Dibalik Cerpen PASPOR Karya Anton Kurnia : Sebuah Analisis Mendalam Unsur Intrinsik


Sumber: Dokumen pribadi

PEMBUKAAN

Sastra merupakan karangan yang indah baik bahasa maupun isinya (Arman, 2016). Keindahan sastra merupakan hasil dari pemikiran dan perasaan manusia yang muncul dari daya imajinasi yang lebih umum dan bebas (Nurul, 2019). Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Paris, 2018). Oleh karena itu, lahirnya karya sastra karena adanya kebutuhan yang melandasi belajar sastra itu penting, selain itu sastra juga termasuk ke dalam pokok bahasan bahwa sastra memiliki nilai atau kedudukan yang kuat di masyarakat untuk dibudayakan (Haris, 2018).

Karya sastra merupakan suatu karya yang mengulas tentang berbagai permasalahan hidup yang penuh dengan khayalan yang tinggi, namun demikian karya sastra memiliki unsur keindahan didalamnya (Melati, 2019). Karya sastra dalam kehidupan yang berbudaya dapat dituangkan ke dalam tulisan sehingga menghasilkan karya sastra yang bernilai seni tinggi dengan daya imajinasi yang indah apabila mereka terus berlatih dan berlatih, baik itu menulis karya sastra maupun mengapresiasikannya (Maryanti, 2018). Berkaitan dengan pernyataan tersebut, menurut Wikanengsih (2013) menulis merupakan kegiatan berpikir yang berhubungan dengan bernalar dan tindakan, karena perwujudan kegiatan berpikir akan berpengaruh pada kegiatan bertindak. Begitu pula pendapat kami, karya sastra ialah suatu karya yang berbentuk tulis dan memiliki nilai budaya di masyarakat yang dapat mengulas suatu permasalahan dalam kehidupan.

Jenis karya sastra beraneka ragam, salah satu jenis karya sastra yang populer adalah cerpen. Cerpen merupakan cerita yang wujud fisiknya berbentuk pendek, namun panjang pendek suatu cerita sangat relatif. Cerpen juga dapat didefinisikan sebagai karya tulis yang tidak terikat oleh bahasa mana pun dan tidak dibatasi dalam segi aturan penulisan. Sebuah cerpen memiliki unsur-unsur pembangun yang kompleks, salah satunya yaitu unsur intrinsik, terdiri atas tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, serta sudut pandang. Unsur tersebut menjadi penentu berkualitas atau tidaknya sebuah cerpen.

Seperti pada cerpen “Paspor” karya Anton Kurnia yang menggambarkan kompleksitas kehidupan imigran dan perantau dalam menghadapi tekanan sosial, hukum, dan budaya di negara asing. Melalui latar di Jerman, cerita ini mengangkat isu global tentang imigrasi, identitas, dan solidaritas yang relevan dengan realitas modern. Tokoh utama dan Dulhumut, seorang imigran gelap, memperlihatkan perjuangan bertahan hidup dalam lingkungan yang sering kali tidak ramah terhadap pendatang. Paspor sebagai simbol identitas menjadi pusat konflik dalam cerita, menggambarkan dilema moral yang dihadapi individu ketika berjuang antara mempertahankan hak diri atau bertahan hidup. Dalam konteks studi sastra, cerpen ini menawarkan peluang untuk menganalisis dinamika identitas, mobilitas manusia, dan dampak kebijakan imigrasi terhadap individu.

Di sini kami akan membahas bagaimana aspek latar, karakter, dan simbolisme dalam cerita tersebut mencerminkan isu-isu sosial yang lebih luas. Cerpen ini akan menjadi landasan untuk mengeksplorasi tema global. Tema global tentang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan tantangan perantau di dunia yang semakin terhubung namun penuh perbedaan.

ISI

  1. Tema

Cerpen karya Anton Kurnia yang berjudul “Paspor” memiliki tema utama yaitu pelarian hidup, dimana tokoh “Aku” demi terbebas dari kehidupan yang sulit di kampung halamannya ia enggan kembali. Untuk menuntaskan hasratnya, tokoh “Aku” melakukan tindakan yang tidak sepantasnya dilakukan akibat saran dari temannya. Keputusannya untuk menghancurkan paspor sebagai cara untuk menghindari deportasi dan jalan keluar yang dianggap oleh tokoh “Aku” sebagai penderitaan. Memperlihatkan tema pelarian sebagai salah satu cara untuk menghadapi kenyataan yang ada.

Tema besar yang diusung dalam cerpen ini adalah Dikotomis, yaitu non tradisional dimana bertentangan dengan tema tradisional yang dianggap mengandung nilai-nilai moral. Dimana cerpen ini memberikan reaksi afektif seperti mengesalkan, mengecewakan, dan emosional dalam menghadapi dilema. Tokoh “Aku” enggan meninggalkan kehidupannya yang berada di Jerman yang serba nyaman. Dalam hal ini tema Dikotomis muncul sebagai dilema pulang ke tanah air yang penuh masalah atau tetap tinggal di luar negeri namun dirinya harus menghancurkan identitas nya. Pilihan ini lah yang membuat cerpen ini menyandang gelar non tradisional karena bersifat melawan arus.

