September tahun lalu adalah awal dari segalanya. Pemotretan untuk buku tahunan sekolah sudah kami laksanakan. Hal itu menandakan bahwa kami akan segera menempuh jalan yang berbeda. Entah siapa yang mencetuskan ide ini untuk pertama kali. Ide untuk menghabiskan dua hari satu malam bersama dengan teman satu kelas. Aku, Aura, Adnan serta teman-teman yang lainnya segera mengeksekusi ide cemerlang tersebut. Banyak hal yang harus kami pertimbangkan. Perihal waktu, tempat, transportasi, perizinan, dan yang paling penting adalah perihal biaya yang harus dipersiapkan. Kami berdiskusi dan terus mempertimbangkan berbagai macam pilihan yang terbaik bagi semuanya. Sampailah kami pada keputusan untuk melaksanakan acara pada bulan Desember, setelah kami UAS. Pantai Sundak adalah tempat yang paling cocok dengan apa yang kami mau, yaitu untuk berkemah dua hari satu malam di alam bebas.
Banyak sekali rintangan yang harus kami hadapi menjelang dilaksanakannya acara. Pada akhirnya, kami berhasil membuat 33 dari 34 anak bersedia mengikuti acara ini. Sangat kami sayangkan karena ada satu anak yang tidak bisa ikut. Pada hari terakhir UAS, semua keperluan sudah kami siapkan, mulai dari transportasi, peralatan kemah, konsumsi, hingga pembagian tugas masing-masing anak.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada 9 Desember 2023, kami berangkat pukul 13.00 WIB. Sebelum berangkat, kami harus mengambil peralatan kemah dari tempat penyewaan terlebih dahulu. Aku yang bertanggung jawab atas penyewaan peralatan kemah mengajak Ega, Adnan, dan Riyan untuk ikut mengambilnya. Namun, Riyan tidak bisa ikut dan digantikan oleh Berlin. Berlin adalah anak kelas 12 IPS 1, sedangkan kami adalah anak kelas 12 IPA 2. Tanpa diduga, ia justru ikut menjadi bagian dari perjalanan seru ini. Kami diantar oleh Pak Bahrun, bapak dari Ega, untuk mengambil peralatan kemah yang sangat banyak menggunakan mobil pribadinya. Rumah Ega menjadi titik kumpul sekaligus tempat penitipan barang-barang bawaan sebelum bus datang ke lokasi titik kumpul sebenarnya.
Bus sampai di lokasi titik kumpul pada pukul 12.30 WIB. Panitia inti sudah memberi peringatan bagi siapa saja yang belum datang sampai pukul 13.00 WIB maka akan kami tinggal. Terdengar kejam, tetapi hal ini demi kenyamanan bersama untuk menghindari budaya ngaret yang sudah mengakar kuat. Tepat pukul 13.00 WIB, kami berangkat dari lokasi titik kumpul menuju Pantai Sundak. Tidak ada perdebatan mengenai denah tempat duduk karena sudah kami sepakati dari jauh-jauh hari. Berlin sebagai manusia tidak terduga itu memilih untuk mengendarai motornya sendiri, berboncengan dengan Adit. Kami saling bertukar kabar mengenai lokasi terkini kami masing-masing. Tentunya, Berlin dan Adit sudah jauh di depan, mendahului rombongan yang ada di dalam bus. Sepanjang perjalanan, kami memutar musik dan bernyanyi bersama. Beruntungnya, kami memiliki dua anak yang bersuara emas. Mereka adalah Aura dan Rehan. Ada satu lagu yang begitu terkenang dalam perjalanan, yaitu lagu ”Tujuh Belas” karya Tulus. "Muda jiwa selamanya muda, kisah kita abadi selamanya,” begitulah sepenggal lirik yang merepresentasikan kami sebagai remaja berusia tujuh belas tahun yang sedang menempuh petualangan tak terlupakan ini.
