Elsa Nurachmah dan Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum
Terdapat salah satu cara berbahasa terjadi pada remaja saat sedang meminta minum dalam kegiatan latihan gabungan kelompok relawan. Jenis tuturan yang digunakan saat itu adalah kalimat langsung yang singkat dan literal, walaupun lawan tutur berusia lebih tua darinya. Selain itu, remaja perempuan yatim tersebut juga tetap dalam posisi berdiri ketika bertutur, sedangkan lawan tutur sedang duduk melingkar bersama teman-temannya. Jika dilihat dari sudut pandang pragmatik, maka tuturan Pak, minta minum! yang dituturkan remaja tersebut kurang sopan. Hal ini merujuk pada pendapat Chaer (2010:19)bahwa semakin panjang kalimat dan semakin tidak langsung maksud yang terdapat dalam kalimat, maka semakin sopan suatu tuturan. Oleh karena itu, eharusnya remaja tersebut mendahului tuturannya dengan kata permisi. Selain itu, ketika bertutur seharusnya remaja tersebut dalam keadaan duduk, sebagaimana yang dijelaskan Martadillah (2007:177) bahwa sikap dan posisi badan saat bertutur harus sama antara penutur dengan lawan tutur. Cara berbahasa remaja tersebut dapat disebabkan karena beberapa faktor, seperti keluarga, lingkungan sosial, maupun situasi yang menyertai tuturan. Keluarga sebagai lingkungan pertama tempat belajar anak dapat menjadi pengaruh paling besar. Pengaruh tersebut dapat berasal dari didikan, kelekatan antara anak dan orang tua, posisi dalam keluarga, maupun kasih sayang yang diterima oleh anak. Lingkungan sosial dapat memberi pengaruh dari pergaulan, kedekatan dengan teman sebaya, maupun permasalahan-permasalahanyang pernah dihadapi. Sedangkan situasi yang menyertai tuturan dapat berupa maksud atau tujuan tuturan, kedekatan antaranggota tutur, maupun latar pengetahuan. Oleh sebab itu, satu maksud yang akan disampaikan dapat menjadi beragam bentuk tuturan sesuai dengan pribadi penuturnya. Begitu pula maksudyang diterima, setiap lawan tutur dapat membuat beragam pemaknaan sesuai dengan latar pengetahuan yang dimiliki.Berdasarkan fenomena yang sebagaimana telah diungkapkan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkaptipe tuturan yang digunakan seorang remaja perempuan yatim dalam komunikasi sehari-hari
Pendekatan komunikatif ini dilaksanakan melalui konsep baru yang disebut dengan pragmatik. Sebelum mengkaji lebih jauh akan dipaparkan suatu pengertian dari pragmatik yang dikutip dari salah satu ahli bahasa. Levinson berpendapat bahwa pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa (Nababan, 1978 : 3). Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural semata. Konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Kondisi praktis tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Dalam hal ini, wacana-wacana yang berkaitan dengan proses komunikasi akan dikaji. Menurut Maidar Arsyad (1997: 3.17), pragmatik membaca pengkajian bahasa lebih jauh ke dalam keterampilan menggunakan bahasa berkomunikasi praktis dalam segala situasi yang mendasari interaksi kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat. Pendapat tersebut memberikan penjelasan bahwa orientasi pragmatik adalah pada suatu komunikasi praktis, di mana pada tataran praktis muncul berbagai faktor di luar bahasa yang turut memberi makna dalam proses komunikasi tersebut. Adapun Nababan mengemukakan beberapa faktor penentu dalam komunikasi: Siapa yang berbahasa;, dengan siapa; untuk tujuan apa, dalam situasi apa, (tempat dan waktu); dalam konteks apa (peserta lain, kebudayaan dan suasana); dangan jalur apa (lisan atau tulisan); media apa (tatap muka, telepon, surat, dan sebagainya); dalam peristiwa apa (bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan, dan sebagainya) (1987 : 70). Kenapa juga? Kan,memang sudah berantakan kek gitu. (2)P1: Ya,setidaknya kamu enggak nambah berantakin.(3)OP: Emang ada aturannya,ya? Yang penting kan sudah kukembalikan.(4)Tindak tutur tersebut terjadi pada tanggal 6 Mei 2017 di SMA Negeri. Tuturan terjadi ketika OP bersama P1 usai melatih anggota ekstrakurikuler PMR. Saat itu, OP sedang mengembalikan daftar hadir ke bagian Tata Usaha (TU). P1 sebagai penutur menegur OP yang menaruh daftar hadir secara asal. Akhirnya, P1 menyuruh OP untuk merapikan berkasnya, namun P1 tidak melaksanakan dan malah meminta penjelasan.Tuturan (2) dan (4) merupakan tuturan sebagai bentuk tindak tutur tipe komisif untuk menolak. OP berusaha menyesuaikan kondisi sesuai keinginannya dengan menolak tuturan P1. Tuturan (2) dan (4) tergolong tuturan literal dan tidak langsung, yaitu tindak tutur yang memiliki maksud sama dengan makna kalimat namun tuturannya berbeda dari modus kalimat. Pada tuturan “Kenapa juga? Kan, memang sudah berantakan kek gitu.”OP menggunakan struktur kalimat interogatif untuk menolak perintah P1. OP menolak perintah dengan alasan jika berkas-berkas di TU memang berantakan sejak awal. Begitu pula pada tuturan (4), OP menolak penjelasan P1 dengan menggunakan kalimat interogatif “Emang ada aturannya, ya?”Selanjutnya, OP kembali menyampaikan alasan untuk membela diri dengan mengatakan “Yang penting kan sudah kukembalikan.”Penggunaan kalimat interogatif tersebut menyebabkan P1 harus memberikan penjelasan agar OP melaksanakan.
Referensi
Al-Pansori, M. J. (2016). Implementasi Pendekatan Pragmatik Dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Di Sekolah. Premiere Educandum: Jurnal Pendidikan Dasar Dan Pembelajaran, 4(02).