Menjadi jurnalis satu hal yang perlu ditaati ialah Kode Etik Jurnalistik. Terlebih proses liputan identik dengan kata rumit, bahaya, dan berisiko. Keberanian jurnalis menyuguhkan berita hasil meliput karena didasari adanya kebebasan pers. Kendati demikian, kekerasan terhadap jurnalis tak dapat dihindarkan meskipun jurnalis telah menaati Kode Etik Jurnalistik. Kekerasan yang menimpa jurnalis biasanya dipicu oleh ketersinggungan pihak yang memiliki kuasa atau modal akibat pemberitaan media yang merugikan dan mengancam kepentingannya. Umumnya tindakan yang diambil berupa gugatan secara perdata atau main hakim sendiri. Agung selaku Dewan Pers dan LBH Pers menyampaikan bahwa “Apabila ada jurnalisnya yang mengalami tindakan kekerasan agar mendapatkan pendampingan dari medianya," ujar Agung dalam Kompas (10/10/2020). Tindakan pelaporan ini sebagai upaya monitoring tindak kekerasan yang dialami oleh jurnalis.
Untuk tetap menjaga praktik pers yang bebas dan bertanggung jawab, seorang jurnalis tetap berkewajiban menaati Kode Etik Jurnalistik. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 7 (ayat 2) “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”. Atmakusumah Astraatmadja, mantan Dewan Pers wartawan Indonesia Raya juga menyarankan bahwa seorang jurnalis wajib menguasai minimal empat Kode Etik Jurnalistik yang tidak boleh dilanggar dalam situasi kondisi apapun meliputi:
- Menerima suap,
- Plagiarisme,
- Membuka identitas narasumber rahasia atau inisial,
- Informasi bohong.
Beda cerita ketika seorang jurnalis melakukan liputan investigasi yang menyangkut kepentingan publik, maka Kode Etik Jurnalistik dapat diabaikan. Maksud kepentingan publik di sini ialah hal-hal yang jika dibiarkan bisa merusak maupun merugikan masyarakat luas atau lingkungan. Jurnalis diperkenankan mengambil berita dengan alat perekam tersembunyi. Misalnya saja menggunakan watch cam, glasses cam, pen cam, remote cam, dan button cam. Jurnalis juga tak boleh asal merekam. Aturan perekaman bertujuan agar seorang jurnalis dalam pencarian informasi tetap dengan cara santun dan menghormati setiap narasumbernya. Adapun aturan yang dimaksud meliputi:
- Pemberitaan menyangkut kepentingan publik,
- Merekam di ruang publik,
- Tidak melanggar privasi orang yang ikut terekam,
- Berita ditampilkan khusus untuk siaran hiburan dengan tidak melanggar privasi, serta mendapat izin dari subjek rekaman.
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwasanya Kode Etik Jurnalistik sangat penting untuk diterapkan terlebih ketika seorang jurnalis berada di lapangan atau saat mengolah hasil liputan. Menaati Kode Etik Jurnalistik sebagai upaya jurnalis dalam meningkatkan profesionalisme kinerjanya. Akibat ruang kebebasan sipil yang mengerdil, represi yang ditujukan kepada seorang jurnalis tak dapat dihindarkan–meskipun jurnalis telah menaati Kode Etik Jurnalistik. Sekian pembahasan kali ini. Yuk lanjut diskusi melalui kolom komentar.
Referensi:
Purnomo, K. (2020, Oktober 10). Kasus Kekerasan pada Jurnalis saat Liputan, Ini Pasal dan Sanksinya. Dipetik Mei 16, 2021, dari kompas.com: Kasus Kekerasan pada Jurnalis saat Liputan, Ini Pasal dan Sanksinya Halaman all - Kompas.com
Riski, P. (2021, Maret 3). Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Jadi Ancaman Kebebasan Pers di Indonesia. Dipetik Mei 16, 2021, dari voaindonesia.com: Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Jadi Ancaman Kebebasan Pers di Indonesia
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 7 (ayat 2)