Lelaki Pemecah Batu |Arif Setyawan|

image

Dialah, lelaki yang pernah mengutuk Tuhannya!

Senja. Kala langit berselimut awan kemunir. Matahari menghujam sisi-sisi awan hingga menjatuhkan kemuning sinarnya di tepian bumi. Sesekali teriak segerombolan gagak memecah udara. Tanah itu tandus. Berpola kotak-kotak hitam putih bak lantai istana Sulaiman. Entah persajian apa yang telah dilakukan. Si pemecah batu duduk termenung di atas lempeng tanah. Pandangannya jauh mengarah ke depan tak bertitik. Menembus serakan batu-batu hitam. Keringatnya bercucuran. Berjatuhan menghampiri lantai batu yang selalu bisu.

Masa lalu. Di saat jemari lelaki perkasa itu menyeka kening dengan penuh kelembutan. Mata yang terang benderang terkatup dalam hening kasih sayang. Layaknya lelaki pekerja keras lainnya, kulit jemari itu begitu kasar. Tiap hari memegang bodem tuk menghancurkan gundukan batu. Jemari itu sudah bengkak. Barangkali, tanpa kesengajaan hantaman si bodem kerap menyapa. Tapi, dia tak pernah mengeluh kesal tentang pilunya dunia ini. Ia selalu tersenyum. Senyum itu pun menyiratkan pesan kebahagiaan, bukan kepiluan. Pantaskah jika ia kita sebut ‘pembohong’?

Mentari kemarau selalu menghajarnya ketika memecah batu. Layaknya ia menghantam batu dengan bodem yang digenggam. Sampai-sampai kulit menjadi hitam legam. Kemarau terlewat, guyuran hujan membuat basah tubuh bumi. Kembali. Lelaki itu dipaksa kebasahan di pelataran alam. Sekujur kulit mengerut. Tak tahan dengan dinginnya hujan yang tak dihiraukan. Hanya ada satu alasan tuk menentang sengat mentari dan sang hujan. Tentunya bukan ‘keterpaksaan’ yang ada dibenak lelaki itu. Anak lelaki yang sedang tumbuh. Itulah yang menjadi alasan. Anak lelaki yang telah ditingal ibunya. Wanita berparas ayu yang gandrung dengan lelaki lain.

Lelaki itu tak banyak bicara. Senyum dingin tetapi tenteram, kerap menjadi rutinitas di rumah. Sang anak lelaki kian tumbuh. Ocehan dan tawa kecil mulai meramaikan rumah mungil di atas bukit batu itu. Tiada tetangga dekat yang ada. Hanya lelaki-lelaki pemecah batu lain yang dapat dijadikan tetangga. Mereka pun hanya tinggal sementara. Onggokan batu besar mereka pecah. Tangan-tangan kekar mereka tak kenal lelah demi menyambung hidup. Dan sang anak lelaki duduk termangu di tengah hiruk pikuk para pemecah batu. Bermain-main dengan batu-batu kecil yang ada disekitarnya. Sesekali memandang bapaknya, si pemecah batu. Bocah yang tumbuh di antara lelaki-lelaki itu tak pernah mengenal ‘ibu’. Tiada pernah mengucap kata ‘ibu’ dari mulut mungilnya yang kian terampil bicara. Dan sang ayah, tak pernah bercerita tentang ‘ibu’. Tiap selesai memecah batu, sang ayah berkisah tentang ‘batu’. Kian hari si bocah itu kian gandrung dengan batu. Tiada pernah ia melepaskan batu dari jari-jarinya. Dalam tidur pun, ia menggenggam batu-batu itu dengan kuatnya.

Sang bocah sudah menjadi bakal perjaka yang lincah. Kerap ia turun bukit berbatu. Menghampiri orang-orang yang ada di kampung. Sembari memegang batu-batu di tangan. Kecanggungan kerap dirasakan kala bertemu orang-orang desa. Karenanya, tiada pilihan kecuali sembunyi-sembunyi. Di suatu sore. Bocah itu masih berada di sekitar kampung. Tertidur pulas di semak belukar tempat persembunyiannya. Sisi langit mulai dihiasi kegelapan. Kelelawar-kelelawar lapar beterbangan gaduh mencari mangga masak. Bocah itu terbangun. Gema suara penyeru-Nya menggoncang dunia yang kian kelam. Kaget! Baru pertama ini si bocah mendengar adzan. Dorongan keingintahuan si bocah mengantarkannya ke sebuah langgar kecil di sudut desa. Dia heran, kenapa di tempat kecil itu orang-orang berbondong masuk. Ia pun mendekat sembari mengumpat. Melangkah kecil tanpa suara. Dan berhenti di sebuah titik berjarak tiga meter dari langgar. Terdengar bacaan yang sangat asing baginya. Akan tetapi begitu indah. Mulai saat itu mulailah ia berkenalan dengan Tuhannya. Tuhan Penguasa Alam yang tak pernah dikisahkan oleh Bapaknya.

