“Jemparingan” Kesenian Olahraga Tradisional Khas Yogyakarta

Jemparingan merupakan seni olahraga memanah tradisional gaya Kraton Yogyakarta. Nama jemparingan diambil dari kata “Jemparing” yang artinya anak panah. Jemparingan memiliki perbedaan dengan seni olahraga memanah pada umumnya. Jemparingan sudah ada sejak Sri Sultan HB I memerintah Yogyakarta. Pada umumnya dahulu jemparingan dimainkan oleh orang-orang yang memiliki status sosial tinggi dan diperuntukan bagi kalangan kraton.

Seni memanah jemparingan dilakukan dengan duduk sila dalam membidik sasarannya. Sasaran yang dibidik disebut wong-wongan atau bandulan yang berbentuk silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 3 cm. Wong-wongan atau bandulan terbagi menjadi tiga bagian yaitu, daerah 5cm bagian atas silinder diberi warna merah, dinamakan molo atau sirah. Bagian bawah berwarna putih, dinamakan awak. Sementara pertemuan antara molo dan awak berwarna kuning setebal 1 cm bernama jangga. Bagian bawah bandulan tergantung bola kecil, yang apabila pemanah mengenai bola tersebut akan mendapat pengurangan nilai. Di bagian atas bandulan digantung lonceng kecil yang akan berbunyi apabila anak panah mengenai bandulan.

Pembidik atau busur yang digunakan dalam jemparingan disebut gandewa. Gandewa terdiri dari beberapa bagian, yang terdiri dari pegangan busur yang bernama cengkolak, bilah yang terdapat pada kiri dan kanan cengkolak bernama lar, dan tali busur yang bernama kendheng.

Jemparingan dilakukan dengan menggunakan atribut pakaian tradisional. Awal jemparingan dibentuk yaitu sebagai sarana membentuk watak kesatria bagi pengikut Sri Sultan HB I. Terdapat empat watak kesatria yang dimaksud oleh Sri Sultan HB I yang dapat menjadi pegangan bagi rakyatnya. Watak pertama yaitu sawiji, berarti konsentrasi, kemudian greget berarti semangat, selanjutnya sengguh beararti rasa percaya diri, dan yang terakhir ora mingkuh berarti memiliki rasa tanggung jawab.

Dalam posisi melakukan jemparingan dengan sila, pemanah jemparingan juga tidak membidik dengan mata, namun berdasar pada perasaan pemanahnya dalam membidik sasarannya dengan memosisikan busur di hadapan perut. Gaya memanah tersebut selaras dengan filosofi jemparingan gaya Mataram sendiri, “pamenthanging gandewa pamanthening cipta” berarti membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik. Dalam kehidupan sehari-hari filosofi jemparingan tersebut dapat bermakna manusia yang memiliki cita-cita hendaknya berkonsentrasi penuh pada cita-citanya agar dapat tercapai.

2 Likes

Terimakasih informasinya sangat bermanfaat :pray: