Kisah di Atas Keyboard

Hujan kembali menampakkan wajahnya. Mendung hitam menggantung di atas sana, menghalangi cahaya matahari. Terkesan sepi, kelam, suram. Namun di sudut kedai kopi ujung jalan ada sesosok yang terlihat sedang menikmati kesendiriannya. Netranya tak henti memandang orang-orang yang tergesa mencari tempat berteduh melalui dinding kaca transparan di sebelah kanannya, sembari menyeruput secangkir cokelat panas.

Ia tersenyum. Indah. Jika seseorang melihatnya saat ini, sudah dipastikan mereka akan terpesona.

Gadis bersepatu putih itu mulai menarikan jemari lentiknya di atas keyboard laptop. Sesekali kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman bahagia, seperti sedang bernostalgia dengan masa lalunya yang indah.

Hai, ini Ellen. Ya, aku tahu namaku terkesan begitu bule, sangat tidak cocok dengan tampang pribumiku. Tapi sudahlah itu tidak penting saat ini, ada yang lebih penting. Apa kamu tahu apa arti cinta? Apa kamu tahu rasanya patah hati? Apa kamu tahu rasanya dikasihi dan mengasihi? Oke, aku akan menceritakan sebuah kisah, sebetulnya ini masa laluku, sekitar 7 tahun lalu saat aku masih menjadi remaja ingusan yang hanya tahu bersenang-senang.

Semua bermula ketika aku duduk di bangku SMP. Awalnya aku hanya haha hihi selama bersekolah, namun suatu waktu aku bertemu dengan seseorang yang sangat mempesona. Orlando namanya. Salah satu siswa di kelas sebelah yang namanya dikenal seantero penjuru sekolah. Ia tampan, ia pintar, ia cerdas, ia juga hamba yang taat akan Tuhannya. Begitu sempurna. Sejak saat itu, aku mulai menaruh rasa padanya.

Waktu berjalan sangat cepat hingga tak kusadari aku telah menyimpan perasaan ini dua tahun lamanya. Hingga aku duduk di bangku SMA, yang sialnya sekelas dengan Orlando. Tak terelak, karena hanya kami berdua yang berasal dari SMP yang sama di kelas, kami pun menjadi teman baik. Ditambah Julio yang kami kenal saat SMA. Kami bertiga seperti tiga serangkai, ke kantin bersama, mengerjakan tugas bersama, mengikuti ekstrakurikuler yang sama. Aku menganggapnya lebih dari teman, tapi dia hanya menganggapku kawan.

Orlando berpegang teguh dengan kepercayaan yang ia yakini, bahwa pacaran adalah haram. Aku menghormati keputusannya. Maka dari itu, aku pun tidak berani berterus terang pada Orlando bahwa aku memiliki rasa.

Tiga tahun masa-masa SMA adalah yang terindah, memiliki sahabat-sahabat yang pengertian, selalu saling support, dan selalu ada. Aku menyayangi mereka berdua, Julio dan Orlando. Mereka pun juga menyayangiku. Pernah satu waktu kami bercakap-cakap, kira-kira begini.

“El, kita berdua tuh sayang sama kamu. Jangan, deh, sedih-sedih gitu, nggak cocok sama muka galak kamu.”

“Ayo kita temenan sampai ubanan, trus nanti kita tetanggaan. Wah, mantap, sih. Pasti bakalan asik.”

Haha, ya jadi begitulah. Waktu ke waktu rasa sayangku ke Orlando semakin tumbuh subur menjadi cinta. Yang aku tau saat itu, cinta adalah membiarkan orang yang kamu cintai mencari kebahagiaannya, menjaganya dari dosa.

Benar kata orang, bahwa cinta dan patah hati memang tidak bisa dipisahkan. Aku merasakan keduanya secara bersamaan.

Nah itu dia kisah yang membuatku tersenyum satu jam ini.

Wanita itu menutup layar laptopnya setelah menyimpan apa yang baru saja ia tulis. Ia melihat ke luar kedai, ternyata hujan sudah mulai mereda. Hanya tertinggal gerimis kecil.

Lonceng di pintu kedai menyita atensinya. Ada seorang lelaki tampan berkemeja berjalan menuju arahnya. Mata keduanya bertemu, lalu senyuman terkembang di wajah keduanya. Si wanita mulai membereskan barang bawaannya, kemudian memeluk lengan si lelaki. Yang lelaki membenarkan hijab yang dipakai si wanita.

“Mas Lando kok lama banget, sih.”

Cerita ini memiliki ending yang terbuka, penulis menyerahkan kelanjutan kisah mereka sesuai dengan imajinasi pembaca.
Yang penulis ingin sampaikan adalah, tidak harus tergesa, memangnya lagi dikejar apa, sih? Semua ada waktunya masing-masing, cukup bersabar menunggu sembari memperbaiki diri.
Terima kasih telah meluangkan waktu kalian dan mampir ke sini ^^

7 Likes