OK Gaes, pada kesempatan kali ini aku mau menceritakan salah satu pengalamanku saat aku masih SMA dulu. Jadi, kejadian itu bermula saat aku sedang sekolah di salah satu Boarding School di Yogyakarta. Pada siang itu, aku mendadak mendapat kabar dari rumah. Alih-alih mendapat kabar baik, ternyata kabar duka yang masuk ke telingaku waktu itu. Dan ternyata kabar itu adalah kabar kepergian kakekku dari Bapak. Namun, di cerita kali ini bukan itu yang akan saya bahas.
Singkat cerita, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah dengan segera. Menggunakan bus yang Alhamdulillah sebelumnya sudah penuh, namun mendadak ada seorang penumpang yang membatalkan tiket. Akhirnya, aku mengambil jatah kursi tersebut dan aku tawar dengan harga yang sedikit lebih murah, hehe. Setelah 2 hari dan semuanya sudah tampak normal, aku kembali ke sekolahku.
Aku kembali ke Yogyakarta menggunakan kereta api Joglosemarkerto dengan relasi Purwokerto-Solobalapan, tarif tiket ekonomi waktu itu sekitar 120 ribu rupiah, berangkat dari stasiun Pekalongan pukul 12.40 WIB. Sebenarnya, aku bukan orang Pekalongan, tapi orang Batang. Namun, kereta tersebut tidak berhenti di stasiun Batang, jadi aku memutuskan untuk berangkat melalui stasiun Pekalongan. Kondisi kereta api saat itu sepi, jumlah penumpang dalam satu gerbong dapat dihitung jari. Perjalanan dari Pekalongan ke Solo disuguhkan berbagai bentang alam indah Pantai Utara Kab. Batang dengan segala komposisinya, PLTU, tebing, serta pohon mangrove di sepanjang bibir pantai. Saat memasuki kota Semarang, juga disuguhkan view yang tak kalah menarik, melihat tumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Mas, penyimpanan minyak, serta hal-hal lain yang membuat betah melek. Pun perjalanan ke Solo yang melalui Kabupaten Grobogan, dengan view perkebunan jagung serta perbukitan hijau yang memanjakan mata.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam, keretaku tiba di stasiun Solobalapan. Suara instrumen lagu Bengawan Solo dan genta PT. KAI menyambut kedatangan para penumpang sebagaimana biasanya. Saat itu jam menunjukkan pukul setengah 5 dan aku masih harus melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta menggunakan commuter line, atau sering disebut KRL. Saat itu, jadwal KRL ke Jogja sekitar pukul 5. Dan masih ada waktu untuk sholat Asar. Sore itu aku sangat santai dan tidak terburu-buru, aku sholat di mushola, dan berjalan-jalan menikmati sore hari di stasiun Balapan, berjalan dari ujung ke ujung.
Sesampainya aku di ujung peron stasiun, terdengar pengumuman bahwa KRL akan segera memasuki stasiun. Akupun berjalan menuju KRL dengan santainya, karena dalam pikiranku waktu itu, “Ah, kalaupun ketinggalan KRL ini juga gak masalah, masih ada keberangkatan jam 6.20, sembari menikmati sunset di stasiun Balapan sambil nonton kereta.” Nah, betul aku ketinggalan beneran karena KRL hanya berhenti sekitar 30 detik di setiap stasiun. Akupun lanjut jalan-jalan di dalam stasiun menikmati sore hari sambil melihat berbagai kereta api berlalu-lalang, melihat kereta eksekutif Dwipangga New Generation yang kala itu baru saja rilis. Dan makan sore dengan nasi yang dibawakan ibu dari rumah.
“Allahu Akbar, Allaaaaaaaaaahu Akbar.” Adzan Maghrib pun berkumandang. Saat itu waktu tersisa 25 menit sebelum keberangkatan KRL berikutnya, aku sholat Maghrib di masjid stasiun Solobalapan. Perhitunganku setelah sholat langsung gas naik KRL. Nahas, saat sholat Maghrib ternyata imamnya lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Aku mulai gak tenang mendengar ayat suci yang dibacakan beliau secara lama. “Waduh, tekan gak ki yo, tekan gak yo.” Saat rakaat terakhir, aku lebih tidak tenang ketika mendengar suara announcer yang mengumumkan KRL segera memasuki stasiun, saat tasyahud akhir seakan batinku menghitung untuk salam dan segera kabur. “Satu… dua… Assalaamualaikum warahmatullah.” “Hyak-hyak” saya langsung lari tunggang langgang sekuat tenaga. Klakson keberangkatan kereta pun tekah berbunyi, “keeeeeng” (suara khas klakson KRL). Beberapa orang bilang, “Ayo, Mas cepetan, masih bisa itu!” dan ada lagi yang bilang, “Dah to Mas, gak bakalan nyampe.” Aku bingung harus nurut yang mana sambil tetap berlari. Saat aku kurang dari 20 meter lagi dari pintu kereta, pintu pun ditutup. Batinku “A***********” (Astaghfirullah), udah berusaha ngejar malah ditinggal pergi. Mana udah ngos-ngosan, tambah diliatin orang-orang.
Aku lalu mengecek jadwal keberangkatan lagi di papan stasiun, karena waktu itu kondisiku tidak membawa ponsel, dan ternyata masih ada kereta terakhir yang diberangkatkan pukul 21.00. Ternyata kereta tersebut adalah kereta tambahan dikarenakan arus komutasi Jogja-Solo pada waktu itu cukup padat, dan kereta sebelumnya yang meninggalkanku seharusnya adalah kereta terakhir pada hari itu. Alhamdulillah sekali, sedikit lega. Menunggu kereta selanjutnya, aku hanya berdiam di stasiun yang sunyi pada saat itu, hanya ada beberapa karyawan PT. KAI yang sedang bekerja. Singkat cerita, akupun bisa naik KRL menuju Yogyakarta. Tamat.