Bahasa Nusantara adalah sekumpulan bahasa-bahasa yang digunakan di seluruh kepulauan Nusantara, terutama bahasa-bahasa yang digunakan oleh daerah-daerah yang menjadi wilayah Indonesia Dalam buku Bahasa dan Peta Bahasa (2017) yang diterbitkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) disebutkan bahwa jumlah bahasa daerah yang sudah diinventarisasi dan dideskripsikan sebanyak 652, 3 tidak termasuk dialek dan subdialek. Penelitian tentang korespondensi ini pernah dilakukan oleh Ardana (2011) yang berjudul “Korespondensi fonem Proto-Austronesia dalam bahasa Kaili dan bahasa Uma di Sulawesi Tengah”. Dalam penelitian tersebut dianalisis korespondensi fonem Proto Austronesia dan mendeskripsikan tipe-tipe perubahan bunyinya. Selain itu, Tiani (2010) juga membahas “Korespondensi Fonemis Bahasa Bali dan Bahasa Sumbawa” dengan melihat perubahan bunyi dari kedua bahasa tersebut. Berbeda dengan Husain (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Korespondensi Bunyi Bahasa Bugis Dialek Soppeng dan Dialek Ennak (Buginese Phonemic Correspondence of Soppeng and Ennak Dialects)” yang mengkaji pola korespondensi fonemis bahasa Bugis dari dua dialek melalui rekurensi fonemis, kookurensi, dan analogi. Metode-metode dalam perbandingan ini biasanya disebut dengan metode klasik. Metode perbandingan klasik meliputi hukum bunyi, rekonstruksi fonemis, dan rekonstruksi morfemis. Metode-metode perbandingan klasik itu yang dipakai sebagai landasan perbandingan bahasa tidak berhasil digantikan dengan metode-metode lain yang lebih ampuh. Hukum bunyi pada hakekatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa. Perbandingan dalam bidang fonologi harus dilakukan dalam rangka sebuah morfem atau sebuah kata, maka langkah pertama adalah usaha menentukan kata-kata atau morfem-morfem mana yang dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
Pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan kemiripan bentuk makna, biasanya diwujudkan pertama-tama dalam hubungan bunyi antar bahasa, yang terdapat dalam kata-kata yang mirip. Baru sesudah itu pengelompokan berdasarkam kaidah-kaidah gramatikal dan akhirnya berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis. Hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata dengan makna yang mirip, dirumuskan dalam abad XIX dengan nama hukum bunyi. Hukum bunyi sebenarnya mulai dirumuskan oleh seorang ahli bahasa bernama Jakob Grimm (1787-1863). Dalam penelitiannya atas bahasa-bahasa German dan Indo-Eropa yang lain, Jakob Grimm menemukan kenyataan-kenyataan bahwa ada pergeseran bunyi atau pertukaran bunyi. Pergeseran bunyi tersebut diuraikannya dalam bukunya Deutsche Grammatik yang diterbitkan dalam tahun 1819. Penerapan hukum bunyi pada bahasa-bahasa Austronesia, beberapa hukum bunyi atau lebih tepat korespondensi fonemis antara bahasa-bahasa kerabat Austronesia, atau juga hubungan fonem-fonem bahasa kerabat itu dengan bahasa protonya yaitu Austronesia Purba.
Kritik atas hukum bunyi, Aliran Neo Linguistica mengkritik Junggramatiker dengan alasan idealisme. Menurut mereka, setiap manusia memiliki kebebasan untuk mencipta sendiri tanpa terikat oleh hukum-hukum atau peraturan-peraturan tertentu. Aliran Rusia (Marr) menolak hukum bunyi dari segi lain, yaitu dari segi materialism. Marr mengatakan bahwa rumus-rumus yang dikeluarkan oleh Junggramatiker sifatnya terlalu abstrak, dan tidak mengindahkan soal-soal sosial dalam masyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya ahli-ahli Amerika tetap mempergunakan prosedur perbandingan sebagai yang dilakukan pada abad yang lampau dengan bertolak dari bidang fonologi, dengan membandingkan pasangan kata yang tercatat tersebut mengandung kesamaan fonologis (bentuk) dan makna atau tidak.