Beberapa kali kami terkena macet karena bertepatan dengan akhir pekan. Pukul 16.35 WIB, kami berhenti di rest area Sambipitu, Wonosari untuk pergi ke toilet dan melaksanakan ibadah. Berlin dan Adit memamerkan kepada kami bahwa mereka sudah sampai di lokasi tujuan. Kami berharap masih bisa melihat matahari tenggelam di tepi pantai. Ternyata, kami hanya ditakdirkan untuk melihat matahari tenggelam dari dalam bus saja. Mendekati Pantai Sundak, kami berpapasan dengan beberapa rombongan. Kami spontan menyapa dan melambaikan tangan ke arah mereka. Tak heran, begitulah ciri khas kelas kami.
Matahari sudah tak menampakkan dirinya. Tibalah kami di Pantai Sundak. Kami turun lalu melaksanakan ibadah. Selepas itu, kami mengangkut tenda-tenda ke tempat perkemahan yang disediakan. Kami bergotong royong mendirikan tenda-tenda perkemahan. Ada yang mendirikan tenda, memindahkan barang-barang bawaan, mencari kayu bakar, dan memberi penerangan. Tak lupa disertai dengan candaan-candaan yang menggelitik. Kerjasama tim yang kompak. Setelah tenda selesai didirikan, kami memindahkan barang-barang kami ke dalam tenda. Satu tenda berisi tiga sampai empat anak. Aku satu tenda dengan Ega dan Farida.
Ayam yang sudah disiapkan oleh Aura sudah menunggu untuk dibakar. Api mulai dinyalakan. Kecap dan mentega perlahan dibalurkan oleh Asa, Palupi, dan Tiya. Sedang yang lain menyiapkan lalapan untuk disantap. Rehan, Adnan, dan Riyan bertugas membakar ayam di atas besi pemanggang yang kami bawa dari rumah. Mereka adalah tersangka utama penyebab musibah yang menimpa kami sepulang dari sana. Ayam bakar yang kami santap bersama dengan sambal, lontong, dan lalapan itulah yang membuat anak-anak sakit perut berjamaah. Riyan berasumsi bahwa hal tersebut disebabkan oleh besi pemanggang yang tidak dicuci terlebih dulu oleh dirinya. Sialan memang. Peristiwa ini terus kami ungkit selama beberapa bulan setelahnya. Kemungkinan besar, kami akan bawa kembali topik ini saat mempunyai kesempatan untuk berkumpul bersama di kemudian hari.
Rencana untuk memainkan banyak permainan kecil tak terlaksana dengan baik. Kami sudah terlanjur lelah dalam perjalanan yang memakan waktu selama kurang lebih lima jam itu. Kami hanya bisa memainkan permainan kekompakan tim. Kami dibagi menjadi beberapa tim untuk memperagakan sebuah kata yang disebutkan oleh Adnan. Barangsiapa yang mendapat poin terendah, tim tersebut yang akan mendapat hukuman. Kami mendapati tim Adit yang harus menjalani hukuman joget kewer-kewer, sesuai hasil kesepakatan bersama. Malam itu begitu ceria, ditemani dengan hangatnya api unggun di tengah-tengah area perkemahan kami. Saat tengah malam, kami menyudahi kegiatan bermain bersama. Ada yang bersih-bersih, mandi, makan mi, dan menyeduh kopi. Rafa menjadi sponsor utama perkopian kami karena ia mengambil dari tokonya sendiri.
Aku, Ega, Farda, Farida, Novita, dan Tiya tidak bisa tidur kala itu, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Kami iseng ke tepi laut. Ternyata di sana sudah ada Bagus, Dafiq, Riyo, Rizky, dan Tata yang sedang berburu ikan-ikan kecil. Kami bergabung dengan mereka. Sebuah pengalaman baru bisa merasakan sensasi mencari bintang laut saat tengah malam menjelang dini hari. Kami mengumpulkan hasil tangkapan kami ke dalam sebuah botol kaca yang entah dari mana asalnya. Deburan ombak saat tengah malam terdengar berbeda dibandingkan saat siang hari. Ada sedikit perasaan waswas, takut apabila ombak besar datang secara tiba-tiba.
Sepuas mencari ikan, kami kembali ke tenda kami masing-masing. Aku, Ega, dan Farida bergegas tidur. Namun, tetap saja aku tidak bisa tidur. Aku mendengar percakapan anak-anak di luar tenda yang membicarakan berbagai macam hal. Hal-hal ala kadarnya yang mampu membuat mereka tertawa. Aku pun ikut tertawa dalam diam. Setelahnya, aku ikut bergabung dengan mereka. Aku menyeduh mi dan kami makan bersama. Pukul 02.00 pagi, kami kembali ke tenda untuk beristirahat. Satu jam berselang, terdengar rintik hujan jatuh ke atas tenda kami. Semakin lama, hujan semakin deras. Kami harus segera keluar dari tenda untuk meneduh di warung sebelah area perkemahan kami. Sungguh heran karena tidak ada satu pun anak laki-laki yang bangun. Mereka tidur dalam keadaan kebanjiran di dalam tenda. Hanya Berlin yang terjaga dan membangunkan anak-anak untuk mengamankan diri. Aku mencoba tidur di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu. Beruntungnya aku dapat memejamkan mata dengan tenang walau hanya satu jam.
Ayam jantan sudah berkokok. Kami menuju ke musala untuk melaksanakan ibadah. Pagi masih terasa dingin. Beberapa dari kami masih terlelap dalam banjir. Setelah semua bangun, kami sarapan dengan menu soto buatan warung basecamp, tempat kami mandi dan segala macamnya. Setelah kenyang, kami bersiap untuk foto bersama dengan spanduk yang didesain oleh diriku sendiri. Sebelum itu, hujan deras kembali menerpa. Kami harus meneduh di dalam tenda yang sebenarnya sudah kebanjiran. Ada pula yang nekat hujan-hujanan. Kami juga melakukan aksi bersih pantai dengan memungut sampah-sampah yang berserakan di pantai. Kami menikmati waktu yang tersisa sebelum pulang dengan bercanda, berfoto, dan duduk-duduk bersama di tepi pantai meskipun cuaca mendung.
Pukul 10.00 WIB, kami mulai membereskan tenda-tenda yang kami dirikan. Kami mandi dan siap-siap untuk bisa pulang lebih awal dari rencana sebelumnya. Sembari antre untuk bisa mandi, kami bercakap-cakap di warung. Setelah semuanya selesai, kami bergegas pulang pada pukul 13.30 WIB. Kami makan siang di tempat lain, tetapi masih di daerah Wonosari. Tak lupa kami mampir ke toko oleh-oleh untuk membawakan buah tangan kepada orang-orang yang menanti di rumah. Dalam perjalanan pulang pun, berbagai keseruan kami temukan. Mulai dari bernyanyi, bercanda, sampai menemukan hal-hal lucu di jalan. Kami sampai di rumah pukul 19.00 WIB. Adnan bertugas mengembalikan peralatan perkemahan ke tempat penyewaan dan ditemani oleh ayahnya. Sampai di rumah, kami saling berterima kasih atas petualangan seru selama dua hari tersebut.
Perjalanan dua hari satu malam ini merupakan salah satu dari kenangan tak terlupakan yang kami buat bersama. Pengalaman ini menjadi pengalaman baru bagi kami semua, terutama diriku. Hari-hari setelahnya, kami merasakan pertemanan kami menjadi lebih akrab dan lebih dekat dengan satu sama lain. Rasa kekeluargaan semakin tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Waktu yang kami habiskan bersama terasa sangat berharga dan layak untuk dikenang selamanya. Saat mendapat kesempatan untuk dapat berkumpul bersama mereka lagi, semoga cerita ini akan selalu diungkit kembali. Muda jiwa selamanya muda, kisah kita abadi selamanya.