Tak seberapa lama setelah perkenalannya dengan Tuhan. Bocah belia itu mengalami kegetiran dalam hidupnya. Bapaknya meninggal dalam sebuah tragedi kecelakaan kerja.

Bocah lelaki itu mulai bertanya murung pada Tuhan. Kenapa Tuhan yang baru saja dikenalnya memisahkan ia dengan bapaknya. Tuhan yang ia kenal ialah Tuhan Yang Maha Kasih dan Penyayang. Tapi Tuhan mengambil satu-satunya orang yang dimiliki dari kehidupannya. Bocah itu marah kepada Tuhan yang baru dikenalnya. Marah sejadi-jadinya. Kutukan terhadap Tuhan pun mencuat dari bocah kecil pemecah batu itu. Cintanya kepada Tuhan pun mulai lenyap bersama kematian sang bapak. ‘Batu’ yang telah diduakan dengan Tuhan, kini ia datangi kembali. Rasa gandrung pun mulai ia curahkan kepada ‘batu’. Romantisme pengisahan ‘batu’ oleh sang ayah kembali mengintimi sang bocah. ‘Batu’ yang tiada pernah menimbulkan nestapa baginya. ‘Batu’ yang hanya diam dan pasrah ketika ia meluluhlantahkan dengan bodem. Yaa… ‘batu’ nan membuat hatinya membatu pula dalam kehampaan, kekosongan, dan sedikit kenangan.

Kini. Langgar di sudut desa itu nampak lengang. Halamannya begitu kotor oleh dauan-daun mangga kering yang terjatuh.

Musim hujan telat dari rutinitas penjadwalannya. Kemarau begitu asik bercengkrama dengan dunia. Mentari kemarau meretakkan tanah. Air sungai lenyap dalam kegersangan. Pepohonan menyisakan batang yang ditinggalkan daun kering. Orang-orang mulai gelisah. Menanti hujan yang tak kunjung datang. Mendung gelap sesekali hanya lewat angkuh di pelataran-pelataran rumah mereka. ‘Tuhan membenci kami’, gumam orang-orang desa yang mulai putus asa. Nampaknya kemarau itu membuat perseteruan orang-orang desa dengan Tuhannya. Perseturuan dengan dasar kedangkalan iman. Kemarau seolah menghalalkan mereka untuk melupakan, bahkan meninggalkan Tuhan yang selama ini mereka kenal. Nampaknya ini sebuah jawaban.

Mengapa langgar di sudut desa itu sekarang kian lengang dan kotor. Orang-orang desa telah berseteru dengan Tuhan. Karenanya enggan tuk beribadah lagi. Tuhan sudah tak mengabulkan doa mereka. Itulah keluhan yang ada di hati orang-orang desa. Tiada guna terus beribadah kepadanya. Sebab kemarau masih saja melanda sampai saat ini. Orang-orang desa membuat sebuah kesepakatan. Jika hujan telah turun maka mereka akan beribadah lagi.

Baru saja, matahari kemarau masuk ke peraduan. Kelelawar-kelelawar buncit gelisah tuk dapatkan buah. Mereka berebut buah talok yang berbuah satu dua biji. Tak biasanya. Ada nyala pelita dari dalam langgar. Orang-orang desa yang telah meninggalkan Tuhan menjadi bertanya-tanya. Siapa gerangan yang berada dalam langgar itu. Orang-orang berkerumun di depan langgar. Tak satu pun orang desa yang tahu siapa yang ada di dalam. Mereka berdebat tentang ‘orang tolol’ mana yang ada di dalam langgar. Berjam-jam mereka cemas menunggu. Tapi belum ada petanda ‘si orang tolol’ itu akan ke luar. Pelita dalam langgar mulai redup. Tak lama kemudian langgar menjadi gelap. Bulan purnama sepenggal mulai menegaskan sinarnya. Orang-orang pun dapat melihat wajah-wajah mereka. Pintu langgar yang membisu, tiba-tiba menggerit lantai. Orang-orang desa terbelalak. Tawa keras pun membahana ke seluruh sudut desa. Dan lelaki pemecah batu itu berdiri diam di depan pintu langgar. Arif Setyawan.

2 Likes

Ujung-ujungnya malah kayak cerita horor.

Susah amat baca loncat-loncat. Sayang kalau dilewati tiap barisnya.

Dari cerita ini jadi paham istilah, “bersyukur atas nikmat iman dan Islam.”

Plotnya maju mundur. Cuma setelah 3 kali baca bolak-balik, sepertinya, pada akhirnya si lelaki pemecah batu mulai bertobat.

Keren euy. :+1: :heart:

1 Like