Kebudayaan turun temurun masyarakat Bangka

Kebudayaan turun temurun masyarakat Bangka

Oleh: Anjelia Shapira

Setiap daerah pasti memiliki adat istiadat yang biasa dilakukan secara turun-temurun, begitu juga Bangka Belitung yang mempunyai berbagai macam tradisi salah satunya tradisi Nganggung yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang dan tetap dilakukan atau dilaksanakan sampai sekarang. Nganggung adalah kegiatan atau kegiatan dimana sekelompok orang berduyun-duyun membawa nampan yang isinya telah disiapkan dari rumah masing-masing, baik kue kering, buah, makanan atau lauk pauk, dan ditutup dengan penutup. Nampan ini biasanya diantarkan ke masjid, rumah adat atau rumah warga yang berduka atas meninggalnya anggota keluarga. Nganggung juga digunakan untuk memperingati hari-hari besar keagamaan Islam seperti memperingati Idul Fitri, Idul Adha, 1 Muharram, Isra Mi’raj, kunjungan Gubernur/Bupati saat peresmian masjid, dll. Masyarakat bergantian, misalnya kegiatan dimulai di RW1, dilanjutkan di RW berikutnya, berakhir 7 hari setelah ada yang meninggal, berlanjut di hari ke-25, hari ke-40, hari ke-100 lagi. Tuan rumah kemudian bebas memutuskan apakah akan memperingati hari kematian anggota keluarga atau tidak.

Dalam tradisi nganggung ini hampir seluruh masyarakat terlibat dalam kegiatannya karena kegiatan tersebut sangat positif dan bermanfaat bagi masyarakat Bangka Belitung terutama dalam menjaga tradisi, silaturahmi dan ukhuah Islamiyah. Tradisi budaya memiliki nilai wisata yang sangat besar jika dioptimalkan. Dalam tradisi nganggung ini banyak nilai moral yang diperoleh, seperti mempererat tali silaturahmi, memberi sedikit rezeki kepada yang membutuhkan, dan memperingati hari besar Islam. Seperti kegiatan nganggung yang dilakukan ibu-ibu Dusun Keceper Desa Pemali Kabupaten Bangka, saat kunjungan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, saat peletakan batu pertama pembangunan Masjid Baitul Mutaqqin Dusun Keceper Desa Pemali Kabupaten Pemali Bangka, Juli 2021 Kamis tanggal 1.

Biasanya ada gendang atau kendang khusus yang ditabuh tiga tahap dengan irama khusus sebelum dulang dibawa ke masjid, surau atau balai desa. Dulang yang datang lebih dulu berjejer di barisan depan, disusul baki di belakang, dan tamu yang datang duduk saling berhadapan berbentuk masjid, mushola, atau balai desa. Di barisan depan adalah tamu-tamu terhormat, seperti pejabat pemerintah, pangeran, kepala desa, pemuka agama, guru, dll. Sementara itu, barisan terakhir adalah anak-anak. Doa dibacakan oleh pendeta atau pemuka agama sebelum membuka tutupnya. Setelah doa dibacakan, makan bersama. Dalam acara ini, hanya laki-laki yang berpartisipasi. Saat ini nganggung jarang ada di kota-kota dan diganti dengan kenduri atau sedekah, atas biaya si pemberi. Sementara itu, dalam tradisi nganggung, para tetangga secara sukarela membantu perayaan tersebut. Dalam tradisi nganggung, hampir semua orang mengikuti acara tersebut. Jadi, nganggung berarti menegakkan tradisi, silaturahmi, mempererat persaudaraan, membagikan sembako kepada yang membutuhkan dan memperingati hari besar Islam.