Kesantunan Berbahasa Era New Normal Pandemi Covid-19 Perspektif Cakra Manggilingan

Oleh: (1) Muhammad Zainul Arifin, (2) Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum
(1) Mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Indonesia UNS, (2) Dosen S3 Pendidikan Bahasa Indonesia UNS

Dunia berkembang dengan pesatnya diberbagai bidang tatanan kehidupan manusia. Perspektif Jawa mengenal ungkapan “cakra manggilingan, owah gingsir gilir gumanti” yang dapat diartikan proses kehidupan seperti roda berputar yang berubah, berkembang, bergilir dan berganti-ganti situasi secara dinamis. Manifestasi ungkapan tersebut adalah bolak-baliknya zaman yang terus berubah terkadang berada dalam kegembiraan atau berada dalam kesedihan. Banyak perspektif dalam membaca perkembangan sejarah, seperti pandangan yang menganggap zaman itu selalu bergerak maju terus dengan meninggalkan tahapan sebelumnya dengan menyakini akan selalu menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Perkembangan secara maju mendapat keyakinan benar adanya saat melihat perkembangan manusia dari teologis menuju manusia metafisik kemudian dilanjutkan dengan manusia positivistik modern.

Ada pula perspektif yang menganggap bahwa perkembangan zaman tidak selalu maju seutuhnya terkadang terdapat sisi yang lain mengalami kemunduran. Pandangan semacam ini membuka mata kita bahwa setiap hadirnya sebuah perubahan yang baik dapat menimbulkan perubahan buruk di satu sisinya. Pada era pandemi covid-19 yang sudah berlalu saat ini, perkembangan teknologi sangat pesat tetapi apakah perkembangan tersebut diikuti oleh moral dan spiritual? Tidakkah saat ini nilai moral semakin mundur, dapat dibuktikan dengan banyaknya hoax yang merajalela di media sosial.

Perspektif ketiga melihat perkembangan zaman dengan cara melingkar. Proses kehidupan selalu mengalami siklus yang selalu berulang. Budaya hasil karya manusia juga mengalami siklus mulai dari lahir kemudian tumbuh berkembang lalu stabil mengalami kemandekan selanjutnya merosot dan hancur kemudian lahir kebudayaan yang baru. Bagaimana budaya di Indonesia saat ini setelah era pandemi, apakah lahir kebudayaan baru ataukah menjadi kemerosotan? Itulah yang akan dibahas saat ini kebudayaan new normal pasca pandemi covid-19 dari perspektif cakra manggilingan.

Ronggowarsita menjelaskan terdapat tiga perputaran zaman yaitu kalatida, kalabendhu, dan kalasuba. Kalatida diartikan zaman zaman egoisme, pada zaman ini orang-orang mengejar kesenangannya sendiri, akal sehat diremehkan sehingga perbedaan antara yang benar dan salah, adil dan tidak adil, baik dan buruk tidak lagi dipertimbangkan. Kalabendhu dapat diartikan zaman tidak waras (edan) dalam zaman ini tampak stabil namun dalam ketidaksadaran bahwa stabilnya itu semu. Pada zaman ini tata nilai kebenaran dijungkir balikan karena sesuatu perbuatan yang buruk disanjung-sanjung sebaliknya, sesuatu perbuatan baik malah dianggak aneh. Kalasuba dianggap zaman kemakmuran dan kestabilan, peradaban dan kebudayaan yang kokoh tanpa ada ke khawatiran kejahatan yang berarti. Kehidupan dambaan setiap manusia di muka bumi keadilan dan kesejahteraan yang merata.

