Gerakan literasi semakin galak dilakukan di berbagai tingkat pendidikan. Rendahnya literasi siswa Indonesia didukung oleh peringkat Indonesia di PISA pada tahun 2012 mendapatkan peringkat ke-60 dari 64 negara (Kemdikbud, 2022). Munculnya Gerakan literasi nasional yang dimulai sejak tahun 2016 berdasarkan permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Fokus dari Gerakan literasi ini meliputi enam aspek, yaitu literasi dasar baca-tulis, numerasi, sains, financial, digital dan budaya & kewargaan.
Kenyataan yang membandingkan negara Inggris dan Spanyol menurut penelitian David Mc Clelland, bahwa perbedaan dikarenakan isi dari cerita. Cerita di Spanyol didominasi oleh cerita yang melodramatis yang melunakkan hati dan meninabobokan. Sementara cerita di Inggris lebih kepada motivasi pembaca untuk membutuhkan prestasi dalam hidupnya. Dalam hal ini maka, Gerakan literasi harus memperhatikan jumlah buku dan juga substansi dari cerita. Gerakan literasi ini tidak hanya harus memperhatikan kuantitas buku yang dibaca namun juga kualitasnya. Membaca adalah kegiatan yang bisa dilakukan semua kalangan. Bahkan keterbacaan siswa tidak ditentukan oleh status ekonominya di era digital ini. Sumber bacaan melimpah ruah di sekeliling kita, aplikasi unduhan bisa didapatkan secara gratis. Siswa harus sadar bahwa membaca itu belajar untuk membaca bukan membaca untuk belajar. Apa sih literasi itu? Secara sederhana literasi dipahami sebagai runtutan dari proses membaca, mendengarkan, menulis dan berpendapat atau berkomentar secara kritis (Angga Yudistira Permana, 2019).
Literasi Sastra merupakan dimensi literasi bidang kajian yang memiliki cakupan pemberdayaan Masyarakat Baca dalam mencintai sastra agar nilai-nilai etika, estetika, dan moral terabsorbsi secara luas. Literasi sastra sejarah merupakan upaya untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai peristiwa masa lalu. Selain itu, literasi sejarah juga merupakan kegiatan untuk menggali informasi dan sejauh mana seseorang memperoleh manfaat dari hal tersebut. Landasan berpikir dari literasi sejarah yaitu sejauh mana siswa memiliki kemampuan untuk menghubungbandingkan keterkaitan antara literasi sejarah dengan hal-hal di sekelilingnya.
Kita ketahui bersama bahwa cerita sejarah memiliki berbagai dimensi kehidupan yang tidak ada di zaman sekarang. Hal ini memberikan wawasan baru bagi para penikmat cerita sejarah untuk berimajinasi, berkreasi dan berefleksi terhadap kejadian masa lampau. Sebagaimanapun slogan yang digaungkan oleh Ir. Soekarno bahwa “Jas merah, jangan pernah tinggalkan sejarah”. Sejarah perlu digali dari waktu ke waktu dan diterapkan dalam pembelajaran ,terlebih pada bahan bacaan literasi siswa. Pentingnya mempelajari sejarah dalam kehidupan sehari-hari memberikan kita gambaran untuk mempertimbangkan bacaan yang pantas.
Dalam pembelajaran, kita perlu memilih-milih sumber bacaan untuk menunjang literasi sejarah. Terkadang siswa merasa bosan dengan sejarah karena runtutan peristiwa yang disajikan sedemikian panjang dan membosankan. Belum lagi siswa diminta menghafalkan sekian kejadian, tahun, tempat, lengkap dengan tokohnya. Hadirnya fiksi sejarah mampu menjawab tantangan tersebut. Cerita yang disajikan dengan runtut dan penuh emotif membuat siswa berhasrat ingin segera menyelesaikan cerita, dan mungkin lalu memberinya komentar, jika kritis, siswa dapat mengaitkan satu kejadian ke kejadian berikutnya. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menanamkan literasi fiksi historis yaitu dengan Flow.
Apa itu Flow? Flow adalah keadaan dimana konsentrasi begitu intens sehingga lupa waktu, fokus begitu tajam sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan apa yang tidak relevan atau khawatir dengan hal yang ada di depan mata, rasa canggung hilang, kepercayaan tinggi tumbuh, yang ada hanya rasa puas. Tokoh psikolog Mihaly Csikszentmihalyi menyatakan seorang bisa merasakan Flow ketika ia konsentrasi penuh pada apa yang sedang dikerjakan untuk mencapai tujuan tertentu. Begitu fokusinya sampai tak merasakan yang tubuh rasakan atau segala sesuatu di luar sirinya, hal ini terjadi ketika ia melakukan sesuatu yang berarti dengan tujuan utama bukan kenyamanan, kekayaan dan kemasyuran, tapi menikmati proses melakukan itu sendiri.
Membaca cerita sejarah membutuhkan fokus yang tajam untuk menghubungkan dengan kejadian di masa lampau dan pengalaman serta pengetahuan yang dimiliki. Hal ini dapat melatih konsentrasi seseorang, kreativitas dan melatih berpikir kritis.
Mihalyi bilang jika ingin Bahagia maka asah terus kreativitas. Karena orang-orang yang kreatif pasti hidupnya Bahagia, mereka cenderung bisa tenggelam dalam konsentrasi, jauh dari distruksi waktu dan tempat, menikmati proses untuk mencapai tujuan itu.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencapai flow.
- Tetapkan sasaran atau goal sendiri. Seseorang bisa memutuskan sendiri apa yang akan dilalui agar bisa memiliki dedikasi untuk menyelesaikannya dan juga memodifikasi jika goal tidak sesuai dengan proses yang terjadi. Membaca cerita sejarah menarik kita pada munculnya motivasi untuk mendapatkan goal itu sendiri. Cerita sejarah merupakan rentetan sebab akibat yang logis dan sarat akan nilai-nilai dan pelajaran.
- Tenggelamlah dengan apa yang sedang dikerjakan, investasilah pada apa yang memang ada di depan mata. Kita akan sedemikian tenggelam pada kenyataan sejarah untuk mengambil pelajaran untuk keadaan sekarang dan menentukan langkah untuk masa depan.
- Latih konsentrasi, bertahan untuk memberikan perhatian secara terus menerus tentang apa yang sedang dikerjakan. Dalam membaca cerita sejarah, kita dilatih untuk konsentrasi pada suatu kejadian dan berimajinasi di dalamnya. Sedikit saja konsentrasi meleset maka makna tak sampai.
- Belajarlah menikmati segala pengalaman langsung dan merasakannya secara indrawi. Kita bisa memanfaatkan daya imajinasi dan citraan untuk merasakan seolah cerita sejarah itu merupakan pengalaman langsung. Citraan membanti kita merasakan secara indrawi.
Cerita fiksi sejarah mampu membantu kita meningkatkan motivasi baca. ,Memang, perlu disiplin latihan, sadarilah titik tertinggi dalam hidup anda, hal yang pernah dilakukan, siapa saja yang mendukung hal tersebut, perhatikan perasaan lalu ciptakan lagi dan lagi. Kita bisa terapkan Mindfullnes untuk menunjang pembelajaran sastra historis dengan kesadaran dan perhatian penuh terhadap apa yang terjadi saat itu. Mindfullnes berusaha mengolah cara pandang untuk membuat merasa damai. Mindfullnes membuat welas asih terhadap apapun termasuk diri sendiri. Mindfullnes berusaha untuk mengakui penderitaan, belajar untuk mengatasi, menatap dan mencari akarnya lalu lepaskan. Mindfullnes membuat kitab bisa menghindari kecemasan dan menyembuhkan luka batin.