Bahasa juga memiliki hubungan dalam mengaitkan antar unsur didalamnya. Bahasa yaitu suatu lambang bunyi yang bersifat manasuka yang digunakan oleh sekelompok orang untuk berkomunikasi (Chaer, 2007:34). Dalam proses penuturan, terdapat rangkaian kalimat yang memiliki hubungan satu dengan lainnya. Hubungan dapat dikatakan sebagai sangkut paut suatu hal dengan hal lain. Dalah hal ini, hubungan yang terdapat dalam bahasa untuk mempengaruhi pembentukan kalimat dan memperhatikan maknanya. Salah satu hubungan dalam bahasa yaitu hubungan sintagmatik.
Hubungan sintagmatik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure pada tahun 1857-1913). Menurut Saussure (1988: 72-74), hubungan sintagmatik adalah hubungan yang ada di antara item-item yang tersusun secara berurutan dan linier di dalam sebuah ujaran. Dapat pula dijelaskan sebagai penghubung antara unit-unit bahasa secara konkret (in presentia). Unit-unit bahasa yang dimaksudkan adalah hubungan yang terdapat diantara satuan bahasa seperti antar fonem yang satu dengan fonem yang lain maupun antar morfem yang satu dengan morfem lain. Kemudian menurut Parera (2004:64), hubungan sintagmatik semacam hubungan dalam unsur bahasa yang memperlihatkan satu pola hubungan. Pola tersebut menentukan fungsi dan makna antara suatuan bahasa. S. Kaesang (1982:42) menambahkan unit-unit dalam hubungan sintagmatik dinamakan sintagma, artinya unit-unit bahasa saling mengikuti menjadi sebuah aturan dari kata-kata menuju rangkaian kata-kata yang dapat disatukan ke dalam unit bahasa yang lebih luas.
Dari penjelasan para ahli diatas dapat diketahui bahwa hubungan sintagmatik merupakan susunan unit-unit bahasa yang berurutan dalam membuat suatu ujaran yang dapat digunakan dalam bahasa sehari-hari. Ujaran tersebut memiliki makna yang jelas dan tidak terkesan ambigu karena fonem dan morfem salin tersusun dengan teratur supaya menciptakan kalimat yang padu. Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan sintagmatik sebagai hubungan linier atau horizontal yang menandakan memiliki struktur kalimat yang jelas. Maka hubungan sintagmatik ini dapat dipaparkan dalam tataran fonemik, tataran morfologi, dan tataran sintaksis sebagai berikut:
- Tataran fonemik. Urutan fonem dalam kata umumnya tidak dapat diubah. Namun terdapat hubungan sintagmatis tertentu antara fonem dalam setiap kata seperti sulam, mulas, lumas.
- Tataran morfologi. Urutan morfem dalam kata umumnya tidak dapat diubah, misalnya me-masak tidak dapat berubah menjadi masak-me.
- Tataran sintaksis. Urutan kata yang berubah dapat mengubah arti, hal ini dapat dilihat dari hubungan sintagmatiknya seperti:
Lisa datang lusa.
Lusa lisa datang.
Lisa lusa datang.
Kemudian dalam menguji kebermaknaan hubungan sintagmatik, dapat dilakukan dengan pergantian posisi pada kalimat. Apabila dalam pertukaran posisi dalam kalimat tersebut menyebabkan pertentangan makna maka hubungan tersebut dapat mengandung makna structural. Contohnya “Dito pergi ke rumah Rio” dan “Rio pergi ke rumah Dito” tidak memiliki makna struktural yang sama. Selanjutnya dalam sebuah kalimat terdapat tiga jenis urutan kata yang berbeda yaitu urutan fungsional, urutan konkomitan, dan urutan longgar.
Pertama, urutan fungsional menunjukkan bahwa perubahan tempat atau urutan selalu mengubah makna gramatikal. Semua bahasa yang alami mengikuti kriteria ini. Kedua, urutan konkomitan bersifat mubazir karena membawa makna posesif. Contohnya dalam kalimat bahasa Indonesia, kata “anak ayah” mengandung makna gramatikal yang posesif karena menunjukkan bahwa anak tersebut hanya dimiliki oleh ayah sementara ibu tidak. Ketiga, urutan longgar yang berarti perubahan-perubahan posisi atau permutasi disebabakan oleh faktor-faktor nongramatikal. Maka dalam perubahan posisi ini tidak mempengaruhi pertentangan makna gramatikal. Kemudian melalui analisis semantik, penting dalam mempertimbangkan apakah pergeseran posisi dalam kalimat memiliki beban makna atau tidak.
Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa hubungan sintagmatik bekerja secara linier yang memperlihatkan penggabungan kata yang secara keseluruhan sama dapat diperluas kemudian pola hubungan atau struktur urutan kalimat dapat mempengaruhi makna dan fungsi kata. Hubungan antara unit-unit bahasa tersebut bersifat konkret. Maka perlu diperhatikan dalam menyusun kalimat apakah kalimat tersebut memiliki makna yang sesuai atau tak bermakna.
Referensi:
Parera, J. D. (2004). Teori Semantik (Edisi Kedua). Jakarta: Erlangga.
Wahyuni, I. (2016). Prefiks Pembentuk Verba Bahasa Sumbawa Dialek Sumbawa Besar: Pendekatan Sintagmatik dan Paradigmatik Skripsi (Doctoral dissertation, Universitas Mataram).