Gadis Kecil Papa
Karya : Renita Nur Chasanah
Tubuh mungil dengan rambut lurus sebahu menjadi ciri khasku. Dibandingkan memakai rok dan berdandan seperti seorang gadis, aku lebih menyukai pakaian pria seperti celana pendek dan kaos.
“NALA!” ucap seorang gadis dengan rambut panjang dan rok selutut berwarna merah muda dengan wajah yang mirip denganku memanggil namaku.
“Ada apa?” ucapku dengan wajah datar tanpa senyuman.
Gadis itu adalah kakak perempuanku. Tepatnya adalah saudara kembarku karena selesih kelahiran kami hanya terpaut satu jam. Namanya Mala, dia seperti gadis pada umumnya. Intinya begitu, aku malas menjelaskan.
“Cepat turun, kita makan bersama” ucap Mala.
“Oke” ucapku berjalan melewatinya dan dia mengikuti langkahku.
Aku berjalan turun menuju ruang makan. Kulihat mama sedang meminum kopi seperti biasa sembari membaca koran paginya. Dia melihat ke arahku dan kembali menatap koran yang ada di tangannya. Setelah itu aku menarik salah satu kursi yang ada di sebelahnya dan duduk untuk sarapan. Dapat aku lihat Mala melakukan hal yang sama. Tetapi sambil membawa alat gambar kesukaannya, lagi.
“Makanlah” ucap Mama.
Kami makan dengan hening. Bahkan yang terdengar hanyalah suara alat makan yang berdenting. Sembari makan dapat kulihat bahwa Mala menggambar sesuatu di buku gambarnya. Hal itu tidak luput dari penglihatan mama.
“Mala, taruh alat gambarmu!” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari koran yang dibacanya.
Segera setelah mendengar perintah itu, Mala menaruh alat gambarnya dan melanjutkan sarapannya. Inilah yang selalu terjadi, setiap kali kita makan bersama Mala selalu membawa alat gambar agar dia dapat menggambar saat kita sedang makan. Aku tau dia melakukan itu bukan tanpa alasan. Dia hanya ingin ada perbincangan di antara aku, dia dan mama. Walaupun hanya beberapa kata tapi dia ingin sering mendengar suara mama. Untung saja mama tidak membakar alat gambar dia lagi seperti sebelumnya.
“Selesai. Aku pergi” ucapku setelah menyelesaikan sarapanku.
“Mau kemana? Kau tau kan hari ini hari apa, mengapa tidak menghabiskan waktu bersamaku?” tanya Mala kepadaku
“Ya, nanti” ucapku singkat
Kulihat Mala menghembuskan nafasnya pasrah dan mama yang terlihat biasa saja. Aku tahu bahwa hari ini hari istimewa. Benar bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku, ulang tahun kami. Aku melangkahkan kakiku pergi menjauhi tempat itu. Hari ini akan aku habiskan dengan pergi ke tempat itu lagi. Setahun sekali, aku selalu datang kesini. Pantai itu tidak berubah, hanya suasananya saja sudah berbeda. Ku pandangi satu persatu yang ada di sini. Tempat ini sangat cocok untuk piknik keluarga.
Hari sudah berganti sore, tanpa terasa aku sudah berada di sini sangat lama. Padahal yang aku lakukan hanyalah memandangi pantai itu hingga kulihat matahari yang mulai tenggelam meninggalkanku. Aku benci di tinggalkan, maka dari itu aku memilih pergi dari sini. Tiba-tiba ponselku bergetar, terlihat sebuah pesan masuk yang berasal dari pria itu. Kurasa pilihanku keluar hari ini karena menunggu pesan ini. Aku memandang dengan lekat pesan di ponselku. Lalu beranjak pergi menuju lokasi dari isi pesan.
Sesampainya di sini, aku mainkan sebuah permainan pada ponselku. Dapat aku rasakan bahwa langkah pria itu perlahan mendekat ke arahku. Aku tegakkan kepalaku untuk menatap wajahnya. Wajahnya yang tegas dan bola matanya yang teduh menatap lekat ke arahku.
“Kau…” ucapnya setelah sampai di hadapanku.
Dengan acuh tak acuh aku pandang lagi layar ponselku untuk meneruskan permainanku yang tertunda. Setelah mengucapkan kata itu, dia kembali melanjutkan ucapannya.
“Kau terlihat lebih tinggi daripada tahun sebelumnya” ucapnya sambil terkekeh kecil.
bang…bang…bang… suara permainan pada ponselku menyelimuti keheningan di antara kami.
Dapat aku rasakan dia menatapku dengan lekat. Entahlah, aku sama sekali tidak menatapnya. Tetapi aku dapat merasakan bahwa ada banyak hal yang ingin dia katakan. Lama sekali keheningan di antara kami terjadi.
“Ini kesempatanku” ucapnya sambil menyerahkan tas kertas berwarna biru berisi dua kotak kecil dengan pita merah muda di atasnya. Biru warna kesukaanku dan merah muda warna kesukaan kakak, Mala.
“Aku melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Ini adalah hadiah untuk kakak dan untukmu tahun ini.” ucapnya lagi.
Aku ambil dengan kasar tas kertas yang ada di tangannya sambil terus bermain ponsel. Namun, aku masih dapat melihat posisi tangannya masih sama seperti memegang tas kertas itu seolah merasa hampa.
“Jika kau butuh sesuatu katakanlah padaku” ucapnya.
bang…bang…bang… suara permainan di ponselku masih tetap terdengar.
“Kalau begitu, aku akan segera pergi” ucapnya.
Dia membalikan badan dan melangkah menjauh dariku. Langkah demi langkah dia mulai beranjak pergi.
“Papa…” ucapku setelah sekian lama terdiam. Sebuah kata yang sudah lama tidak aku ucapkan.
Dia membalikkan badannya dan menatapku dengan pandangan bertanya.
“Malam ini dingin, jagalah dirimu” ucapku sambil menatapnya dengan wajah yang datar.
Dia terlihat kaget atau mungkin merasa senang.
“Baiklah” ucapnya dengan senyuman yang tersungging di wajahnya yang mulai menua.
Setelah itu dia melanjutkan langkahnya lagi yang tertunda. Seketika sebuah ingatan masa lalu terlintas di benakku. Saat itu aku berusia 7 tahun. Aku menggenggam erat tangan papa dengan tangan kiri dan menggengam tangan Mala dengan tangan kanan. Sedangkan Mala menggenggam tangan mama dan tanganku. Kami akan piknik keluarga di pantai. Papa terlihat keren dengan kacamata hitam yang di pakainya. Dia idolaku, aku ingin seperti papa. Kami tertawa bersama karena lelucon yang papa ucapkan. Dapat aku lihat tawa mama yang begitu renyah dan senyum yang tak pernah hilang di wajahnya. Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku karena teriakan anak kecil.
“PAPAAA…” ucapnya memanggil pria tadi.
Tubuhnya yang kecil, rambutnya yang bergelombang terlihat berantakan di terpa angin, suaranya yang manis dan matanya yang berbinar kesenangan. Wajahnya sama seperti wanita di sebelahnya. Aku lihat wanita itu tersenyum tipis ke arahku. Kemudian pria itu menggendong anak tersebut sambil melangkah menjauh. Sebuah panggilan yang tidak bisa aku sebut lagi kepada pria itu. Kini papa punya keluarga baru.
Setelah itu aku pulang. Sesampainya di rumah kulihat tidak ada orang di lantai satu. Dapat aku lihat sebuah kertas kecil yang ditinggalkan di meja dengan kartu kredit di atasnya. Sebuah ucapan ulang tahun dari mama.
“Selamat Ulang Tahun, belilah apapun yang kalian inginkan” -Mama
Seperti biasa pasti mama selalu lembur di kantor. Hari istimewa apapun itu, pekerjaan kantor yang utama. Aku tidak marah. Aku mengerti mengapa mama menjadi seperti itu. Aku langkahkan kaki kecilku menuju ke lantai dua. Kubuka pintu kamar dan kulihat Mala sudah menungguku. Dia tersenyum ke arahku dengan sebuah kue ulang tahun di tangannya.
“Lama sekali, aku sudah menunggumu dari tadi” ucapnya dengan senyum mengembang.
“Nala duduk disini kita tiup lilin bersama. Buang saja benda yang kau bawa itu membuatku jijik” ucapnya sembari memasangkan lilin pada kue ulang tahun.
Mala membenci pria itu, papa. Bagi Mala papa sudah mati, maka dari itu dia tidak akan pernah sudi untuk bertemu dengannya lagi. Jadi setiap kali kami berulang tahun hanya aku yang bertemu dengan papa. Aku buka lemari dan kutaruh barang pemberian papa. Jika di lihat, banyak sekali pemberian papa dari tahun ke tahun. Sebagian sudah berkurang karena dibuang oleh Mala. Setelah itu, aku duduk di depan Mala.
“Selamat ulang tahun. Ayo kita berdoa dan membuat permintaan. Kemudian tiup lilin” ucapnya penuh semangat.
Mala gadis yang ceria, tidak sepertiku. Dia lebih pandai mengungkapkan perasaannya.
Setelah berdoa dan membuat permintaan dalam hati, kami meniup lilin. Tiba-tiba saja Mala berkata kepadaku.
“Kau tau apa yang aku inginkan? Aku tidak ingin merasa sendiri. Berhentiah terjebak dengan masa lalu, Nala. Aku tidak punya siapapun lagi. Aku telah kehilangan segalanya” ucapnya lirih.
“Maafkan aku” ucapku langsung memeluknya.
Aku sangat menyayangi Mala. Ayolah, dia saudara perempuanku. Mana mungkin aku membencinya. Hanya saja aku tidak pandai mengungkapkan isi hatiku. Aku sangat bersyukur karena dia ada bersamaku. Hanya dia yang dapat memahamiku. Tahun ini aku berharap bahwa kami akan menemukan kebahagiaan kami sendiri. Baik itu aku, Mala dan juga mama.
Kini papa bukan idolaku. Aku berharap bahwa papa tidak akan datang lagi kepadaku. Karena setiap kali aku menatap wajahnya, aku ingin menangis seperti anak kecil. Setiap kali ku pandang wajahnya, aku berharap keluarga kita seperti dahulu. Tetapi kini papa telah menemukan kebahagiaannya sendirian. Kini aku bukan gadis kecil papa lagi. Selamat tinggal, papa. Aku membencimu.