B Jassin, M. Balfas, D.S. Moeljanto, Ekana Siswojo, Toha Mohtar, Tatang M., Zaini, A. Wakidjan, dan Ipe Ma’ruf. Majalah Horison ini pernah menjadi bahan bulanan, fitnah dan hasutan kelompok Lekra. Kelompok ini berkehendak agar seluruh unsuh kebudayaan berada di bawah kekuasaannya. Setelah banyaknya cerpen yang di terbitkan, majalah Sastra mengalami protes dari sekelompok masyarakat Islam yang berada di Sumatra Utara, mereka menganggap cerpen yang diterbitkan terdapat unsur penghinaan Tuhan dan merusak akidah agama Islam. Protes tersebut mengakibatkan konflik yang berkepanjangan dan akhirnya H.B. Jassin yang menjadi pemimpin majalah Sastra harus duduk di bangku pengadilan. Saat itu juga H.B Jassin dijatuhi hukuman percobaan dua tahun penjara, beliau juga mengajukan banding akan tetapi keputusan selanjutnya tidak pernah diperoleh. H.B Jassin kemudian meninggal dunia pada 11 Maret 2000 di Jakarta.
Karena peristiwa yang gempar tersebut, ada seorang sastrawan yang membukukan peristiwa tersebut dengan judul “Pleidoi Sastra Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandji Kusmin (2004)”. Masyarakat umum biasanya menganggap sastra adalah gambaran dari kehidupan sesungguhnya dan memiliki fungsi sosial dan agama, akan tetapi definisi atau hakikat karya sastra sesungguhnya adalah karya rekaan yang dibuat bukan hanya untuk tujuan tertentu, dan berlaku pandangan seni untuk seni. Meskipun begitu, karya sastra juga memiliki sifat banyak tafsir atau dapat diartikan menurut sang pembaca karya sastra tersebut dan dipengaruhi oleh kondisi sosial, masa, dan budaya di masyarakat. Majalah dengan nama yang sama juga pernah di terbitkan pada awal tahun 2000 atas usaha Yayasan Balerong tepatnya di Bandung yang memiliki tokoh H. Fachri Said, Mursal Esten, dan juga Hasanuddin W.S. Sastra-sastra baru mulai berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, baik di jalur pengajaran, penelitian, maupun penciptaan. Pusat Bahasa juga menjadi salah satu lembaga atau intuisi yang juga ikut serta dalam penelitian tersebut.
Sumber/referensi: Yudhiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. (2010). Grasindo.