“Bakar saja atau sobek-sobek, terus buang ke WC. Pokoknya jangan sampai tersisa!" sahut Dulhumut. Sebetulnya berat bagiku jika harus menghancurkan pasporku."

Pengalaman Jiwa yang ada pada cerpen ini adalah tingkat sosial dan egoik. Dalam tingkat sosial terwujud pergolakan batin tokoh “Aku” tentang kehidupan sosialnya, baik di tanah kampung ataupun Jerman. Hubungan antara tokoh “Aku” dengan Dulhumut mencerminkan bagaimana pertemuan mereka yang sesama imigran membawa rasa solidaritas dan kesulitan hidup walaupun di tanah asing dan dengan cara yang salah. Dalam hal ini kehidupan sosial didapat tidak hanya karena asal usul melainkan karena adanya pengalaman dan bagaimana cara saling membantu dalam kesulitan. Maka dapat dilihat pengaruh sosial dapat membentuk karakter seseorang.

“Dulhumut menjadi salah satu alasan aku betah berada di Jerman. Aku merasa menemukan kawan senasib tempat aku bisa mencurahkan isi hati tanpa takut atau malu. Dulhumut orang susah sepertiku. Tapi Pengalamannya banyak”.

Tema egoik juga tidak lepas dari cerpen Paspor, terlihat dari keputusan-keputusan yang diambil oleh tokoh “Aku”. Selain karena dorongan untuk melarikan diri dari masalah yang menimpanya dan saran yang diberikan Dulhumut, sehingga tokoh “Aku” menghancurkan barang paling berharga miliknya. Tindakan yang dilakukan tokoh “Aku” mencerminkan bagaimana ego dan insting bertahan hidup mempengaruhi tindakannya. Meski tokoh “Aku” sadar akan konsekuensi besar atas perbuatannya, tokoh “Aku” memilih untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Keputusan yang tampaknya bisa menyelamatkan diri, namun kenyataannya justru menciptakan konflik batin yang lebih dalam bagi tokoh "Aku”.

“Aku enggan meninggalkan kehidupan yang nyaman di rantau untuk kembali pada kenyataan hidup di kampung yang rungkad. Meski jika aku melarikan diri hidupku belum tentu bahagia selamanya, setidak-tidaknya aku tak akan lagi dikejar-kejar oleh setan pinjol dan para bedebah debt collector yang bengis.”

  1. Plot

Dalam cerpen “Paspor” karya Anton Kurnia memiliki plot campuran yang menggambarkan keadaan tokoh utama masa kini dan kilas balik kehidupannya. Sudut pandang didominasi oleh tokoh utama dan cerita hanya berkisar terkait dengan permasalahan serta konflik yang dialaminya sehingga dapat dikatakan ini termasuk plot tunggal. Selain itu peristiwa-peristiwa yang terjadi saling berkaitan erat dan padat menjadikan cerpen ini masuk golongan plot padat.

Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan berikut:

“Dia membawa anak perempuan satu-satunya yang berumur sembilan tahun. Tiga bulan lalu mereka pindah ke rumah mertuaku di kampung sebelah. Sejak awal mereka tak menyetujui anaknya mengawiniku yang dianggap bermasa depan suram karena berasal dari keluarga miskin dan bergaji pas-pasan.”

Kutipan di atas dapat dikatakan masuk pada golongan plot campuran dimana ada kilas balik dari sang tokoh utama.

“Nasib mujur membawaku terbang ke sini. Aku ditugaskan sebagai asisten pak Lurah untuk melakukan studi banding pembangunan berkelanjutan di pinggiran kota di negeri asing ini selama sebulan atas biaya sebuah yayasan yang memiliki cita-cita mulia untuk kemakmuran dunia. Kubilang mujur sebab tadinya bukan aku yang mendapatkan rezeki ini.”

Kutipan di atas adalah bukti bahwa cerpen ini memiliki ciri plot tunggal sekaligus padat dimana cerita berjalan berfokus pada seputar tokoh utama serta peristiwa yang terjadi saling berkaitan.

  1. Pembedaan tokoh dan Pelukisan tokoh

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama, protagonis, berkembang, dan tipikal. Sedangkan pelukisan tokoh dilakukan pengarang untuk membuat pembaca mampu membayangkan gambaran tokoh seperti yang diinginkan oleh pengarang. Teknik pelukisan tokoh dibagi menjadi dua, yaitu teknik ekspositori dan dramatik.

Pembedaan tokoh pada cerpen “Paspor” dapat dilihat dari berbagai segi. Dari segi peran terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh “Aku” merupakan tokoh utama pada cerpen ini karena tokoh “Aku” yang kerap sekali muncul di setiap bagian cerita. Tokoh “Aku” ini berhubungan erat dengan topik yang menjadi pembahasan pada cerpen tersebut. Sedangkan untuk tokoh Pak Lurah, Srimulat, Bu Lurah, Mas Gibran, Istri sosok Aku, penagih utang pinjol, debt collector, dan Dulhumut merupakan tokoh tambahan, karena tokoh-tokoh tersebut dimunculkan sesekali pada cerita cerpen dan juga tokoh-tokoh tersebut ada keterkaitannya dengan tokoh utama yaitu sosok “Aku”.

