Public Speaking adalah suatu seni berbicara didepan umum yang menekankan pada profesionalitas, dan cara pembawaan, serta penyampaian suatu materi. Public Speaking bertujuan untuk mendapatkan suatu hal dari berbicara, baik segi ekonomis, intelektualitas, bahkan gaya hidup.
Demikian Public Speaking hadir menjadi suatu seni berbicara yang digemari oleh sedemikian banyak orang, sehingga dikembangkan menjadi berbagai cakupan, termasuk ekstrakurikuler di sekolah.
Saya bersekolah di SMA swasta yang memiliki banyak ekstrakurikuler baru yang jarang ditemui, seperti English Club, Public Speaking Class, dan bahkan ada Board Game Club. Dari banyaknya ekstrakurikuler yang menarik, hati saya jatuh kepada Public Speaking, tempat saya bertumbuh dan menggali ilmu, mengembangkan potensi, mencari relasi, dan meningkatkan ambisi.
Tahun pertama saya mengikuti Public Speaking dengan hikmat, saya rajin mengikuti kelas yang menjadikan saya cukup terkenal di ekstrakurikuler Public Speaking. Tahun kedua saya terpilih menjadi President Class dari Public Speaking Class yang menjadikan saya sering ditunjuk sebagai perwakilan lomba.
Disaat masa yang krusial itu, saya menyadari bekal saya hanya sebatas ilmu Public Speaking yang sudah saya pelajari, dan hal ini menjadi rumit karena saya tidak mempersiapkan mental dan kepercayaan diri untuk tampil dalam lomba. Saya memang terbiasa tampil untuk berbicara ataupun lomba, namun hanya sebatas didalam sekolah, yang membuat saya ragu adalah lomba kali ini akan diikuti oleh banyak sekolah, sehingga saya tidak yakin akan diri saya sendiri.
Dalam kegelisahan saya terhadap lomba pertama terdapat bimbingan dan dukungan dari mentor Public Speaking saya, beliau selalu memberikan kata-kata motivasi, dan memberikan kritik dengan solusi, yang menjadikan saya lebih percaya diri untuk yakin ikut lomba Public Speaking pertama kali, yaitu Public Speaking Competition antar sekolah.
Puisi Penyelamat Situasi
Saya memutuskan untuk mengambil kesempatan, karena kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, saya mempersiapkan materi yang akan saya sampaikan di ronde pertama kompetisi.
Terbesit dipikiran saya untuk menyelipkan beberapa puisi ciptaan saya, karena sebelum saya jatuh hati terhadap Public Speaking telah terlebih dahulu saya cinta kepada puisi.
“Ungkapan kata indah yang berbalut simfoni menjadikannya abadi dalam karya sang penyair”
Demikian saya mendefinisikan puisi.
Saya bekerja hari demi hari untuk menyelesaikan teks Public Speaking yang akan saya bawakan, topik pembicaraan saya adalah mengenai arti kehidupan, saya memilih untuk berperan sebagai pembicara motivator, karena saya ingin puisi saya tersampaikan untuk hal yang indah.
“Perjalanan memang berliku
Tapi pelangi masih berujung
Terima apa yang ada
Niscaya cahaya akan datang”
Demikianlah sedikit kalimat puitis yang saya tambahkan dalam teks Public Speaking saya.
Kompetisi Pertama
Tibalah hari yang sudah saya nantikan, hari dimana saya berpakaian rapi dengan blazer hitam, menggunakan rok span dengan sepatu pantofel, saya datang ke aula penerimaan peserta dengan percaya diri, walaupun saya sampai gemetar karena panik akan lombanya.
Saya diarahkan menuju ruangan yang telah dibagi, saya bertemu dengan banyak orang-orang hebat dari sekolah yang hebat juga, disaat saya melihat mereka berbicara saya begitu terpukau, sampai membuat saya tidak percaya diri akan kemampuan saya.
Sampailah ketika nama saya dipanggil untuk maju, saya mengerahkan semua keberanian yang saya miliki dan kumpulkan sejak lahir untuk berbicara ditahap itu, saya merasa tubuh saya diambil alih, saya merasa bersemangat, saya terus berbicara dan akhirnya menyelesaikan pidato saya dengan bagus, terdapat banyak sekali netra yang menatap saya diruangan itu, harapan saya adalah itu tatapan memuji bukan menghina, dan harapan saya menjadi kenyataan, riuh tepuk tangan terdengar, suara kamera yang terlalu banyak mengambil foto kian terdengar, saya merasa terselamatkan dan akhirnya duduk dengan tenang.
Saat semua peserta sudah berbicara, kami diarahkan untuk kembali ke aula agar pengumuman finalis dapat diumumkan. Namun saat saya akan keluar ruangan, seseorang memanggil saya, dan ternyata orang itu adalah juri yang sebelumnya menilai saya ketika saya berbicara, beliau bertanya kenapa pidato saya sangat puitis, beliau merasa terkesan dan bertanya awal mula mengapa saya bisa mencantumkan kata-kata puitis didalam pembicaraan saya, dan tanpa saya sangka terjadi obrolan kecil diantara saya dan juri tersebut, yang tidak bisa saya pungkiri membuat saya sangat senang karena diperhatikan oleh seorang juri.
Pengumuman Finalis
Saya yang merasa sangat senang pada saat itu yakin bahwa saya akan lolos menjadi finalis, dan tentu saja keyakinan saya itu membuahkan hasil yang memuaskan.
Seperti yang sudah saya perkirakan saya lolos menjadi finalis, namun yang membuat saya terkejut adalah nama saya menjadi orang pertama yang dipanggil untuk berdiri dan diumumkan sebagai finalis, saya yang dilanda keterkejutan hanya bisa diam membeku, yang menjadikan nama saya harus dipanggil untuk kedua kalinya dan akhirnya saya berdiri, momen ini adalah saat yang sangat mengharukan sekaligus memalukan.
Setelah saya berdiri, saya mengucapkan terima kasih kepada para juri dan hadirin, lalu kembali duduk seraya menunggu para peserta lain yang akan diumumkan menjadi finalis, dan akhirnya 7 finalis telah diumumkan.
Guru Seni Menyebalkan
Dalam ronde kedua ini finalis tidak lagi mempersiapkan sebuah teks Public Speaking, namun akan diundi langsung karena finalis akan bermain peran di aula yang disaksikan oleh seluruh penonton, berperan sebagai tokoh yang didapat dari masing-masing finalis, tidak hanya berperan dalam konteks menghibur namun dalam konteks persuasif yang mengharuskan para finalis menerapkan teknik Public Speaking sekaligus bermain peran dengan profesional, menjadikannya lebih sulit dari bermain peran biasa.
Para finalis dipersilahkan untuk maju dan mengambil kertas undian yang telah disediakan, terdapat 2 kertas yang harus diambil, kertas untuk peran, dan kertas untuk giliran, nasib baik sepertinya tidak berpihak padaku, saya mendapatkan peran sebagai guru seni dan mendapatkan giliran berbicara kedua, ya kedua.
Rasanya benar-benar frustasi dan menyebalkan, bagaimana bisa saya berbicara sebagai guru seni, sedangkan guru seni di sekolah saya tidak pernah masuk, bahkan tidak pernah memberikan tugas ataupun ujian, disaat itu saya menyalahkan dan sangat kesal kepada guru seni saya yang tidak pernah mengajar, menjadikan saya tidak memiliki pandangan apa yang harus saya katakan sebagai guru seni, dan naasnya saya mendapat giliran kedua.
Tidak bisa dielakkan pembicara pertama sudah selesai, dan akhirnya giliran saya, tidak pernah menyangka saya harus memerankan guru seni yang bahkan saya tidak tahu wujudnya seperti apa, saya tetap mencoba berbicara semampu saya, namun saya paham bahwa peran saya saat itu sangat tidak maksimal, saya juga kecewa akan diri saya, namun tetap ada secercah harapan untuk lolos tahap final.
Kenyataan Pahit
Nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun tidak bisa menyelamatkan situasi, menyalahkan guru seni pun tidak akan membuat saya lolos. Pengumuman sudah dikumandangkan, saya memang tidak lolos ke tahap final 3 besar, namun saya berusaha berbesar hati untuk menerima kenyataan bahwa saya sudah cukup layak untuk sampai ke tahap finalis.
Namun, kenyataan itu tetap pahit dan memilukan hati, berhari-hari saya menyesali dan ingin merubah apa yang harus saya ucapkan ketika bermain peran.
Kendati demikian, tidak ada hal yang bisa saya lakukan untuk menebus hari itu, sampai tiba hari saat saya harus kembali masuk kelas Public Speaking dan bertemu mentor saya.
Bangga Menjadi Finalis
Saya cukup malu memasuki kelas Public Speaking kala itu, karena kemenangan tidak ada ditangan saya, namun mentor saya tetap bersikap mendukung seperti biasanya, seolah tidak ada hal yang salah dengan saya.
Saat kelas telah selesai, beliau memanggil saya untuk mengatakan
“kamu adalah pemenang, tidak apa jika tidak menjadi juara, tapi kamu sudah menjadi pemenang, kamu menang melawan rasa takutmu, dan kamu menang karena berhasil membuktikan kamu layak menjadi finalis”
Kata-kata itu sangat menyentuh saya, rasanya hati yang kelam akan kekalahan kembali cerah.
Tak hanya sekedar itu, beliau memberikan saya pajangan dinding berupa kata motivasi yang cukup besar, awalnya saya mengira itu merupakan hadiah darinya, namun saya salah, hadiah itu berasal dari juri yang menilai saya saat ronde pertama, orang yang melakukan obrolan kecil dengan saya, orang yang terkesan akan puisi saya, saya sangat terharu kala itu, sampai mentor saya kembali berucap bahwa juri tersebut berpesan bahwa saya harus tetap berbicara, lakukan Public Speaking, selipkan puisi, karena beliau yakin saya bisa.
Ucapan mentor dan juri tersebut saya simpan sampai sekarang untuk menjadi motivasi bagi saya, menjadikan saya lebih kuat dan tidak lagi takut mengambil kesempatan yang ada, dan untuk pajangan dinding tersebut masih tersimpan rapi di dinding rumah yang selalu dapat saya lihat keberadaannya.
Demikianlah, saya menjadi sosok yang berani mengambil kesempatan dan tanggung jawab, tak lagi takut kegagalan, sebab dalam setiap kegagalan terdapat bukti kemenangan bahwa saya pernah mencoba, dan tidak akan menyerah.
Menjadi juara adalah bonus, tapi menjadi pemenang itu harus, rasa takut yang kita hadapi adalah hal manusiawi, namun dengan menghadapinya menjadikan kita semakin kuat akan kenyataan.
Terkadang dunia memang terasa tidak adil, namun selalu ada secercah harapan didalamnya, perjuangkan yang ada, kembalikan yang tiada.

