Rasanya tidak ada yang istimewa di pagi itu. Bowo berjalan dengan malas menuju meja makan yang sudah terisi oleh kakak, ibu, dan ayahnya. Serasa hari ini begitu berat baginya karena ia akan menjalani Ujian Seni Budaya. Bowo memang tidak begitu pandai dalam urusan seni budaya bahkan hanya membaca notasi balok pun dia tidak bisa. Kedua orang tuanya menanyakan mengapa ia terasa sangat lemas dan tak semangat. Namun, Bowo tak menjawab pertanyaan keduanya ia tidak ingin kedua orang tuanya menjadi khawatir jika nantinya ia menceritakan yang sebenarnya. Ia memilih untuk diam dan makan sarapannya yang bahkan sesuap nasi pagi itu pun enggan ia makan. Seusai itu Bowo meraih tas hitam yang ada di sampingnya lalu berpamitan dengan kedua orang tuanya dan tentunya ia tak lupa meminta doa agar ia dilancarkan dalam menjalani ujiannya.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolahnya ia tetap gelisah karena ia yakin ia akan gagal di ujian kali ini. Sesampainya di lorong kelas sudah banyak sekali teman-temannya yang duduk memanjang di sepanjang jalan lorong kelas mereka mengulang materi bersama, belajar bersama, atau hanya sekedar bergurau. Namun, ia enggan untuk bergabung ia memilih untuk mempelajari ujiannya sendiri. Hingga pada akhirnya teman Bowo yang entah muncul dari mana, duduk di sebelah Bowo. Sebut saja Andi, dia memang bukan orang yang terlalu pintar tapi ia selalu berhasil membuat Bowo tertawa. Si Andi menanyakan mengapa Bowo duduk sendirian dan tidak bergabung dengan teman lainnya, Bowo pun dengan wajah pasrah menceritakan semuanya. Memang pada dasarnya si Andi suka bercanda, ia mengatakan “bawa aja soal tahun kemarin, kan biasanya sama,” Andi pun, tanpa pikir panjang, langsung meninggalkan Bowo karena ada temannya yang memanggil.
Bowo yang masih duduk terdiam di tempat yang sama di bawah pohon rindang memikirkan perkataan Andi. Ia menjadi bimbang, karena memang sedang kebingungan bagaimana nanti ia mengerjakan ujian seni budayanya. Setelah berbagai pertimbangan, Bowo pun segera bergegas menuju tempat fotokopi yang ada di sekolahnya, ternyata di tempat fotokopi tersebut dipenuhi oleh murid murid, entah ada yang fotokopi catatan, membeli pensil, atau hanya sekedar menemani temannya. Bowo sangat kebingungan di sana mengingat waktu ujian tersisa 30 menit lagi, ia berusaha menyela di sela kerumunan orang. Bowo berhasil menuju ke dekat mesin fotokopi. Selepas ia mendapatkan hasil fotokopinya, ia bergegas ke tempat duduknya semula, dan menjawab beberapa soal yang menurut ia susah dengan bantuan temannya yang ahli dalam bidang seni budaya. Tepat di soal terakhir, bunyi bel tanda masuk ujian pun berseru kencang. Semua murid di lorong yang ramai tadi sudah berdiri tegak berbaris rapi untuk masuk ruangan.
Bowo memasuki ruangan dengan rasa gugup yang sangat besar meskipun ia sudah membawa fotokopi soal tahun lalu, ia tetap merasa gugup karena ini merupakan pengalaman pertamanya ia mencontek. Kertas fotokopi ia sisipkan di antara soal asli, belum sampai ia membuka soal pertama entah bagaimana gerak-gerik Bowo sudah diketahui oleh gurunya. Dengan detak sepatu guru yang lama-lama semakin besar tanda hampir mendekati Bowo. Perasaan Bowo sangat campur aduk ia merasa bingung apa yang harus ia lakukan seketika pikiran dan badannya kaku karena ia tahu gurunya akan menghampirinya. Bahkan detak jantungnya tidak mau berhenti berdetak. Tepat di depan bangku bowo gurunya mengambil selembar kertas yang ia fotokopi tanpa sepatah katapun, Bowo hanya bisa mematung ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat seketika ia merasa sekelilingnya melihat ke arah yang sama, yaitu ke dirinya. Perasaan bowo menjadi sangat campur aduk, ia tidak tahu apa yang harus ia isikan bahkan untuk mengerjakan soal ujian yang ada di depannya pun ia sudah tidak bisa berpikir di kepalanya hanya ada sebuah kata yaitu “malu”.
Tentu hal itu mengganggu konsentrasi Bowo dalam memikirkan jawaban soal ujiannya ia hanya bisa mengerjakan setengah dari seluruh soal, sisanya ia tuliskan jawaban yang ada di dalam pikirannya saja. Jam ujian itu pun selesai, tentu dengan rasa bersalah yang sangat besar itu, Bowo meminta maaf pada gurunya. Baiknya sang guru mau untuk memaafkan Bowo dengan syarat ia tidak akan mengulangi perbuatan tercela itu lagi.
Bowo kemudian mengikuti teman-temannya di luar kelas dengan rasa yang malu, tentu teman-temannya menghampiri Bowo dan menanyakan apa yang terjadi, sebenarnya enggan ia untuk menceritakan semuanya namun ia rasa pelajaran ini dapat bermanfaat bagi teman-temannya ia pun menceritakan kejadiannya. Bukannya mencemooh Bowo namun temannya melakukan hal yang sangat tidak ia sangka mereka menyemangati Bowo dan mengajak belajar bersama untuk ujian berikutnya dengan rasa bahagia ia pun bergabung dengan mereka dan saling berbagi pengetahuan ataupun bertanya yang belum mereka pahami.