“Ini… kembaliannya untuk bapak saja….”
“Terima kasih ya, Neng. Perlu bantuan?” tawarnya ramah.
Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala, jangan lupa aku juga mencoba tersenyum ditengah kesibukan tanganku yang sedang menenteng tas dan koper bawaan. Sebelum turun, aku menyapa penumpang lain yang menemani perjalananku. Aku turun perlahan menggunakan kaki kiriku. Sosok paruh baya yang memangku ayam jantannya itu, sedikit membantuku mengeluarkan barang bawaanku.
“Terima kasih, Pak. Saya Duluan, Pak…. Buk….” aku sedikit mundur. Tak lama, angkutan warna kuning pudar itu bergerak menjauh dan meninggalkan diriku bersama asap pekatnya.
“Rena?” panggil seseorang. Kutolehkan kepalaku ke sumber suara, ada sosok laki-laki yang tampaknya seumuran, berdiri di seberang jalan.
“ Aldi? Benarkan?” sapaku ramah setelah Adi berdiri di hadapanku.
“Akhirnya kamu pulang juga, saya kira kamu lupa sama desa……”
“Hahahaha, kata Budhe, ibu kangen aku, mumpung agak kosong, ya udah saya pulang ajah….” Jelasku canggung.
“Ayok, saya bantu bawakan kopernya, boleh?” tawarnya.
“Ihh, makasih sebelumnya, gak ngerepotin, nih?” tanyaku balik, sedikit memastikan.
“Tidak, ayo……” tangannya meraih koperku. Kami berjalan berdampingan menuju gang rumahku. Sepanjang perjalanan kami tidak banyak bicara, Adi sangat menghormatiku. Ia jalan tidak terlalu cepat, mungkin ia paham betul rasa lelah perjalanan kota ke kampung.
Aku akan memperkenalkan diriku di sini. Aku Rena, anak kampung yang sudah 4 tahun bekerja di kota. Pekerjaanku pelayan toko meubel di pasar besar. Aku memilih bekerja di kota orang karena gaji di sana tentu saja lebih besar, awalnya terasa berat meninggalkan kampung halaman, meninggalkan ibu, dan saudara yang menemaniku tumbuh, tapi ini semua demi kepentingan bersama. Aku harus mandiri, sesuai pesan bapak dulu sebelum wafat.
“Rena, kamu harus mandiri ya, Nduk. Jaga ibu, bapak yakin kamu kuat. Bapak mau pamit dulu, besok kita kumpul di sana ya……”
“Ren….” suara Aldi menyadarkanku dari lamunan. Astaga, ternyata sedari tadi aku melamun.
“Udah sampai….” Kuedarkan pandanganku. Di depan sana, berdiri kokoh rumahku. Rumah sederhana yang dulu sangat hangat karena kehadiran bapak. Semua masih sama. Di sana, berdiri banyak orang, rapih sekali pakaiannya. Aku tidak menyangka, kepulanganku di sambut begitu hangat oleh penduduk desa.
“Renaaaa….” Panggil histeris sosok berjilbab putih dari pintu utama. Jalannya agak tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Budhee……” jawabku. Kami berpelukan begitu erat, menyalurkan semua rasa rindu karena lama tak bertemu. Saking bahagianya, budhe menangis di bahuku, tentu saja aku tahu, air mata budhe membuat kemejaku basah, tapi tak apa, mungkin ia sangat rindu denganku.
Dengan keadaannya yang setengah terisak, ia melepas pelukan hangat ini. Tangan kanannya menuntunku masuk ke dalam rumah. Benar dugaanku, tak ada perubahan sama sekali dari tempat ini. Hanya saja kali ini lebih rapih dan ada hiasan-hiasan tambahan. Langkah kami semakin mendekat ke kamar ibuku.
“Temui ibumu, Nduk.” tanpa menjawab, aku segera masuk ke kamar itu. Kamar pertama yang dekat dengan ruang tamu, kamar milik orang tuaku.
“Assalamualaikum, Bu. Rena pulang….” suaraku bergetar. Ibu hanya tersenyum melihatku, aku segera duduk dan mencium berkali-kali tangannya. Tubuh kurusnya terbaring lemas di dipan kayu. Aku menangis sejadi-jadinya, akhirnya aku bisa bertemu ibu lagi. Ibuku adalah sosok yang pendiam, sangat irit bicara. Ia akan berbicara hanya saat-saat penting saja, tapi hatinya sangat lembut dan ia sosok yang amat sabar. Tanganku gemetar mengusap pipi keriputnya, senyum masih saja membungkai wajah mungilnya. Aku mulai bercerita banyak mengenai kehidupanku di kota. Aku tidak berharap lebih, Ibu memang sudah beberapa bulan ini menderita lumpuh setengah badan. Itulah alas an mengapa beliau hanya berbaring di dipan tua ini. Ceritaku terpotong saat budhe membuka pintu kamar.
“Rena, istirahat dulu, makan dan mandi. Setelah itu, bantu ibu membersihkan diri ya? Ini juga tetangga pada pengin nyapa kamu.” Ujarnya dari depan pintu.
“Bu, Rena mau makan dulu, ya…. Habis makan Rena ke sini lagi, oke?” ucapku padanya. Sebelum pergi, ku sempatkan untuk mengecup dahinya. Setelahnya, aku beranjak keluar, menyapa beberapa tetangga yang menyempatkan waktunya untuk menyambutku.
