Pada konteks linguistik, bahasa merupakan suatu simbol dari bunyi yang memiliki makna, berartikulasi, sifatnya arbitrer, serta konvensional. Lalu bahasa juga dipakai sebagai alat untuk berkomunikasi bagi manusia untuk menciptakan perasaan dan pemikiran (Hasbullah: 2020). Pada konteks strukturalisme bahasa, tidak hanya dilihat secara individu, tetapi juga dalam kombinasi dan relasinya dengan berbagai tanda yang lain dalam sebuah sistem.
Analisis berdasarkan kombinasi dan relasinya ini terdiri dari dua model relasi, yakni relasi sintagmatik dan relasi paradigmatik. Relasi sintagmatik merupakan bagian relasi yang bertuju pada hubungan in prasentuas antara saty kata dengan lainnya maupun antara satu gramatikal dengan satu gramatikan lainnya dalam tindakan tutur.
Sedangkan relasi paradigmatik merupakan bagian relasi untuk mengetahui cara pemilihan serta pengombinasian berbagai tanda, atas dasar aturan tertentu, sehingga melahirkan suatu ekspresi yang bermakna.
Dua Tingkatan Penanda
Roland Barthes (dalam Hasbullah: 2020) mengembangkan dua tingkatan sebagai penanda yang memungkinkan dalam menghasilkan makna secara bertingkat, yakni tingkat denotasi dan konotasi.
Denotasi
Denotasi merupakan suatu tingkat pertandaan yang dimana menjelaskan antara hubungan penanda dan petanda, yang nantinya melahirkan makna eksplisit, pasti, dan langsung (Hasbullah: 2020). Lalu menurut Tudjuka (2019), denotasi adalah arti kata atau frasa yang bersifat objektif, berdasarkan istilah sederhana untuk sesuatu selain bahasa atau berdasarkan kaidah tertentu.
Didukung pendapat dari Wridah (dalam Antika, Ningsih, & Sastika: 2020), yang mengungkapkan jika denotasi merupakan makna yang sesuai dn sejalan dengan makna aslinya, tanpa adanya pergeseran maupun perubahan makna. “Mobil Seokjin”, artinya mobil yang dimaksud milik Soekjin secara nyata.
Konotasi
Konotasi merupakan suatu tingkat pertandaan yang membahas kaitannya dengan penanda serta pertanda, dimana dalam hal ini makna menjadi tidak eksplisit, tidak pasti, dan tidak langsung. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wridah (dalam Antika, Ningsih, & Sastika: 2020), yang menyatakan jika konotasi merupakan suatu makna kiasan, atau bisa dikatakan sebagai makna yang tidak sebenarnya.
Dalam pengertian ini, ada banyak makna tingkat kedua yang terjadi ketika petanda dikaitkan dengan aspek psikologis seperti emosi dan keyakinan. Misalnya, “Lapang dada”, kata tersebut bermakna suatu keadaan seseorang yang memiliki sikap terbuka, tidak mudah tersinggung, dan ikhlas. Makna konotasi juga dapat dikatakan makna kata yang memiliki kaitan dengan konteks penggunaan, budaya, emosi, pandangan dunia, pendidikan, dan pengalaman (Subet, & Daud: 2018).
Ciri-Ciri Denotasi dan Konotasi
Denotasi dan konotasi memiliki ciri-ciri yang berbeda. Ciri-ciri dari denotasi, yaitu makna kata yang sesuai serta apa adanya, makna dari kata berdasarkan hasil observasi, dan makna yang lahir tertuju langsung pada yang diacu atau bisa dikatakan sebagai makna dasar. Sedangkan ciri-ciri dari konotasi, berupa makna katanya memiliki tambahan yakni nilai rasa, makna yang lahir tidak sebenarnya, dan memiliki tambahan dari makna kaitanya dengan makna konseptual.
Contoh kalimat makna denotasi, “Rifat membeli kambing hitam.”, kambing hitam disini bermakna hewan kambing yang berwarna hitam. Contoh kalimat makna konotasi, “Walaupun usahanya gulung tikar, Pak Tomat tidak pernah putus asa.”, gulung tikar disini bermakna jika usaha Pak Tomat mengalami kebangkrutan.
Hubungan Denotasi dan Konotasi
Antara denotasi dan konotasi memiliki hubungan, hubungannya yakni ada pada bagian rujukan atau notasi. Keduanya memiliki notasi yang hampir sama dan bahkan sama, akan tetapi yang satu dengan de- serta yang lain memiliki ko-. Imbuhan de- memiliki arti yang wajar dan tetap, jadi denotasi disini menjadi makna yang asli,wajar, apa adanya, sesuai, dan kenyataan. Sedangkan konotasi menjadi makna yang wajar dalam mendapatkan tambahan berbagai perasaan serta tidak terduga (Parera: 2004).
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan jika makna denotasi merupakan suatu makna atau kata yang memiliki arti asli, sebenarnya, lebih mudah dipahami, mudah dicatat, serta direkam.
Makna dari kata denotasi ini akan menjadi pulalah pertama yang dimasukkan dalam kamus bahasa, oleh sebab itu makna denotasi ini menjadi makna kamus serta makna asli.
Selanjutnya untuk makna konotasi merupakan makna kata yang bukan sebenarnya atau bisa dikatakan makna kias. Makna konotasi menjadi makna yang mendapatkan penambahan perasaan, seperti emosi dan perasaan yang tidak terduga, oleh sebab itu makna konotasi ini menjadi makna yang tidak sebenarnya dan bervariasi.
Referensi :
Antika, T. R., Ningsih, N., & Sastika, I. (2020). Analisis Makna Denotasi, Konotasi, Mitos pada Lagu “Lathi” Karya Weird Genius. Asas: Jurnal Sastra, 9(2).
Hasbullah, M. (2020). Hubungan Bahasa, Semiotika dan Pikiran dalam Berkomunikasi. Al-Irfan: Journal of Arabic Literature and Islamic Studies, 3(1), 106-124.
Parera, J. D. (2004). Teori semantik. Erlangga.
Subet, M. F., & Daud, M. Z. (2018). Semantik dan makna konotasi dalam slanga pelacur.
Tudjuka, N. S. (2019). Makna denotasi dan konotasi pada ungkapan tradisional dalam konteks pernikahan adat suku Pamona. Jurnal Bahasa dan Sastra, 4(1), 36-39.