Lika-Liku Hidup di Balik Dinding Pesantren

Di sini saya akan menceritakan perjalanan enam tahun di sebuah pondok pesantren, yaitu Syubbanul Wathon. Tempat itulah menjadi pusat pertama untuk melanjutkan pendidikan dengan suasana, hal-hal, dan pengalaman baru.

Duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), di mana saya baru saja lulus dari sekolah dasar dan harus jauh dari kedua orang tua juga hidup mandiri dengan teman-teman yang belum dikenal. Antara rasa sedih juga senang, sedih karena harus terbentang jarak dan rindu dengan orang tua, senang karena dapat melanjutkan pendidikan umum berbasis agama serta mendapat kesempatan untuk berteman dan belajar hal-hal baru.

Malam pertama terasa begitu panjang, berbeda dengan suasana dan kenyamanan di rumah. Tidur di kasur lantai dengan perlengkapan seadanya dan bersama teman-teman baru membuat rindu rumah semakin terasa. Keesokan harinya pun sudah disibukkan dengan banyak kegiatan, mulai dari sholat berjamaah, mengaji, piket harian dan masih banyak lagi. Kegiatan mengaji di mulai setelah sholat subuh, setelah itu persiapan sekolah dan setelah sekolah dilanjut mengaji lagi sampai malam sekitar pukul sembilan.”Santri” identitas itulah yang saat ini saya sebut untuk diriku sendiri, katanya serba serbi yang harus dikerjakan sendiri dan harus mengantri, mulai dari makan, mandi, jajan dan masih banyak lagi. Hal menarik yang saya temukan di pondok pesantren adalah ketika makan tidak seorang satu piring namun menggunakan sebuah nampan dan diisi sekitar enam sampai sepuluh orang. Lebih menariknya lagi, beberapa santri mengikuti sebuat tirakat yaitu rowot. Rowot adalah makan namun tidak menggunakan nasi beras melainkan menggunakan jagung sebagai pengganti beras. Kami makan didampingi dengan sayur apa adanya, suka atau tidak suka, mau tidak mau harus makan makanan yang sudah disediakan dari pesantren. Itulah makna dari istilah “santri”, dididik untuk selalu menerima apa adanya, sabar, dan hidup dengan penuh sederhana.

Di Syubbanul Wathon ini, yang terkesan berbeda dengan pondok pesantren lainnya adalah kegiatan belajar mengajar di sekolah yaitu dengan menerapkan system pemisahan waktu belajar antara siswa dan siswi. Namun hal tersebut tidak menjadi permasalahan bagi kami, justru suasana yang didapat menjadi berbeda dari biasanya dan tentunya hal tersebut mengajarkan kami untuk tidak terlalu berinteraksi dengan lawan jenis agar menjauhkan kami dari hal-hal negatif. Yang membuat rasa nyaman lagi, kegiatan belajar mengajarnya dilakukan hanya setengah hari saja. Waktu pagi sampai siang hari untuk putri dan dari siang sampai sore hari untuk putra, karena separuh waktunya digunakan untuk belajar mengajar di pesantren (mengaji). Jika biasanya sekolah memperbolehkan membawa atau menggunakan peralatan elektronik untuk menunjang pembelajaran, namun di pondok pesantren tidak diperbolehkan, jika melanggar peraturan maka akan mendapatkan sanksi. Susah sebenarnya jauh dari handphone, namanya juga anak remaja, namun hal tersebut dapat mengajarkan kami untuk tidak sering bermain handphone dan lebih melakukan banyak kegiatan-kegiatan positif. Selain itu masih banyak peraturan yang berlaku, mulai dari peraturan pondok hingga peraturan sekolah yang wajib santri maupun siswa taati. Setiap satu bulan sekali ada kegiatan yang sangat di tunggu-tunggu para santri yaitu pertemuan dengan orang tua dan keluarga, disitulah para santri berkumpul, bercerita, serta melepas rindunya dengan keluarga. Kegiatan tersebut biasa dilakukan dengan makan bersama keluarga dan juga bercerita keluh kesuh yang dialami, karena pada saat penjengukan pun santri dilarang mengoperasikan handphone, jadi untuk mengabadikan momen hanya bisa berfoto-foto seadanya.

Tiga tahun pun berlalu, kini saya menduduki sekolah menengah akhir (SMA) jurusan MIPA di SMA Syubbanul Wathon. Tentu tempat yang digunakan juga berbeda, pada saat SMP berada di Tegalrejo dan pada saat SMA berada di Giri, Secang. Pembekalan materi di sekolah dan juga pondok tentunya sudah bertambah banyak. Adaptasi kehidupan di pondok juga sudah tidak asing lagi bagi saya karena sudah saya jalani selama tiga tahun silam, hanya tinggal mempelajari kelanjutan materi yang belum dipelajari, namun pasti juga ada lika-liku yang terjadi kedepannya.

Jarak yang memisahkan tidak menjadi permasalahan untuk seorang yang sedang mencari ilmu sejauh apapun itu, bertemu lalu bercerita itulah yang menyembuhkan sebuah rindu yang mendalam dan peran orang tua itulah yang menjadi support system apapun hambatan dan cobaannya. Mulai dari masalah dengan teman, pengurus, kakak tingkat, keadaan dan masih banyak lagi tentunya. Justru hal itulah yang menjadikan saya menjadi sosok yang mandiri dan lebih dewasa dalam menghadapi sesuatu yang sedang dialami. Sampai akhirnya saya menduduki bangku kelas 12 yang perjalanannya sungguh menyita waktu karena kegiatan yang banyak dan padat mulai dari uji coba, ujian pesantren, ujian sekolah, hafalan-hafalan dan kegiatan lainnya. Kemudian ada juga kegiatan yang paling menyenangkan pada detik-detik akhir kelas 12 yaitu ziarah dan rekreasi, serta kegiatan wisuda yang paling terakhir. Semua itu saya lakukan dengan sungguh-sungguh agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Detik-detik wisuda khataman adalah kenangan yang sangat mengesankan di masa sekolah dan pesantren, sebuah perpisahan yang memiliki banyak kenangan dan hal menarik saya temui dan akan saya rindukan di waktu mendatang. Enam tahun sudah saya lalui dengan penuh kesan dan pesan sehingga mengajarkan saya banyak hal seperti arti kesederhanaan, pentingnya kesabaran, dan bagaimana menjalani hidup dengan penuh rasa syukur. Pengalaman ini bukan hanya tentang belajar agama, tetapi juga membentuk saya menjadi pribadi yang lebih mandiri dan siap menghadapi tantangan hidup. Pengalaman ini menjadi sebuah prestasi yang membanggakan untuk diri saya karena tidak semua orang dapat merasakanya. Semoga kisah ini menjadi inspirasi bagi siapa pun yang tengah berjuang mencari ilmu, bahwa setiap langkah kecil penuh pengorbanan akan membawa hasil yang besar di masa depan.

“Setiap perjuangan mencari ilmu adalah investasi untuk masa depan.”