Jamasan Pusaka Suroloyo

Puncak Suroloyo merupakan puncak tertinggi di Pegunungan Menoreh dengan ketinggian 1.017 meter di atas permukaan laut. Terletak di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, tepatnya di Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, lokasi ini berjarak sekitar 50 km dari pusat Kota Yogyakarta. Dari puncak ini, pengunjung dapat menikmati pemandangan Candi Borobudur, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing di sisi utara, serta panorama Kota Yogyakarta dan Samudra Hindia di sisi selatan.Di kawasan ini terdapat Sendang Kawidodaren, sebuah sumber mata air yang digunakan masyarakat setempat untuk melaksanakan upacara tradisional setiap tanggal 1 Sura, yang dikenal sebagai upacara Jamasan Pusaka Suroloyo. Awalnya, upacara ini diadakan sebagai bentuk penyambutan bulan Sura, yang sering disebut sebagai tradisi Suran di Suroloyo.

Pada masa Kerajaan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Panembahan Hanyakrawati atau Raden Mas Jolang sekitar tahun 1599, wilayah Suroloyo kedatangan seorang pangeran bernama Raden Mas Rangsang. Kedatangannya ke perbukitan Suroloyo bertujuan untuk memenuhi wisik atau bisikan gaib yang memintanya pergi ke barat untuk bertapa. Dalam pertapaannya di tempat bernama Kaendran di perbukitan Suroloyo, Raden Mas Rangsang menerima wahyu bahwa ia akan menjadi Raja Mataram yang akan menguasai seluruh tanah Jawa. Setelah menerima wahyu tersebut, ia kembali ke Kerajaan Mataram dan kemudian naik takhta dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, menggantikan ayahnya, Panembahan Hanyakrawati atau Panembahan Seda Ing Krapyak.

Masyarakat Dusun Keceme mengetahui bahwa Raden Mas Rangsang pernah bertapa di Kaendran sebelum menjadi Sultan Agung. Oleh karena itu, setiap tanggal 1 Sura, masyarakat setempat mengadakan selamatan dan tirakatan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang diberikan, serta untuk mengenang jasa Raden Mas Rangsang selama berada di wilayah tersebut.Upacara adat Jamasan Pusaka di Suroloyo bertujuan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keberhasilan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perbukitan Suroloyo. Selain itu, upacara ini juga bertujuan untuk melestarikan warisan budaya Jawa yang telah diwariskan oleh nenek moyang, khususnya tradisi Jamasan Pusaka yang berlokasi di Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo.

Hubungan spiritual antara Kerajaan Mataram, yang kemudian dilanjutkan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan wilayah Suroloyo tetap erat hingga saat ini. Hal ini diwujudkan melalui pemberian pusaka berupa Tombak Kyai Manggala Murti dan Songsong Kyai Manggala Dewa. Kedua pusaka tersebut dipercaya sebagai simbol perlindungan dan penolak bala bagi masyarakat Suroloyo. Tradisi Jamasan Pusaka dilakukan setiap tahun pada tanggal 1 Sura sebagai bentuk perawatan tradisional agar pusaka tetap terjaga, tidak rusak, dan tetap memiliki kekuatan untuk melindungi masyarakat dari berbagai ancaman.Tanggal pelaksanaan upacara ini didasarkan pada pesan leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. Upacara tersebut dilaksanakan di Sendang Kawidodaren, yang diyakini sebagai tempat bersejarah peninggalan leluhur Dusun Keceme. Selain itu, Suroloyo juga memiliki lokasi-lokasi mitologis seperti Puncak Sariloyo, Tegal Kepanasan, Sendang Kadewatan, Sendang Kawidodaren, Pertapaan Kaendra, dan Pertapaan Mintorogo.

Namun, di balik keindahan budaya dan keunikan Suroloyo, terdapat berbagai permasalahan yang memerlukan perhatian serius. Salah satu masalah yang menonjol adalah kerusakan lingkungan akibat sampah yang berserakan dan coretan di dinding pendopo serta area puncak. Selain itu, kondisi arca Batara Guru yang rusak mencerminkan kurangnya perhatian terhadap pelestarian situs bersejarah ini. Fasilitas di Puncak Suroloyo juga masih sangat terbatas. Atap pendopo yang rusak, minimnya tempat duduk, serta ketiadaan toilet mempengaruhi kenyamanan wisatawan.

Standarisasi pengelolaan yang belum optimal juga menjadi hambatan dalam meningkatkan kualitas destinasi wisata ini.Modernisasi dan perubahan gaya hidup turut berkontribusi pada menurunnya minat generasi muda dalam melestarikan warisan budaya di Suroloyo. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret dan kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat setempat, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk menjaga, merawat, dan mengembangkan warisan budaya di Suroloyo demi keberlanjutan tradisi yang berharga ini.

1 Like