Kesenian Jathilan

hipwee-kesenian-jathilan-p2usp9-prv-700x422
sumber : hipwee.com

Apakah kalian tahu kesenian jathilan?? Bagi masyrakat jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta pasti sudah tidak asing lagi dengan kesenian jathilan. Jathilan adalah nama lain dari kuda lumping, hanya saja masyarakat Yogyakarta lebih sering menyebutnya jathilan. Jathilan atau biasa disebut dengan kuda lumping ini merupakan tradisi kesenian tentang tarian kaprajuritan. Dimana pada masa dahulu kala banyak prajurit yang menunggang kuda untuk berperang. Tarian jathilan yang merupakan gabungan seni tari dengan magis ini dimainkan dengan menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu. jathilan berasal dari kalimat bahasa Jawa “jaranne jan thil-thilan tenan,” yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia berarti “kudanya benar-benar joget tak beraturan”. “Thil-thilan” berarti tidak beraturan memang bisa dilihat pada kesenian jathilan ketika para penari telah kerasukan.

Pada zaman dahulu, jathilan dijadikan sebagai sarana upacara adat, seperti merti desa atau bersih desa. Keberadaan jathilan dalam acara merti desa memberikan efek sosial bagi masyarakat pendukungnya sebagai sarana gotong royong. Nilai nilai gotong royong dibalik kesenian jathilan ini tercermin dalam upaya untuk saling memberi dan melengkapi kekurangan dan kebutuhan artistik, misalnya pengadaan instrumen, tempat latihan, hingga pengadaan kostum. Pementasannya pun hanya melalui antar desa-desa kecil. Ada beberapa pendapat mengenai sejarah awal munculnya jathilan. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa jathilan adalah kesenian yang mengisahkan perjuangan Raden Patah dibantu Sunan Kalijaga saat melawan penjajahan Belanda. Seperti yang kita ketahui, bahwa Sunan Kalijaga adalah sosok yang sering menggunakan budaya, tradisi dan kesenian sebagai sarana pendekatan kepada rakyat, maka cerita perjuangan dari Raden Patah itu dituangkan kedalam bentuk seni tari jathilan. Pendapat kedua menjelaskan bahwa jathilan adalah gambaran dari proses latihan pasukan perang Kerajaan Mataram yang dikomandoi oleh Sultan Hamengkubuwono I dalam menghadapi belanda. Pendapat yang terakhir atau yang ke tiga mengatakan bahwa jathilan merupakan cerita seorang raja yang sangat sakti di tanah Jawa.

Meskipun terdapat hal mistis dan magis dalam jathilan, namun didalamnya mengandung makna, yaitu menunjukan sifat manusia dalam kehidupannya ada yang baik dan ada pula yang jahat. Hal tersebut terbukti pada awal tarian, para penari menari dengan lemah, lembut, dan gemulai dalam menggerakkan badan. Namun, lama-lama para penari menjadi kerasukan roh halus. Kerasukan ini dalam bahasa Jawa sering dikatakan istilah “ndadi”. Dalam keadaan kerasukan, para penari jatilan hampir tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya. Gerakan tariannya pun mulai tak beraturan dan menggambarkan sifat manusia yang jahat. Pada kondisi inilah kata jathilan itu tergambar*,*yaitu “jaranne jan thil-thilan tenan”.

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi jathilan disebut gamelan. Biasanya gamelan ini terdiri dari drum, kendang, kenong, gong, dan slompret atau seruling dengan bunyi melengking. Lagu yang dinyanyikan dalam pementasan jathilan biasanya juga bermakna akan nasihat agar selalu berbuat baik kepada sesama manusia dan selalu taat pada perintah Tuhan. Saat penari sudah kerasukan, maka gerakannya pun berubah mengikuti suara gamelan yang dimainkan. Tidak jarang ketika kerasukan para penari jathilan mampu melakukan atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia. Atraksi tersebut biasanya, makan kembang, mengupas buah kelapa menggunakan gigi, bahkan juga mengunyah pecahan kaca atau beling.

Jathilan tidak hanya ditarikan oleh pria saja, namun juga ada kelompok penari wanita. Selain itu, dalam pementasan jathilan juga terdapat “pawang” yaitu sosok yang menyembuhkan penari ketika kerasukan dan bertanggung jawab saat prosesi pementasan berlangsung. Dalam pementasan jathilan biasanya juga disediakan berbagai sesaji atau sajen. Sajen yang disediakan pada pertunjukan jathilan diantaranya adalah satu tangkep pisang raja, beberapa macam jajanan pasar yang berupa makanan, tumpeng robyong yang dihias dengan daun kol, berbagai macam kembang, beraneka jenis minuman seperti kopi,teh, air putih, menyan, dupa China, ingkung (ayam bekakak), dan sega golong (nasi bulet).Sajen akan dimakan oleh para penari yang sedang kerasukan. Tak jarang juga sajen tersebut dibagikan oleh penari kepada para penonton jathilan.

Seiring berkembangnya zaman, kreativitas masyarakat semakin meluas. Hal
tersebut berdampak juga pada pementasan jathilan. Perkembangan seni jathilan dari waktu
ke waktu itu membuat fungsi jathilan tidak hanya sebagai bagian upacara, namun menjadi
tontonan atau hiburan masyarakat. Saat ini, tarian jathilan sudah divariasikan menjadi lebih
modern dan variatif dibandingkan tarian jathilan zaman dahulu sehingga tidak membuat
penonton cepat merasa bosan. Pada sisi penampilan, jathilan saat ini juga sering
menampilkan peran celeng, ganong, dan gedruk. Hal tersebut membuat masyarakat lebih tertarik untuk melihat pementasan jathilan.

Kuswarsantyo. (2014). Seni Jathilan Dalam Dimensi Ruang Dan Waktu. JurnalKajianSeni.VOLUME 01, No. 01, 48-59.