Sore itu, aku habiskan untuk berbincang bersama tetangga ditemani berbagai kudapan yang telah mereka masak. Suasana ini benar-benar menenangkan. Ah, aku rasanya ingin pergi ke makan bapak.
“Budhe, Rena pengin ke makam bapak.”
“Besok ya, sekalian sama budhe, ibu juga”
“Okkay siap!!!”
Waktu berjalan begitu cepat. Ba’da maghrib rumah ini semakin ramai. Apa aku sudah bercerita? Ibuku adalah guru ngaji di kampung ini, ia mengajar ngaji seusai Ba’da Maghrib untuk anak-anak dan Ba’da Isya untuk orang dewasa. Malam itu, rumah hangat karena suara ayat Quran yang kami bacakan. Ibu tersenyum mendengarnya, melihat itu, mau tak mau aku juga ikut tersenyum.
Malam semakin larut, satu persatu murid ibu pulang. Tersisa kami bertiga dan beberapa bapak-bapak di depan sana. Pegal menyerang punggungku, budhe yang peka mengusap bahuku.
“Istirahat, Nduk….”
“Iya, Budhe. Rena titip ibu ya, badan Rena pegel semua…”
“Iya…. Sudah, istirahat yaa….” Setelah itu, aku menuju kamar belakang. Kamarku dulu yang tadi sempat dibersihkan oleh budhe dan tetangga. Perlahan kurebahkan tubuh ini ke kasur. Otakku memaksaku memutar kejadian yang aku alami hari ini. Hari yang berat dan melelahkan. Tak lama kemudian, kantuk menyerangku. Aku yang lemah tak dapat berkutik dan tenggelam bersama kegelapan.
Adzan subuh membangunkanku. Suaranya begitu nyaring karena rumahku dekat musola kampung. Dengan malas, aku paksakan diri ini untuk bangun. Segera ke belakang mengambil air wudhu. Aku harus melakukan kewajiban dua rakaat di pagi ini. Untuk sampai ke tempat wudhu, aku harus melewati dapur. Kala itu dapur terlihat ramai, budhe sedang sibuk menjaga api dengan menambahkan kayu ke kobaran api. Ada juga tetangga yang sesekali bercengkarama sembari mengupas bawang. Aku lewat dan menyapa mereka semua. Setelah itu, aku wudhu lalu solat.
“Nduk, habis ini kamu mandi, ya?” ujar Budhe di depan pintu. Aku yang sedang melipat mukenah, hanya mengangguk sebagai jawaban. Baju untuk hari ini sudah kusiapkan, tergantung rapih di paku yang sudah berkarat namun masih kokoh tertanam di tembok rumah.
Seusai mandi dan berganti pakaian, aku menuju kamar ibu. Seperti sadar akan kedatanganku, ibu tersenyum. Senyumnya tidak pernah berubah. Kukecup kedua pipinya.
“Para tetangga tadi sedang sarapan di dapur, mereka semua mengajakku tapi, sejak merantau, aku tak biasa sarapan, Bu.” ujarku halus.
“Bu, hari ini kita ke bapak ya, Bu? Rena kangen bapak……” tiada jawaban, tapi senyumnya tidak pula luntur.
“Ayok, Nduk. Kita ke bapak, mumpung matahari belom panas” ajak pamanku.
“Iya paman……” aku mundur, mempersilahkan orang lain membantu ibuku untuk ikut bersamaku ke makam bapak. Budhe memberiku satu wadah penuh bunga, ku lihat sepupu-sepupku yang masih kecil juga membawanya. Kami bersama-sama menuju makam bapak, kebersamaan terasa sangat hangat di sini. Ku lihat ibu juga tenang, mungkin ia menikmati.
Gundukan nisan dengan nama bapak terpampang nyata di depanku. Tanganku otomatis mengusap nisan itu perlahan, seolah itu adalah sesuatu yang mudah pecah. Kutaburkan bunga yang aku genggam diatas gundukan tanah itu. Kurapalkan semua doa yang ku bisa. Air mataku hampir saja jatuh kala pamanku menepuk pundakku. Ya, beliau mengajakku pulang karena matahari sudah mulai menuju singgasana utama. Suasana pemakaman juga mulai sepi, orang-orang sudah kembali. Akhirnya dengan berat hati, aku pulang bersama paman dan budheku. Tak ada obrolan selama perjalanan pulang. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kalau seperti ini, aku sedikit malas untuk kembali ke kota, tapi aku yakin masa depanku akan lebih baik di sana.
“Pak, apakabar? Rena sehat di sini,Pak…. Gimana di sana? Bapak orang baik, pasti juga diberi tempat yang baik. Di sana gak gelapkan, Pak? Harusnya engga, dong. Tulang rusuk bapak udah kembali, malah berubah jadi bidadari. Senyumnya bisa nerangin bapak gak? Hehehehe, Rena kuat gak ya, Pak? Kalo gak kuat, jemput Rena ya…. Masa Cuma ibu saja yang dijemput. Nanti kita kumpul di sana. Tapi Rena gak mau dijemput sekarang, Rena belum punya apa-apa. Tunggu Rena ya Pak…. Bu….”