Lelaki, Tuhan, dan $

image

Tepat tengah malam.

Lelaki itu menjual Tuhannya. Sekarung $ dalam pelukan. Di antara dua tangan dan dada. Wajahnya girang. Berjalan lincah. Sesekali tersenyum. Tersenyum. Dan tersenyum lagi. Begitu berulang ulang. Matanya mengawas. Kanan ditengok. Kiri ditengok. Sesekali belakang ditengok pula.

“Sepi. Sudah tengah malam. Orang-orang tentu sudah tidur”, bisiknya.

“Harus bagaimana? Ini begitu banyaknya. Bank-bank masih tutup”, pikirnya keras.

“Bagaimana jika dirampas? Itu mending? Kalau kemudian di bunuh?”

“Atau ku makan saja? Belum pernah makan $. Mungkin lebih enak rasanya? Ketimbang nasi putih!”

Matanya siaga mengawas. Satu kecoak binasa. Terinjak bot yang dipakainya. Perutnya meledak. Namun kepalanya masih goyang-goyang. Rezeki semut. Hajatan besar. Semut pesta pora di tengah gang. Kaki pisah dari tubuh. Tubuh pisah dari tubuh. Kepala pun sama. Sarang semut kan pesta besar. Menyantap makan malam. Gemuk lagi! Sedikit berlemak. Meski lumayan bau. Ratu semut kan girang tentunya. Mungkin saja.

“Apa yang harus ku beli? Mobil atau motor? Motor sudah punya. Mobil belum bisa mengendarai. Atau barang kali rumah? Rumah? Aku seorang diri. Untuk apa beli rumah. Aku benar-benar seorang diri. Baru saja Tuhanku ku jual. Aku tak punya siapa-siapa. Kecuali $. Atau? Kujadikan dia teman saja. Teman saat tidur. Barang kali dia setia. Tak mungkin dia berkhianat. Tapi…tunggu dulu. Kenapa sejak tadi aku gelisah? Karena $ ini? Bukan. Bukan sepertinya. Tapi…ya juga mungkin. Atau…

“Aku tak mau berhenti berjalan. Tak aman, belum aman. Mata-mata? Mereka mengintai. Ingin merebut $ ku?

Langkahnya kian cepat. Terdengar keprak sepatu lain dari arah belakang. Dua pasang sepatu sepertinya. Embun turun. Jalan kian basah. Lorong-lorong kian sunyi. Hanya segerombolan kucing liar mengais makan. Ada pula yang memadu kasih. Sampai-sampai teriakannya menusuk telinga.

Lelaki itu sadar. Ada pengintai membuntuti.

“Apa yang harus aku lakukan? Lari? Atau berteriak saja?”, langkahnya kian cepat.

“Kurang ajar mereka! Kenapa mereka tahu aku bawa $? Apa mungkin ada yang mengabarinya? Apa $ ini berbau? Hingga cecunguk-cecunguk itu tahu? Bagaimana ini? Bagaimana? “

“Atau ku berikan saja $ ini? Barang kali setengahnya saja? Kebanyakan? seperempat? Kalau mereka minta semua? Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana ini?..

“Jangan-jangan mereka malaikat yang dikirim Tuhan? Tuhan marah padaku? Tuhan ingin mengambil $ ku? Tuhan murka! Tuhan murka! Tuhan murka padaku…

“Tidak! Tak ada yang boleh mengambil dollarku! Termasuk Tuhan… Ya! Tidak boleh! Akan aku libas cecunguk-cecunguk itu!”

“Tapi…dengan apa aku libas mereka? Aku tak bawa senjata… Hanya sebuah pulpen yang terselip di saku baju.”

Langkahnya bertambah cepat. Nampak seperti berlari. Keringat kian membanjiri jaket tebal yang dikenakan. Pandangnya tetap awas. Toleh kanan, toleh kiri. Pula ke belakang.

Digenggam pulpen sebatang itu di tangan kanan.

$ ku…kau takkan ku berikan pada siapa pun. Tenang saja. Kau akan aman bersamaku.”

Larilah lelaki itu. Masuk ke sebuah gang yang tak jauh darinya. Diikuti dua lelaki yang mengikutinya tadi.

“Mampus kalian!!!”

Malam kembali lengang. Gelap merajai malam. Suara anjing bersahut.

Pagi.

Orang-orang berkerumun. Menyaksikan dua lelaki yang tewas mengenaskan. Tak jauh dari dua mayat itu. Berhamburan $ penuh darah.

____Blora, Maret 2013.

2 Likes