Kajian Apresiasi Puisi: Mengulik Lebih Dalam Makna pada Puisi “Elegi” Karya Joko Pinurbo dengan Pendekatan Mimetik

Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak disukai karena dalam penyajiannya, puisi menggunakan bahasa yang indah dan sifatnya yang imajinatif. Bahkan ada banyak sekali tema dan inspirasi yang dapat dijadikan bahan untuk membuat puisi. Puisi juga sering disebut sebagai suatu rangkaian kata-kata yang menggambarkan perasaan penulisnya. Sehingga, kata-kata yang ada di dalam puisi dapat terlihat penuh dengan makna. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Sari, dkk. (2015) yang menyatakan bahwa, puisi yaitu kata-kata indah yang memiliki makna.

Keindahan yang terdapat dalam puisi layak diberi apresiasi. Apresiasi bermakna pemberian nilai pada sesuatu, begitu juga dengan apresiasi puisi berarti pemberian nilai pada suatu puisi. Dalam proses apresiasi, tentunya memerlukan pemahaman dan penghayatan yang dalam oleh pembaca terhadap puisi. Damono (2016) menjelaskan bahwa tingkat pemahaman seseorang sebagai pembaca berbagai karya sastra adalah berbeda-beda, namun yang perlu digaris bawahi adalah hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra. Hal tersebut penting karena pembaca puisi akan merasakan perasaan, pesan, dan kesan yang terdapat dalam puisi tersebut.

Terdapat berbagai pendekatan dalam proses apresiasi puisi. Menurut Abrams (dalam Hidayat, 2020), terdapat 4 pendekatan untuk mengkaji karya sastra, yaitu (1) pendekatan mimetik; (2) pendekatan ekspresif; (3) pendekatan pragmatik; dan (4) pendekatan objektif. Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan mimetik untuk kegiatan apresiasi puisi “Elegi’ karya Joko Pinurbo. Pendekatan mimetik merupakan pendekatan yang kajiannya memfokuskan pada keterkaitan suatu karya dengan kehidupan nyata. Pendapat tersebut selaras dengan pendapat Pohan (2017) yang menyebutkan bahwa pendekatan mimetik mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial budaya menjadi latar belakang terciptanya sebuah karya sastra.

Puisi yang menjadi objek dalam apresiasi puisi adalah puisi berjudul “Elegi” karya Joko Pinurbo. Joko Pinurbo merupakan sastrawan senior terkemuka di Indonesia. Joko Pinurbo atau yang lebih akrab disapa Jokpin ini terkenal sebagai sastrawan yang unik karena karyanya yang unik dan indah. Keindahan itupun juga dapat dirasakan dalam puisi “Elegi”. Dibalik keindahan puisi terdapat makna yang sangat dalam, yaitu perjalan manusia kepada sang Pencipta. Makna “Elegi” menurut KBBI V adalah syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian). Judul puisi tersebut selaras dengan makna yang terkandung di dalamnya, yaitu dapat menyadarkan kita bahwa selama apapun hidup di dunia yang penuh ketidak-pastian, tujuan dari kehidupan yang sebenarnya adalah mencari surga di akhirat kelak. Puisi ini memberikan kita pelajaran hidup bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara.

Bantal, guling, selimut berpamitan kepada ranjang.

"Ibu yang penyayang, sudah sekian lama

kami membantu Ibu mengasuh anak-anak telantar dan sebatang kara,

memberi mereka tempat terindah buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun

dan tak berdaya. Kini saatnya kami harus pergi meninggalkan kisah yang penuh misteri."

Kutipan di atas adalah bait pertama dari puisi “Elegi”. Pada bait pertama pertama, yaitu Bantal, guling, selimut berpamitan kepada ranjang menggambarkan bahwa terdapat sesuatu meninggalkan tempat dimana dia berada, dapat diartikan sebagai manusia yang meninggalkan dunia atau tewas. Lalu larik berikutnya terdapat kutipan, yaitu “Ibu yang penyayang, sudah sekian lama kami membantu Ibu mengasuh anak-anak telantar dan sebatang kara, memberi mereka tempat terindah buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun dan tak berdaya. sudah sekian lama kami membantu Ibu mengasuh anak-anak telantar dan sebatang kara, memberi mereka tempat terindah buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun dan tak berdaya…”. “kami” dalam larik tersebut dapat ditafsirkan sebagai “orang tua”. Selanjutnya Ibu kami yang penyayang, dapat diartikan sebagai bumi dimana manusia hidup, lalu sudah sekian lama kami membantu Ibu mengasuh anak-anak telantar dan sebatang kara, memberi mereka tempat terindah buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun dan tak berdaya hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa orang tua telah hidup lama di bumi, merawat dan membesarkan anak yang merupakan titipan dari Tuhan hingga mereka menua bersama. Lalu larik yang bertuliskan, Kini saatnya kami harus pergi meninggalkan kisah yang penuh misteri menunjukkan bahwa orang tua tersebut merasa kematiannya sudah dekat, dimana Ia akan meninggalkan kehidupan dunia yang penuh ketidak-pastian.

"Memang sekali waktu kita perlu istirah.

Aku sendiri pun sangat lelah. Aku akan pergi juga,

ziarah ke asal-muasal kisah cinta yang melahirkan

dongeng panjang penuh rahasia.”

Bait kedua tersebut menggambarkan, istirahat dan Aku akan pergi juga yang dimaksud adalah kematian. Lalu larik yang bertuliskan ziarah ke asal-muasal kisah cinta yang melahirkan dongeng panjang penuh rahasia dapat diartikan sebagai kembali kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kehidupan. Terdapat pengingat bagi kita dalam bait ini, yaitu sesunggunya tujuan hidup sebenarnya adalah kembali ke pelukan Sang Pencipta.

Demikianlah, di subuh yang hening itu kami pergi

ke pelabuhan, melepas ranjang kami yang tua

berangkat berlayar ke laut yang luas dan terang.

Waktu dan usia seperti perjalanan sebuah doa

ketika ranjang kami yang reyot dan renta

bergoyang-goyang bagai tongkang, bagai keranda.

Terhuyung-huyung dan terbata-bata

mencari tanah pusaka yang jauh di seberang sana

Pada bait ketiga, larik pertama, Demikianlah, di subuh yang hening itu kami pergi ke pelabuhan, melepas ranjang kami yang tua berangkat berlayar ke laut yang luas dan terang menjelaskan bahwa kematiannya tiba di waktu subuh, Ia meninggalkan dunia dan menuju ke akhirat yang kekal. Lalu larik selanjutnya, Waktu dan usia seperti perjalanan sebuah doa ketika ranjang kami yang reyot dan renta bergoyang-goyang bagai tongkang, bagai keranda larik tersebut mengungkapkan bahwa waktu dan usia adalah hal yang singkat. Maka dari itu manusia harus bisa memanfaatkan waktu di dunia sebijak mungkin. Lalu larik terakhir pada bait ketiga yang bertuliskan, Terhuyung-huyung dan terbata-bata mencari tanah pusaka yang jauh di seberang sana menggambarkan betapa sulitnya perjalanan untuk menuju surga, tanah dimana seharusnya manusia berada.

Berdasarkan hasil analisis pada puisi “Elegi” karya Joko Pinurbo, maka puisi ini dapat dikatakan puisi yang sangat indah serta kental akan nilai religius dan nilai moralnya. Banyak sekali nilai kehidupan yang dapat dipelajari dari puisi tersebut, yaitu penulis yang mengingatkan bahwa kehidupan penuh dengan ketidak-pastian dan yang pasti adalah kematian; lalu dunia hanyalah sementara, yang kekal adalah akhirat; selain itu, penulis juga mengungkapkan bahwa waktu dan usia adalah hal yang singkat, maka dari itu kita harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk beribadah dan melakukan kebaikan.

Daftar Pustaka

Damono, S, P. (2016). Bilang Begini, Maksudnya Begitu: Buku Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hidayat, R. (2020). Analisis Puisi dengan Pendekatan Hermeneutika. Apollo Project, 9 (1), 61-68.

Pinurbo, J. (2016). Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Pohan, R. D. (2017). Analisis Lagu Marudan Marlasniari Karya Hj. Farida Matondang Dengan Pendekatan Mimetik (Doctoral dissertation).

Sari, P. (2015). Penggunaan metafora dalam puisi William Wordsworth. DIALEKTIKA: Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Matematika, 1(2), 115-128.