Berdasarkan situasi zaman yang sudah dikemukakan oleh Ronggowarsita dapat dijelaskan bahwa pemahaman tersebut juga menggunakan perspektif cakra manggilangan yang menganggap kehidupan itu selalu berputar. Dalam perputaran zaman, dapatkah kita menempatkan kehidupan saat ini ke dalam fase kalabendhu?. Indikator yang mempengaruhi penempatan fase tersebut, seperti adanya pola perilaku kebudayaan pada saat pandemi banyak orang mengejar kesenangannya sendiri dengan mengesampingkan kepentingan orang lain, di saat terdapat anjuran untuk di rumah saja tetapi masih banyak lagi orang yang keluar rumah tanpa memiliki urusuan yang jelas. Indikator lainnya, akal sehat diremehkan sehingga perbedaan antara yang benar dan salah, adil dan tidak adil, baik dan buruk tidak lagi dipertimbangkan.

Perkembangan zaman yang tidak menentu ini berimbas kepada moral, budaya dan bahasa. Moral merupakan nilai nilai atau norma norma kebaikan yang menjadi pegangan dalam kehidupan seseorang untuk bertingkah laku. Dan budaya merupakan cipta rasa, karsa dan karya manusia, lebih sederhananya lagi budaya merupakan hasil dari pola pikir manusia baik yang terwujud secara materi maupun tertuang dalam sifat. Contoh nilai moral yang kurang saat ini dalam kasus di sekolah adalah kurang sopannya siswa di hadapan guru. Pada masa sebelum covid-19 muncul nilai moral ini selalu ditekankan kepada peserta didik dengan pendampingan oleh guru, tetapi pada saat pandemi peserta didik tidak diperbolehkan bersekolah. Dalam kurun waktu dua tahun belajar dari rumah inilah jauhnya peran seorang guru mendidik murid yang menjadi salah satu penyebab merosotnya nilai moral peserta didik.

Bukan hanya nilai moral tetapi penggunaan bahasa peserta didik juga dianggap menurun. Kecanggihan teknologi membuat peserta didik mudah mengakses media-media sosial yang informasinya sangat beragam. Kurangnya perhatian orang tua ketika peserta didik belajar dari rumah juga menjadi salah satu penyebab hal ini terjadi. Maraknya peserta didik mengikuti orang-orang yang dianggap sebagai panutannya ternyata banyak yang menggunakan bahasa-bahasa yang tidak senonoh.

Berbahasa santun dengan pemilihan kata-kata santun merupakan salah satu perwujudan sikap menghargai orang lain. Berbahasa santun hendaknya diajarkan kepada pembelajar bahasa Indonesia. Setelah dibelajarkan diharapkan pembelajar dapat menyerap materi dengan baik serta mampu mengaplikasikannya dalam perilaku berbahasa sehari-hari. Faktor penentu kesantunan berbahasa adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Faktor penentu itu dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu (1) aspek kebahasaan, seperti intonasi, pilihan kata, gerak-gerik tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan jempol kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, panjang pendeknya struktur kalimat, ungkapan, dan gaya bahasa; (2) aspek nonkebahasaan, berupa pranata sosial budaya masyarakat dan pranata adat.

Empat pandangan kesantunan, yakni (1) kesantunan berbasis norma kemasyarakatan (2) kesantunan berbasis maksim percakapan, (3) kesantunan berbasis konsep penyelamatan muka dan (4) kesantunan berbasis kontrak percakapan. Perkembangan zaman sehingga menimbulkan kemerosotan budaya di masyarakat dapat diatasi dengan konsep tri wikrama yang dapat diartikan sebagai keteguhan hati. Ada tiga prinsip yang harus diteguhkan oleh manusia yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan. Menghadapi kehidupan selalu berubah, pedomannya adalah tri wikrama dengan mengusai ketiga aspek tersebut. Prinsip dalam falsafah Jawa adalah apa yang kita rasakan hari ini adalah buah dari yang kita lakukan di masa lalu, manusia harus mengambil pelajaran di masa lalu sehingga kita di masa depan bisa mengalami sesuatu yang lebih baik dari yang kita alami saat ini. Prinsip lainnya adalah tata laku kebudayaan kita saat ini akan dinikmati di masa depan.