Hiruk Pikuk Membujuk Pupuk


Gambar 1.1 Perbandingan Harga Pupuk Subsidi dan NonSubsidi
Sumber: https://images.app.goo.gl/UgkiUCV4CvJyMne3

Pasti satu diantara kita sudah tidak heran lagi ketika membaca atau mendengar berita tentang suara hati seorang petani. Mulai dari poin A hingga bermuara pada Z, tak dipungkiri mayoritas berisi jeritan dan tangisan diri. Andai diberi kesempatan untuk memilih, pastinya minoritas akan memilih menjadi seorang petani. Sudah dianggap profesi kuno yang menyusahkan diri, pun paling hobbi membuat gulana hati.

Mengapa tidak memilih menjadi petani?

Ketika musim tanam, mereka harus mengantri jadwal yang cukup panjang. Hal tersebut dikarenakan di masa sekarang, traktor dan buruh tanam sudah seperti satwa langka yang perlu dilestarikan.

Di masa tumbuh, perburuan pupuk layaknya memperebutkan kursi pegawai KPK. Tiap malam harus kontrol air dan diesel, pun harus rajin ‘nurut banyu’ untuk memastikan air tidak bocor ke sana-sini. Belum lagi harus bergelut dengan ‘suket’ dan ‘keong’. Jangan lupakan kalau ada hama seperti tikus dan wereng.

Sedangkan di masa panen, permainan harga atau kebijakan salah sasaran selalu menjadi rekan mengharap cemas sang laba.

Menyoal tentang pupuk, kebutuhan petani akan pupuk sangat tinggi. Sayangnya, keberadaan dan harga pupuk kadang tidak sesuai harapan. Dua hal yang diharapkan berbanding terbalik, justru satu suara untuk memilih perbandingan yang lurus.

Jika memang langka dan harganya cukup tinggi, mengapa masih dipilih?

Sebuah pertanyaan yang pastinya sangat wajar untuk ditanyakan oleh orang yang awam. Jawabnya sederhana; tanah sawah yang semula bersahabat, kini menjadi mesin diesel yang hanya bisa bekerja jika ada solarnya. Artinya, padi tidak akan subur tanpa pupuk anorganik karena tanah telah terbiasa dengannya.

Di tengah kesulitan petani akan pupuk, justru masih banyak ditemui sejumlah oknum pengecer nakal pemuja untung. Pengecer nakal ini mengambil keuntungan dengan cara menjual ke penadah. Tentu dengan harga di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Permentan. Parahnya, yang seharusnya dijual dengan title subsidi justru diubah menjadi non subsidi. Akibatnya kebutuhan petani semakin tidak tercukupi dan jeritannya semakin menjadi. Jangankan merayu harga, membujuk kata ada pun tiada daya.

Jika mencari siapa yang salah, pasti alur akan semakin parah. Endingnya pun tidak memiliki arah. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah berbenah. Semua pihak yang terlibat dalam sektor pertanian harus mawas diri. Saling bergandeng tangan untuk memperbaiki. Bukan hanya pegawai yang ingin sejahtera, petani juga. Petani tidak hanya perkara cari uang, tetapi kemanusiaan. Lantas, bagaimanakah dengan ‘kemanusiaan’ untuk petani?

“If the farmer is rich, then so is the nation.” - Amit Kalantri (Jika petani kaya, maka bangsanya juga)

Karanganyar, 16 Juni 2021
Rosantika Utami