Memasuki zaman modern ini rasanya banyak muncul tren terkait pernikahan yang hanya berumur sebiji jagung. Hal tersebut terjadi karena biasanya ada faktor belum siapnya kedua individu untuk memulai kehidupan setelah menikah atau terjadinya permasalahan tertentu yang akhirnya mendorong kedua pihak untuk memutuskan berpisah. Seorang anak pasti akan membutuhkan sosok figur dari kedua orang tuanya, tetapi jika orang tua kandungnya berpisah maka ia akan dihadapkan pada pilihan untuk hidup dengan salah satu dari kedua orang tuanya. Menurut Michael Ryan Shrifter, 2007 (dalam Yusuf & Agus, 2019) menyatakan tentang anak berusia 6-10 tahun akan merasa bersalah saat menjalin hubungan dengan keluarga tirinya, sedangkan anak yang berusia 11-12 tahun rentan mengalami konflik karena perubahan emosional, dan anak berusia 13-18 tahun merasa kebebasannya terancam akibat dari hadirnya orang tua baru.
Dalam penelitian Ivanova (2019) status orang tua tiri dikaitkan dengan kesejahteraan yang lebih rendah, disitu berarti menjelaskan adanya korelasi positif. Pernikahan ulang atau disebut re-married juga akan berdampak pada individu dewasa sejalan dengan pernyataan orang dewasa yang menikah lagi memiliki tingkat kesehatan mental lebih rendah (Waite, 2009, dalam Santrock, 2018). Baik orang tua maupun anak, mau tidak mau harus beradaptasi lagi di lingkungan mereka yang baru. Hadirnya orang tua tiri juga otomatis berpengaruh ke sifat dan kepribadian mereka nantinya karena rasanya sudah tidak ada batin atau emosional yang cukup kuat untuk mengikat kedekatan di antara anak dan orang tua tiri. Anak cenderung lebih memilih mengabaikan orang tua tirinya karena kontak emosional orang tua tiri terhadap anak lebih lemah daripada orang tua kandungnya sendiri.
Perpisahan orang tua adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh anak. Kebahagiaan yang telah terjalin dalam keluarga sebelumnya seakan hilang direnggut oleh perceraian. Setelah itu, anak akan kedatangan sosok baru, yaitu seorang orang tua tiri. Mempunyai orang tua tiri bukanlah keinginan dan pilihan sebagian besar seorang anak, karena di lingkungan masyarakat telah terbentuk stigma atau persepsi tersendiri terhadap sosok orang tua tiri yang kejam dan memiliki perilaku yang tidak baik (Yusuf & Agus, 2019). Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan Miller et al (dalam Houdt et al., 2020) bahwa ibu tiri, di satu sisi, menghadapi norma- norma yang berkaitan dengan mitos keibuan yang masih disertai munculnya stigma negatif ibu tiri yang ‘jahat’. Kehadiran stepparents dalam menggantikan orang tua kandungnya berperan besar disini khususnya untuk perkembangan anak kedepannya. Menurut Kalmijn (2013), tingkat kekuatan solidaritas antara anak dengan orang tua berhubungan positif jika dilihat dari kerekatan mereka sedari masa kanak-kanak, perbedaan struktural dalam durasi lamanya kedekatan mungkin mempengaruhi perbandingan dukungan dari stepparents dan orang tua biologis. Peran dari ayah tiri dan ibu tiri pun nyatanya berbeda. Anak menerima lebih sedikit dukungan dari ibu tiri mereka, sedangkan dari sisi ayah tiri memberikan lebih banyak. Hal tersebut dapat dikarenakan ibu tiri mengalami kesulitan dalam memenuhi peran dan penyesuaian terhadap anak.
Perbedaan intensitas antara peran dan dukungan yang diberikan oleh stepparents akan berpengaruh secara spesifik dan lebih lanjut ke dalam kepribadian anak. Kepribadian seorang anak ditentukan dari bagaimana kedua orang tuanya memberikan pola pengasuhan dan anak akan melihat segala macam tindakan yang dilakukan oleh orang tuanya. Dapat terlihat dari contoh kasus yang didapatkan dari lingkungan sekitar, anak yang sebelumnya ramah, percaya diri, dan responsif tetapi setelah hak asuhnya diambil alih oleh ayah kandungnya dan harus hidup bersama ibu tiri yang terjadi adalah anak tersebut cenderung mengalami penyimpangan dalam bersikap. Kepribadiannya mengalami penurunan menjadi lebih emosional, agresif, bahkan berani melawan orang tuanya. Hal itu terjadi karena pola asuh yang diterapkan oleh ibu tirinya berbeda dengan ibu kandungnya. Dalam jangka panjang perubahan kepribadian ini akan membawa dampak yang lebih parah jika tetap dibiarkan dan tidak ada usaha dari diri anak sendiri maupun orang tuanya untuk merubahnya dengan proses agar kepribadian yang tidak diinginkan mungkin bisa hilang. Selain itu, sama seperti yang disampaikan Skaggs & Jodl, 1999 (dalam Sri Lestari, 2018) bahwa anak yang tinggal bukan pada keluarga tiri lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung jawab, dan kurang mengalami masalah perilaku daripada anak yang tinggal dengan keluarga tiri. Hubungan yang kompleks dalam keluarga tiri membuat munculnya tantangan yang membutuhkan penyesuaian, sehingga membuat anak lebih berisiko mengalami masalah perilaku dan kepribadian dalam proses penyesuaian yang pastinya memakan waktu yang tidak sedikit.
Sebagai kesimpulan, dapat dilihat dari penjelasan bahwa fenomena perpisahan orang tua adalah sesuatu yang sebisa mungkin dihindari. Dalam situasi bercerai, kehadiran sosok stepparents merupakan sesuatu yang sifatnya harus diterima oleh anak, walaupun sudah diketahui berdampak ke perubahan negatif pada perkembangan kepribadiannya kelak. Kemampuan dan ingatan anak sangat kuat dalam mengamati seperti meniru dari gerak-gerik sampai ucapan yang dilontarkan kedua orang tuanya. Dengan demikian, dirasa masih perlunya pemahaman lebih mendalam tentang peran, kontribusi, dan dukungan dari orang tua tiri terhadap anak agar bisa merubah stigma di kalangan umum bahwa orang tua tiri memiliki sikap yang kejam dan hanya membawa anak ke perubahan kepribadian yang sifatnya negatif atau buruk.
REFERENSI
Houdt, K. V., Kalmijn, M., & Ivanova, K. (2020). Stepparental Support to Adult Children: The Diverging Roles of Stepmothers and Stepfathers. Marriage and Family, 82(4), 639-656. https://doi.org/10.1111/jomf.12599
.
Indrawan, Y., & Aprianti, A. (2019). Komunikasi Interpersonal Orang Tua dan Anak Tiri dalam Membangun Kepercayaan. e-Proceeding of Management, 6(2), 4848-4860.
Ivanova, K. (2020). My Children, Your Children, Our Children, and My Well-Being: Life Satisfaction of “Empty Nest” Biological Parents and Stepparents. Happiness Studies, 21(3), 613-633. https://doi.org/10.1007/s10902-019-00097-8
.
Kalmijn, M. (2015). Family Disruption and Intergenerational Reproduction: Comparing The Influences of Married Parents, Divorced Parents, and Stepparents. Demography, 52(5), 811- 833. https://doi.org/10.1007/s13524-015-0388-z
.
Lestari, Sri. (2018). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Prenadanedia Group.
Santrock, J. W. (2018). A Topical Approach To Life-Span Development. McGraw-Hill Education.