Kajian Analisis Wacana Kritis Intertekstualitas (Interdiskursivitas)

Fairclough (1992) berargumen bahwa Analisis wacana kritis (AWK) memandang
wacana sebagai teks, praktik wacana dan praktik sosial. Masih menurut Fairclough, menggunakan AWK untuk menelaah teks adalah suatu upaya untuk memahami perubahan praktik penggunaan bahasa (wacana) yang terkait dengan praktik sosial dan perubahan sosial budaya. Suatu teks berpotensi mengalami perubahan menjadi bentuk yangberbeda pada waktu
yang berbeda karena dipengaruhi oleh perubahan konteks sosial, politik dan budaya (Fairclough dan Wodak 1997 dalam van Dijk). Terkait dengan penerjemahan, pilihan atas suatu padanan berpotensi terjadi karena adanya hubungan intekstualitas(interdiskursivitas). Fairclough (1992) memberi pengertian secara umum bahwa intertekstualitas(interdiskursivitas), sebagai propertiteks, terdiri atas potongan teks yang membentuk pemaknaan akan suatu ide, gagasan, dan konsep. Terdapat dua jenis intertekstualitas
(Fairclough 1992): intertekstualitas manifestasi, yaitu teks-teks yang hadirdalam teks dengan tanda-tanda eksplisit seperti tanda kutip; dan intertekstualitas konstitutif, yang mengacu pada penyusunan heterogen teks di luar dari urutan wacana, yaitu, struktur konvensi wacana baru dalam produksi teks. Norman Fairclough (1992) menyamakan istilah intertekstualitas
konstitutif dengan interdiskursivitas dengan paradigma bahwa kondisi sosial baru memungkinkan munculnya wacana (teks) baru. Terjemahan dalam tataran intertekstualitas (interdiskursivitas) memungkinkan adanya padanan yang merefleksikan identitas kolektif kelompok sosial tertentu. Padanan ini berpotensi menjadi padanan yang baru, tidak lazim dan berbeda dari padanan yang selama ini, secara tradisional, telah ada meski tetap memiliki unsur
keakuratan yang mewakili pesan dari bahasa sumber. Namun dalam hal ini, penerjemah harus memiliki keyakinan bahwa pembaca terjemahannya memiliki pengetahuan terkait padanan baru, tidak lazim dan berbeda itu. Dengan demikian, intertekstualitas(interdiskursivitas) juga terkait dengan kondisi keberterimaan secara sosial dan budaya yangdipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan dan kompetensi akan adanya hal baru, di luar tradisi yang sudah ada (Venutti 2009).Fairclough. Fairclough (1992, 1993) menyatakan bahwa secara inheren teks merupakan suatu kesatuan antarteks yang utuh. Dalam ranah penerjemahan, suatu teks terjemahan merupakan elemen yang terkait erat dengan teks sumber karena teks terjemahan merupakan perwujudan dari teks sumber dalam bahasa yang berbeda. Oleh karenanya teks sumber dan
teks terjemahan merupakan wujud dari intertekstualitas (interdiskursivitas) Intertekstualitas (interdiskursivitas) hadir dalam dua formasi, yaitu formasi horizontal, menghubungkan pembuat teks dengan penerima teks; dan formasi vertikal, menghubungkan teks dengan teks lainnya (Kristeva 1980). Kedua formasi ini erat kaitannya dengan persamaan pengetahuan dan pemaknaan pada suatu masa dan tempat yang berpotensi berubah. Suatu teks disusun dengan konstruk tertentu dengan melibatkan hubungan antara pembuat teks dan penerima teks dengan tujuan persuasi, melegitimasi atau memberi pilihan atas topik yang dimuat dalam teks itu. Juga, teks dibuat atas konstruk teks lainnya dengan melibatkan wacana lain untuk kemudian dimasukkan ke dalam teks itu. Dengan demikian, teks akan memiliki dampak dan pengaruh secara sosial di masyarakat. Karenanya, intertekstualitas (interdiskursivitas) memberikan celah untuk adanya pembaharuan dalam mengungkapkan ide.
Menurut Venutti (2009), karena setiap teks pada prinsipnya memilikihubungan dengan teks lainnya maka teks akan memiliki makna, nilai dan fungsi. Makna teks, yang terbentuk atas dasar hubungan antarteks, terkait dengan nilai dan fungsi sosial yang melekat pada makna itu dan berlaku pada konteks sosial dan budaya pada suatu masyarakat. Oleh karenanya penerjemah (seharusnya) tidak akan menerjemahkan teks sumber dalam tataran makna yang lepas dari unsur nilai dan fungsi sosial. Intertekstualitas (interdiskursivitas) mengaitkan
terjemahan dengan nilai dan fungsi sosial karena terjemahannya akan mencerminkan keberterimaan secara sosial pada suatu Masyarakat. sif. Interpretasi dilakukan dengan cara menerapkan kategori yang menengahi bahasa sumber dan budayanya dengan bahasa sasaran dan budayanya. Kategori ini bersifat interpretasi formal dan interpretasi tematik. Interpretasi
formal meliputi konsep padanan secara semantik, atau konsep gaya bahasa terkait suatu genre atau wacana tertentu. Interpetasi tematik merupakan kode: ide atau gagasan yang spesifik dan kepercayaan; wacana yang memuat konsep, permasalahan, dan argumen yang bersifat koheren (Venutti 2009).

REFERENSI
Noverino, R. (2015). Kajian analisis wacana kritis intertekstualitas (interdiskursivitas) pada
terjemahan yang menggunakan bahasa gaul. Prosiding Pesat, 6