Latar Belakang Alun-Alun Utara dengan Wajah Barunya

Jogja menjadi salah satu kota yang tidak asing lagi untuk didengar, Jogja adalah Provinsi di Pulau Jawa tepatnya ada di tengah Pulau Jawa dan paling ujung Selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Seperti yang banyak orang tahu, Jogja disebut dengan daerah istimewa dan memiliki nilai kebudayaan yang terus dilestarikan hingga kini. Keistimewaan ini karena sistem pemerintahannya dipimpin oleh kasultanan, yakni disebut dengan Kasultanan Yogyakarta, yang bertempat di Keraton Yogyakarta. Titik pusat kotanya sendiri juga berada di Keraton Yogyakarta. Di setiap bangunan keraton pasti memiliki makna dan tujuan dalam pendiriannya. Di depan Keraton Yogyakarta terdapat Alun-Alun Utara, melangkah ke depan sedikit lagi sampai di Titik Nol Yogyakarta. Alun-Alun Utara merupakan salah satu bagian dari garis imajiner yang ditarik lurus dari Gunung Merapi, Alun-Alun Utara, Keraton Yogyakarta, Alun-Alun Selatan, Kandhang Menjangan, hingga laut Selatan Jawa. Hal tersebut dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I yang memiliki landasan filosofi sangat tinggi. Oleh karena itu, keberadaannya senantiasa harus dijaga.

Alun-Alun Utara atau disebut juga dengan Altar yang memiliki luas sekitar 150 m x 150 m. Pada waktu dulu Alun-Alun Utara adalah tempat sakral di mana tidak sembarang orang bisa memasukinya. Ada aturan-aturan tertentu bagi mereka yang ingin masuk ke sana seperti tidak boleh menggunakan kendaraan, sepatu, sandal, bertongkat, dan mengembangkan payung. Hal ini dimaksud sebagai wujud penghormatan kepada sultan. Seiring dengan perkembagan zaman Altar menjadi tempat umum, tetapi tidak dalam waktu beberapa tahun lalu. Alun-Alun Utara telah banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, yang dulunya khusus menjadi umum dan kini kembali lagi ke khusus yakni hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan masuk. Perubahan yang paling tampak adalah ketika pemberian pagar di sekeliling Altar pada tahun 2021 lalu. Sejak pemberian pagar itu, tidak ada lagi aktivitas public seperti Sekaten, sirkus, pentas-pentas, dan bahkan pedagang yang berada di halaman Altar tidak diperbolehkan lagi. Tidak berselang lama setelah dipagarinya Alun-Alun Utara kemudian ada pengurukan kembali atau penggantian pasir di dalam areal Alun-Alun Utara. Penggantian Pasir Alun-Alun Utara dimulai sejak Minggu, 3 April 2022 dan selesai pada bulan Juli 2022. Hal tersebut dilakukan pihak Kraton Yogyakarta untuk mengembalikan kondisi fasad tanah dan menjaga kelestariannya. Penggantian pasir yang dilakukan tidak hanya menggunkan sembarangan pasir, yakni pasir khusus yang berasal dari tanah kasultanan. Bahkan, pengambilan pasir telah melalui proses pemilihan sekaligus pertimbangan dari pihak internal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pemberian pasir lembut di alun-alun memiliki arti sebagai lautan tak berpantai. Hal tersebut merupakan merupakan perwujudan dari Tuhan Yang Maha Tak Terhingga.

Pada saat proses revitalisasi halaman Alun-Alun Utara ditemukan banyak timbuhan sampah di dalam tanah sehingga proses penggantian pasir ini juga untuk membersihkan dari pencemaran tanah dan memperindah warisan budaya di samping menjaga kelestariannya. Penimbunan sampah ini terjadi karena saat Alun-Alun Utara dijadikan tempat public atau umum banyak yang membuang sampah sembarangan. Alun-Alun Utara ini terdapat dua buah pohon beringin di bagian tengahnya. Pohon beringin ini memiliki filosofi sendiri yakni pohon yang berada di sebelah Timur garis imajiner berasal dari Keraton Pajajaran yang sebelumnya bernama Kiai Jayadaru dan diganti namanya menjadi Kiai Wijayadaru, sedangkan di sebelah Barat garis imajiner berasal dari Keraton Majapahit yang bernama Kiai Dewadaru. Kiai Dewadaru yang berada di sebelah Barat garis imajiner, bersama Masjid Gedhe Yogyakarta yang juga berada di sebelah Barat garis imajiner, menjadi gambaran hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara itu, Kiai Janadaru atau Kiai Wijayadaru yang berada di sebelah Timur garis imajiner, bersama Pasar Beringharjo yang juga berada di sebelah Timur garis itu, menjadi gambaran hubungan manusia dengan manusia.