Gemuruh sang bayu yang menggelitik
Menyapaku seolah bersenda gurau dengan sang waktu yang berdetik
Kedatangannya membuatku tak kuasa tuk membungkam pena ku yang ingin berbisik
Ia menuturkan warta dari sang nurani yang semestinya mustahil ku ulik
Netra ku tertuju pada kilau lembaran putih itu dan berharap ia tak bernoda
Genggaman itu tak ku lepas meski gumam batinku belum reda
Sekian lamanya ku bernaung, nyatanya jemariku tertusuk duri bunga merah muda
Setetes darah pun turut bertegur sapa di kertas putih yang tak bergaris jeda
Air mata itu jatuh menganak sungai yang entah dimana ujungnya
Sendu dan sesak turut pula bersinggah mengiringi klimaks nestapa
Hiruk pikuk itu melukiskan pahitnya hunian ekspektasi yang semakin beranjak katanya
Tutur kata tegasnya membuatku beralih tanpa bertanya mengapa
Helai demi helai mahkota bunga itu jatuh terurai
Aku pun tak berpikir tuk merakit kembali guguran bunga yang tercerai berai
Meski sesaat kalut dalam berlogika tetapi nuraniku tetap berperisai
Ku tebas batang bunga yang berduri itu, berharap ia tumbuh kembali sebelum epilog itu usai