Di zaman yang semakin rentan akan kemajuan teknologi saat ini, internet menjadi sarana alternatif untuk melakukan segala hal. Tak terkecuali dalam hal ekonomi. Saat ini kita mengalami masa dimana uang dapat dihasilkan dengan hanya membuat konten di media sosial.
Sayangnya, banyak ditemukan konten yang tidak bermanfaat dan tidak mendidik atau bisa disebut konten sampah. Mirisnya konten sampah tersebut disukai banyak orang terutama kalangan remaja dan anak-anak.
Lalu dalam kasus ini siapa yang salah? Pembuat konten atau malah penikmatnya? Setiap waktu konten sampah semakin banyak macamnya. Beberapa diantaranya seperti konten prank yang bisa membahayakan orang lain. Ada juga konten borong mall atau konten yang membuat orang-orang melakukan challenge untuk mendapatkan hadiah. Hal ini tidak hanya mengajarkan sikap konsumtif namun juga bisa melukai harga diri orang yang menerima challenge. Kita tidak ada yang tahu kondisi seseorang baik ekonomi maupun kehidupannya. Jika memang niat untuk membantu sesama langsung berikan saja tanpa harus melalui perantara challenge.
Ada juga konten yang akhir-akhir ini viral di kalangan para artis yaitu adopsi boneka arwah (spirit doll). Hal ini tentu saja bukan hanya tidak masuk akal namun juga dapat memberikan informasi yang salah kepada kalangan remaja usia anak-anak yang menontonnya.
Misal satu konten sampah tidak ada peminat dan tidak diberi ruang untuk semakin naik, konten itu akan hilang sendirinya dan tidak akan menjadi ‘trend’ yang akan diikuti oleh khalayak ramai. Jadi pembuat konten salah karena tidak dapat memilih tema konten yang bermanfaat dan mendidik. Namun penikmat juga disalahkan karena mereka memberi ruang publik untuk konten sampah tersebut dan membuatnya menjadi trend yang akhirnya banyak ditiru orang-orang.
Dari beberapa konten kreator yang ditanyai tanggapan mengenai masalah ini, mereka menjawab bahwa konten itu hanya hiburan semata dan lebih lagi bisa menghasilkan uang bila viral dan laku. Namun untuk para penikmanya terbagi menjadi dua, ada yang setuju dan menikmati serta ada yang merasa terganggu. Penikmat konten yang memberi respon baik menganggap bahwa konten itu memberi hiburan dan layak ditonton. Lain halnya dengan penikmat yang terganggu, mereka merasa konten “minus” ini sangat tidak layak ditonton dan memberi dampak negatif, terutama untuk anak dibawah umur.
Masalah konten sampah ini semakin meresahkan dan perlu ditanggulangi. Banyak pihak yang bisa dirangkul untuk diajak bekerja sama menghadapi masalah ini. Salh satu cara menanggulangi masalah konten minus ini adalah dengan mengedukasi masyarakat.
Pemerintah sendiri sudah melakukan upaya untuk mengatasi konten tidak bermanfaat ini, yaitu dengan menggunakan pendekatan ekosistem dan stakeholder. Dalam pendekatan ekosistem, pemerintah tidak hanya menaruh perhatian utama terhadap konten di media sosial tetapi juga sumberdaya manusianya. Bahkan berkaitan dengan konten pornografi, upaya yang ditempuh lengkap mulai dari hulu ke hilir. Menteri Rudiantara mengakui saat ini tingkat literasi masyarakat Indonesia terhadap media sosial masih rendah. Oleh karena itu ia akan pendekatan ekosistem akan lebih baik karena bisa menyeluruh.
Mengenai penanganan di hulu, Menteri Rudiantara menjelaskan bahwa langkah yang diambil untuk meningkatkan literasi penggunaan media sosial. Sementara untuk di hilir akan melakuan penindakan di dunia maya sesuai dengan wewenang pemerintah. Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan penyedia internet untuk mengaktifkan fitur safe search. Fitur yang bisa menghilangkan hasil pencarian terutama konten pornografi.