Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Apakah Bisa Disebut Negara Aman bagi Perempuan?

66843-ilustrasi-kekerasan-seksual-pelecehan-seksual-suaracomema-rohimah
Foto oleh Ema Rohimah dari Suara.com

Dewasa ini berita kekerasan seksual terhadap perempuan semakin marak. Dilihat hasil survey dari Ceoworld megazine negara Indonesia menempati peringkat 87 dari 156 negara sebagai The World’s Best Countries For Women, 2021. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia belum menjadi negara yang aman bagi perempuan, ramainya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ini menjadikan masyarakat semakin khawatir. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memaparkan pada 2019 tercatat sekitar 8.800 kasus kekerasan pada perempuan, kemudian 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus, dan kembali mengalami kenaikan berdasarkan data hingga November 2021 di angka 8.800 kasus. Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, selain itu ada kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 menyebutkan bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Sedangkan, kekerasan seksual sendiri merupakan semua tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh tindakan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban (WHO, 2017)

Minimnya perlindungan identitas, kurangnya pengetahuan dan informasi terkait mekanisme pelaporan, hambatan psikologis seperti takut, malu, serta adanya rasa bersalah/menyalahkan diri sendiri atas apa yang korban alami, hingga adanya stigma negatif kepada korban memicu korban untuk enggan melapor. Bahkan tidak jarang dijumpai penyebab lain korban tidak melapor adalah faktor ketidaksadaran korban bahwa ia mengalami pelecehan seksual. Pelecehan seksual sendiri merupakan bagian dari kekerasan seksual, perbedaannya pelecehan bisa dilakukan secara verbal, non verbal, ataupun fisik. Berbeda dengan kekerasan yang sudah pasti melakukan kontak fisik kepada korban dan bersifat memaksa.

Peningkatan kasus kekerasan seksual ini menyadarkan masyarakat perlu dan pentingnya keseimbangan peran antara pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah misalnya dalam pembuatan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bertujuan untuk mewujudkan sistem hukum yang melindungi dan menghapuskan kekerasan seksual pada perempuan (Kemenpppa 2020). Namun, RUU PKS hingga kini masih menjadi pro dan kontra di pemerintahan juga masyarakat sehingga masih belum disahkan, sama halnya dengan Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021. Padahal urgensitas dari RUU PKS dan Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021 dibutuhkan sebagai langkah awal pemenuhan keadilan struktural bagi korban kekerasan seksual, mengafirmasi pengalaman dan kebutuhan korban kekerasan seksual, dan awalan mengembalikan fokus upaya perlindungan korban. Sementara itu, peran masyarakat sebagai pendukung kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk mendukung korban seperti pendampingan, pemulihan trauma, pelayanan konseling, dan pemberian keadilan hukum juga dibutuhkan untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual.