Hakikat Wacana dan Sejarahnya
Oleh M. Furqon Al Maarif
Hakikat Wacana
Umumnya para ahli bahasa sepakat berpendapat bahwa wacana merupakan hal satuan yang terlengkap (utuh). Namun, dalah hal lain memiliki perbedaan. Setiawan (2011: 1) memberikan pandangan letak perbedaan pada wacana yaitu sebagai unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan utuh dengan amanat lengkapserta dengan koherensi dan kohesi yang tinggi. Koherensi dipertimbangkan dalam wacana yang utuh sedang kohesi dipertimbangkan dalam keruntutuan unsur pendukung (bentuk).
Edmoson (dalam Fatimah, 1994: 2) mengemeukakann pendapat bahwa wacana adalah satu peristiwa yang terstruktur diwujudkan dalam perilkau lingustik atuapun yang lain. Sementara itu, Panggabean ( 2015: 5) berpendapat bahwa “wacana adalah satuan bahasa yang terlenagkap di atas kalimat dan satuan tertinggi dalam hierarki gramatikal”. Dengan posisi sebagai satuan bahasa terlengkap, maka wacana memliki konsep, gagasan maupuan ide yang mudah untuk dipahami oleh pembaca. Gramatikal dalam wacana memliki persyaratan yaitu kohesif dan koheren. Kohesif memiliki pengertian bahwa dalam wacana terdapat keserasian hubungan dalam unsur-unsurnya. Sedangkan koheren memliki pengertian bahwa dalam wacana haruslah terpadu sehingga mampu menghasilkan pengertian yang baik.
Contoh wacana yang koherensi tetapi tidak kohesif.
Furqon dan Muhammad pergi ke pasar, dia ingin membeli beras.
Contoh di atas adalah wacana yang tidak kohesif, sebab kata “dia” tidak jelas ditujukan kepada siapa, apakah Furqon atau Muhammad, atau malah keduanya.
Selain wacana sebagai satuan bahasa yang terlengkap dia atas kalimat atau satuan gramatikal tertinggi dalam hierarki gramatikal, masih banyak lagi pengertian lagi tentang wacana. Deesw (dalam Fatimah, 1994: 3) mengatakan bahwa wacana merupakan seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan sebuah rasa keterpaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi sendiri atau kepaduan haruslah muncul dalam isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan wacana itu.
Sejarah Kajian Wacana
Awal mula kajian wacana dikemukakan pada tahun 1923 oleh seorang ahli lingusitik tradisional yang bernama Malinowski dengan melihat hubungan bahasa dengan masyarakat Kepulauan Trobriand. Selanjutnya, oleh Firth (1953) konsep ini dikembangkan dengan mengemukakan ‘teori makna dalam konteks’ (context of situation). Teori context of situation menyatakan bahwaa semua ilmu bahasa merupakan kajian nakna dan makna ini bukan diperoleh hubungan akaliah di antara ide-ide berwujud kata-kata, tetapi kajian makna dan makna merupkan hubungan antara konteks situasi yang melatarinya (Omar, 1980: 14).
Selanjutnya, pada tahun 1952, Harris pada lembar kerjanya meliat bahasa lebih daripada ayat dalam pengkajian makna bahasa dengan cara memberi gambaran tentang struktur teks dan peranan unsur-unsur dalam teks tersebut sheingga merubah pandangannya yang dulu tata bahasa hanya berakhir pada peringkat ayat, kini bisa ke peringkat Wacana dan mampu diperlihatkan dalam wujud hubungan teks dengan situasi sosial. (Omar, 1980: 14-15).
Pada tahun 1952, seorang linguis bernama Zeellig S. Harris menyatakan ketidakpuasannya terhadp kajian tata bahasa yang masih berkutat di seputar kalimat. Menurutnya masih banyak sekali persoalan yang belum tersentuh oleh ilmu yang bernama ‘gramatika kalimat’. Lalu, pada majalah Language Nomor 28:13 halaman 476-494 dipublikasikan tulisannya yang berjudul “Discourse Analysis”yang di dalamnya memuat argumentasinya tentang perlunya mengkaji bahasa secara komperehensif, minimal tidak hanya sampai pada aspek internal struktural saja. Aspek eksternal bahasa juga perlu dikaji di mana di dalamnyua justru menyelimuti kalimat secara kontekstual.
Buah pernyataan Harris mungkin cukup berani, sebab pada saat itu aliran linguisitk yang berkembang di Amerika adalah aliran Strukturalisme yang dipelopori oleh Bloomfield (1887-1949) dan pengikut-pengikutnya (Oetomo, 1993). Aliran Kaum Bloomfieldian secara tegas memisahkan kajian sintaksis dan semantik dan hal-hal lain di luar kalimat walau sebelumnya seperti Franz Boas (1858-1942) dan Edward Sapir (1884-1939), yang juga seorang antropolog, sebenarnya pernah mengkaji bahasa yang dihubungkan dengan konteks kebudayaan dan kemasyarakatan. Tetapi B;oomfield tetap kekeuh dengan ajarannya. Oleh sebab itulah himbauan yang diberikan oleh Harris untuk keluar dari pemikiran Bloomfield kurang mendapatkan respon yang berart.
Mundur jauh pada tahun 1935 di Inggris, John Firth (1890-1960) pernah mempunyaib ide untuk menyarkankan kepada para linguis untuk mencoba menelaah bahasa percakapan. Firth berpendapat bahawa dengan cara itulah untuk menemukan pemahaman yang lebih baik dan luas tentang apa yang disebut dengna bahasa lain dan bagaiamana sebuah bahasa beroprasi. Usaha Firth ternyata mendapatkan tanggapan oleh seorang Mitcheel dalam komunitasnua di Cyrenaica dengan lahirya sebuah sebuah wacana percakapan “jual beli”. Namun, Haris cenderung ragu ketika melibatkan konteks sosial dalam analisisnya, sedangkan Mitchell malah sengaja melibatkannya dalam itu (Dede Oetomo, 1993: 8). Berdasarkan rentetan peristiwa itulah, di Eropa terutama Perancis, lahir karya-karya analisis wacana dari ancangan semiotik strukturalis, dari tokoh-tokoh seperti Bremond, Todorov, Metz, dan lainnya.
Daftar Pustaka
Fatimah, D. (1994). Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Eresco.
Oetomo, D. (1993). Pelahiran dan Perkembangan Analisis Waxana dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed) Pelba 5. Yogyakarta: Kanisius.
Omar, A. (1990). Analisis Wacana . Jurnal Dewan Bahasa, 24:(3), 11-25.
Panggabean. S. (2015). Pengantar Wacana. Medan. Universitas HKBP Nommensen.
Setiawan, B. (2011). Analisis Wacana. Salatiga: Widya Sari Press.