Selanjutnya mengenai korespondensi bunyi diganti dengan istilah korespondensi fonemis. Dalam bermacam-macam bahasa, diperbandingkan satu sama lain. Sesudah mendaftarkan kata-kata dari sejumlah bahasa, mulai diadakan perbandingan fonem demi fonem dari setiap bagian., kemudian dipilih kesepuluh bilangan utama. Satu oerangkat korespondensi fonemis tidak hanya diperoleh dari satu passing saja, tetapi harus diturunkan dari seluruh kemungkinan yang dapat diperoleh dari bahasa-bahasa yang diperbandingkan. Sesudah mencatat indicator tersebut, harus diadakan pengujian supaya perangkat korespondensi itu mendapat status yang kuat, dan di samping itu jangan sampai mengabaikan korespondensi. Prosedur untuk menemukan perangkat bunyi itu yang muncul secara berulang-ulang dalam sejumlah pasang kata yang lain disebut rekurensi fonemis.
Cara membandingkan bahasa-bahasa berkerabat diperlukan pemahaman terhadap bahasa bahasa tersebut dalam status hubungannya sehingga kemungkinan ditemukan persamaan persamaan yang menandai hubungan itu dalam berbagai bentuk sebagai perubahan yang terjadi. Dalam perbandingan bahasa diperlukan dialektologi sebagai bagian yang mempelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam suatu bahasa terutama dari segi geografisnya. Sedangkan sosiolinguistik melihat perbedaan unsur-unsur kebahasaan dari segi sosial kemasyarakatannya. Dari kedua bidang tersebut dapat dipahami mengapa bahasa-bahasa yang sebenarnya berada terpisah jauh masih memiliki persamaan-persamaan sekaligus perbedaan sebagai perubahan dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Bagaimana migrasi bahasa terjadi melalui suatu komunitas masyarakat tertentu sehingga memunculkan varian-varian sebagaimana yang terjadi pada bahasa-bahasa Nusantara.
Korespondensi bunyi dan variasi bunyi pada kaya bilangan. Misalnya sa (Aceh), sara (Nias), sada (Batak), asa (Banjar), seddi (Bugis), pso (Ambon), seta (papua), di sisi lain ada siji (Jawa), ciek (Minangkabau), yang apabila ditelusruri lebih lanjut tantu akan ditemukan asal kata yang dari induk bahasa yang sama sehingga yang lain merupakan variasi bunyi sebagai perubahan internal dari bahasa yang bersangkutan. Demikian pula untuk kata bilangan yang lain, misalnya makna “dua”, akan direalisasikan menjadi dua (Nias), Duwa (Aceh), duo (Minangkabau), dua (Batak), dua (Banjar), duwa (Bugis), dadua (Toraja), dewa (Papua), di sisi lain ada loro yang sesungguhnya bisa ditelusuri dari kata yang seasal secara diakronis sehingga bentuk plu (Ambon) kemungkinan merupakan bentuk variasinya. Kata-kata bilangan selanjutnya seperti tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, penyebutan dua puluh ke atas, sampai dengan seratus menunjukkan adanya korespondensi bunyi. Kata-kata tersebut menjadi indikator hubungan di antara bahasa-bahasa Nusantara.
Dari segi leksikon, fonologi, dan morfologi bahasa-bahasa Nusantara saat ini belum diteliti secara menyeluruh guna menemukan pola untuk dikaidahkan sehingga dapat dimanfaatkan pembelajaran bahasa daerah maupun bahasa Indonesia. Indonesia yang sebagian besar bahasanya termasuk bahasa-bahasa Nusantara, yang menjadi anggota Austronesia Barat, perlu dikaji ulang dengan memanfaatkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Bahasa. Hal ini didasarkan pada kata-kata di Indonesia bagian timur seperti Ambon dan Papua yang masih memiliki ciri-ciri hampir sama dengan kata-kata di Indonesia bagian barat (Melayu), meskipun pada bahasa tertentu, yang barangkali dahulu termasuk daerah perdagangan yang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca.