Isyarat sebagai Prelude Berkomunikasi dan Berbahasa

Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat komunikasi sebagai perantara berbicara kepada sesama. Bahasa merupakan alat komunikasi yang ditetapkan untuk berinteraksi bekerja sama dan mengidentifikasikan diri. Masa sebagai awal mula pertumbuhan bahasa disebut dengan prabahasa. Menurut beberapa penelitian, bahasa ditemukan melalui berbagai teori, salah satunya adalah teori isyarat.

Teori Isyarat (The Gesture Theory) diajukan oleh Wilhelm Wundt, seorang psikolog yang terkenal dalam abad XIX. Ia menulis bukunya yang terkenal Völkerpsychologie. Dua jilid dari buku itu khusus mengenai bahasa. Teorinya tentang asal-usul bahasa didasarkan pada hukum psikologi, yaitu bahwa tiap perasaan manusia mempunyai bentuk ekspresi yang khusus, yang merupakan pertalian tertentu antara syaraf ‘reseptor’ dan syaraf ‘efektor’. Bila diadakan pengamatan secara cermat atas ekspresi-ekspresi itu, maka akan tampak bahwa tiap ekspresi akan mengungkapkan perasaan tertentu yang dialami oleh seseorang. Tiap ekspresi dihubungkan dengan syaraf tertentu yang dapat dipakai untuk mengkomunikasikan kenyataan-kenyataan itu kepada orang-orang lain.

Bahasa isyarat timbul dari emosi dan gerakan-gerakan ekspresif yang tak disadari yang menyertai emosi itu. Komunikasi gagasan-gagasan dilakukan dengan gerakan-gerakan tangan, yang membantu gerakan-gerakan mimetik (gerakan ekspresif untuk menyatakan emosi dan perasaan) wajah seseorang. Tingkah laku ini bukan hanya berfungsi sebagai ungkapan perasaan dan gagasan seseorang, tetapi ia juga mampu membangkitkan gagasan dan emosi yang sama dalam pikiran orang-orang lain. Bila orang yang diajak bicara menanggapinya dengan gerakan-gerakan yang sama, maka akan dikembangkan pula sebuah proses berpikir yang sama. Bila sudah dapat dikembangkan proses berpikir yang sama, maka gerakan-gerakan yang tak disadari lambat-laun akan digantikan oleh gerakan-gerakan yang disadari (disengaja).

Sebuah teori lain mengenai asal-usul bahasa dikemukakan oleh Sir Richard Paget dalam bukunya Human Speech (Paget, 1930: bab VII). Untuk menunjang teorinya itu ia mengemukakan banyak bukti. Ia bertolak dari jaman bahasa isyarat, untuk membuktikan bahwa ketika manusia mulai menggunakan peralatan, tangannya dipenuhi dengan barang-barang itu sehingga tangannya tidak bisa dipergunakan lagi dengan bebas dalam berkomunikasi. Sebab itu manusia memerlukam alat lain. Isyarat yang mulanya dilakukan dengan tangan, tanpa sadar mulai digantikan oleh alat-alat lain yang dapat menghasilkan isyarat-isyarat yang lebih cermat.

Argumentasi yang dikemukakannya adalah sebagai berikut. Pada mulanya manusia menyatakan gagasannya dengan isyarat tangan, tetapi tanpa sadar isyarat tangan itu diikuti juga oleh gerakan lidah, bibir, dan rahang, yang membuat juga gerakan-gerakan sesuai dengan isyarat tangan tadi. Pada waktu tangan mendapat tekanan tugas yang lebih banyak karena aktivitas lainnya (dalam hal ini memegang barang-barang), maka peranan tangan sebagai pemberi isyarat juga berkurang; tetapi sementara itu bagian-bagian pelengkap (lidah, bibir, dan rahang) sudah siap untuk mengambil alih peranan itu dengan cara pantomimik. Kemudian tibalah tahap yang paling penting yaitu Ketika manusia melakukan isyarat dengan lidah, bibir dan rahang, maka udara yang dihembuskan melalui mulut (oral) atau lubang hidung akan mengeluarkan pula isyarat-isyarat yang dapat didengar sebagai ujaran berbisik.

Referensi:
Keraf, G. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Jakata: PT. Gramedia