edited by canva
Beberapa tahun belakangan ini, khususnya di twitter @strategi_bisnis
berkembang isu mengenai “Kebahagiaan dapat dibeli dengan uang”. Beberapa orang mempercayai isu tersebut dengan alasan uang dapat membeli berbagai hal. Hal yang dimaksud adalah hal-hal yang menimbulkan rasa bahagia, seperti jika seseorang memiliki hobi belanja, maka ketika ia sedang bersedih, ia akan bisa belanja berbagai macam barang atau makanan untuk melepas kesedihannya tersebut. Namun, beberapa orang yang tidak sependapat mengenai kebahagiaan dapat dibeli dengan uang, mereka menggunakan argumen bahwa dengan adanya uang tersebut, itu hanya dapat mengalihkan rasa sedih sebentar. Dengan kata lain, berbelanja hanya dapat mengalihkan rasa sedih, setelahnya kesedihan akan tetap ada.
Dari sudut pandang ahli ekonomi mikro, mereka mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dibeli dengan uang. Para ahli ekonomi mikro menggunakan kepuasan (utility) untuk merepresentasikan ukuran dari kebahagiaan yang orang-orang bisa dapatkan dari mengkonsumsi barang dan jasa. Secara sederhana, dengan adanya uang, orang-orang bisa merasakan kepuasan dengan membeli barang atau menggunakan jasa orang lain. Oleh karena itu, meningkatnya pendapatan dapat menjadikan mereka mengonsumsi lebih banyak barang dan jasa, dan akhirnya kepuasan pun meningkat bersamaan dengan pendapatan yang juga ikut meningkat.
Namun, dari sudut pandang pakar ilmu financial psychology, mereka memiliki hasil penelitian yang berbeda dari ahli ekonomi mikro. Penelitiannya mengenai hubungan tingkat kebahagiaan dan uang menghasilkan jawaban bahwa semakin meningkat pendapatan yang dimiliki, maka semakin menurun peran uang dalam menciptakan sebuah kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan suatu kondisi ketika seseorang merasakan puas atau cukup di dalam hidupnya. Hal itu membuat manusia menjadi kan bahagia sebagai tujuan hidup mereka. Banyak orang menentukan sebuah kebahagiaan ideal mereka dengan memiliki banyak uang. Namun, “banyak uang” tidak memiliki nilai yang pasti atau bersifat relatif. Kerelatifan uang tersebut dapat dilihat dari golongan pekerjaan mereka, yaitu lower class, middle class, dan upper class. Lower class adalah buruh kasar dengan pendapatan yang rendah, oleh karena itu, “banyak uang” bagi golongan ini akan lebih rendah dibanding middle class, dan golongan middle class pun akan lebih rendah dari upper class.
Dengan adanya kerelatifan nilai pada “banyak uang” tersebut, muncul istilah baru yaitu income threshold. Menurut Kahneman dan Deaton (2010), Income threshold adalah ambang batas pendapatan yang berkaitan dengan uang dan kebahagiaan. Ambang batas tersebut yang menentukan apakah uang masih berpengaruh pada kebahagiaan atau tidak. Misalnya, jika ambang batas kekayaan pada seseorang adalah 2 miliar, maka peningkatan selanjutnya pada pendapatan yang dapat melebihi 2 miliar tidak lagi berpengaruh terhadap kebahagiaan. Namun, hal yang terpenting, jika pendapatan belum pada titik income threshold tersebut, uang memiliki pengaruh yang penting pada kebahagiaan.
Dari contoh hal di atas menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendapatan, uang tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebahagiaan. Semakin banyak uang yang dimiliki, maka semakin menurun variabel uang tersebut pada kebahagiaan yang hakiki. Ketika seseorang sudah merasa cukup pada ambang batas pendapatan, mereka seringkali mendapatkan kebahagiaan dari hal-hal kecil dan sederhana. Salah satu pembuktian dari teori ini adalah ketika Michael Bambang Hartono, pemilik perusahaan rokok kretek di Indonesia, yaitu Djarum, didapati sedang memakan tahu pong di warung sederhana. Hal itu sudah ia lakukan sejak 35 tahun yang lalu, di mana warung sederhana tersebut masih berbentuk tenda di pinggir jalan.
Jawaban dari isu financial psychology ini dinamakan dengan hedonic treadmill. Melansir dari www.seva.id
, “Hedonic treadmill adalah kecenderungan seseorang untuk tetap berada pada level kebahagiaan yang relatif stabil dan tidak berubah meskipun sudah mencapai tujuan atau kesuksesan.” Hal itu dikarenakan adanya situasi di mana ketika pendapatan seseorang meningkat, maka gaya hidup dan kebutuhannya pun juga meningkat. Seseorang dengan gaji 10 juta perbulan akan habis untuk gaya hidup dan kebutuhannya. Sama juga ketika ia memiliki gaji 40 juta perbulan, maka akan habis juga untuk memenuhi gaya hidup dan kebutuhannya.
Contoh nyata dari isu tersebut adalah ketika gaji 10 juta, mereka akan menggunakan mobil Toyota Ayla, dan ketika gaji naik ke angka 40 juta, mereka akan menggunakan mobil Tesla, yaitu untuk gaya hidup sekaligus kebutuhan. Penyebabnya yaitu gaya hidup, kebutuhan, dan ekspektasi akan ikut meningkat beriringan dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu, benar jika dikatakan bahwa nafsu akan materi tidak pernah ada pada titik puas, dan kebahagiaan pun berjalan stagnan atau tetap jalan di tempat. Hal itu terjadi akibat seseorang selalu merasa kurang dalam memenuhi gaya hidup, kebutuhan, dan ekspektasi.
Hedonic treadmill secara singkat membuat seseorang memiliki gaya hidup, kebutuhan, dan ekspektasi yang terus meningkat dan tidak pernah bisa merasa puas. Hal itu yang membuat level kebahagiaan berjalan stagnan dan tidak bisa naik walaupun pendapatan yang dimiliki meningkat. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghindar dari jebakan hedonic treadmill yaitu dengan menciptakan hal-hal kecil dan sederhana yang dapat menimbulkan rasa bahagia. Contohnya seperti bersepeda bersama teman di sore hari, menonton bioskop sendiri, atau bahkan membaca buku-buku comic. Dengan melakukan hal-hal kecil yang dapat menimbulkan rasa bahagia, itu akan membuat kita terhindar dari keinginan untuk memenuhi gaya hidup yang tidak ada akhirnya. Keuntungan lainnya, kita lebih mudah untuk bahagia dan bisa menghemat pengeluaran.
Referensi
Kahneman, D. & Deaton, A. (2010). High income improves evaluation of life but not emotional well-being. Proceedings of the National Academy of Sciences, 107(38), 16489–16493.
Kartika, Amalia. (2021). “Apa itu Hedonic Treadmill dan Bagaimana Cara Mengatasinya”. https://www.seva.id/blog/apa-itu-hedonic-treadmill-dan-bagaimana-cara-mengatasinya-072021-lf/