Dari segi fungsi penampilan tokoh, terdapat tokoh protagonis dan antagonis. Pada cerpen “Paspor” terdapat tokoh antagonis yaitu sosok Dulhumut. Ia memiliki sikap yang kurang baik, yaitu menyarankan melenyapkan paspor sang tokoh “Aku” agar sulit dideportasi sehingga bisa dibilang sebagai tokoh antagonis. Karena Dulhumut menyarankan hal yang tidak benar karena melenyapkan paspor adalah tindakan yang melanggar hukum. Dari segi perwatakan terdapat tokoh sederhana seperti tokoh Srimulat hanya memiliki satu watak saja yaitu genit dan suka menjilat.

Sedangkan untuk tokoh bulat adalah Dulhumut. Pada kutipan cerpen tersebut, pembaca akan merasa tokoh Dulhumut ini membingungkan. Dimana Dulhumut ini memiliki banyak jati dirinya. Dia yang jenaka tampak bodoh namun banyak akalnya.

Dari segi berkembang atau tidaknya perwatakan terdapat tokoh statis dan berkembang. Pada cerpen ini hanya terdapat tokoh statis. Menurut cerpen tersebut, tokoh Srimulat, penagih utang pinjol, dan Dulhumut adalah tokoh statis. Karena tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan selama peristiwa terjadi. Tokoh-tokoh tersebut dari awal sampai akhir cerita sifatnya relatif tetap tidak mengalami perubahan.

Berdasarkan segi pencerminan, terdapat tokoh tipikal dan netral. Berdasarkan cerpen tersebut, Pak Lurah adalah tokoh tipikal karena beliau ditampilkan sedikit dalam cerita dan hanya ditampilkan kualitas pekerjaannya saja yaitu sebagai lurah. Sedangkan untuk tokoh netral yaitu sosok “Aku” adalah sosok yang tidak terikat oleh lembaga. Dia bereksistensi untuk dirinya sendiri. Dan juga dia adalah tokoh yang diceritakan.

Untuk teknik ekspositori digambarkan pada tokoh Srimulat mempunyai watak yang sadis dan suka menjilat, penagih pinjol yang sadis, Dulhumut yang cengengesan, jenaka, suka bercanda namun dia banyak akal. Dari penggambaran atau deskripsi watak tokoh yang secara langsung dijelaskan berarti teknik pelukisan tokoh yang digunakan adalah teknik ekspositori atau teknik analitis. Penulis langsung mendeskripsikan watak tokoh bukan melalui tindakan atau ucapan tokoh.

Teknik pelukisan tokoh yang selanjutnya yaitu teknik dramatik. Teknik dramatik dalam cerpen ini mencakup teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Untuk teknik cakapan, penulis melukiskan tokoh Dulhumut. Pelukisan tokoh ini diketahui berdasarkan dialog atau cakapan antara tokoh Dulhumut dan tokoh “Aku”. Berikut kutipannya:

“Lalu pasporku harus kuapakan?” tanyaku seraya menatap nanar air mancur di taman. “Bakar saja atau sobek-sobek, terus buang ke WC. Pokoknya jangan sampai tersisa!” sahut Dulhumut.

Berdasarkan percakapan tokoh tersebut, diketahui bahwa tokoh Dulhumut ini memiliki sikap kurang baik, dimana dia menyarankan untuk membakar paspor. Dimana paspor adalah alat identitas diri saat berada di luar negeri. Hal ini sudah menjadi tanggung jawab si “Aku” untuk menjaganya namun, si Dulhumut menyarankan untuk melenyapkannya dimana ini melanggar hukum. Jadi, watak yang ada pada Dulhumut yang diketahui melalui cakapan ini membuat pembaca tahu bahwa penulis melukiskan tokoh ini melalui teknik dramatik teknik cakapan.

Untuk teknik tingkah laku yaitu teknik pelukisan tokoh dengan menyarankan pada tindakan yang bersifat nonverbal. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Dalam cerpen ini, pelukisan dengan teknik tingkah laku terdapat pada pelukisan sosok “Aku”.

Sosok “Aku” ini memiliki sikap yang mudah dipengaruhi tidak berpegang teguh pada pendiriannya. Terlihat dalam tindakannya yang akan melenyapkan paspornya padahal dia sudah memiliki kebanggaan jika paspor adalah pengakuan resmi tertinggi atas identitas jati diri sosok “Aku” sebagai manusia terhormat di muka bumi. Namun, karena hasutan dan saran Dulhumut dia berubah pikiran dan akhirnya melenyapkan paspornya di WC. Pelukisan tokoh “Aku” ini yang digambarkan melalui tingkah laku atas reaksi suatu hal adalah pelukisan tokoh dengan teknik tingkah laku.

Teknik pikiran dan perasaan pada cerpen ini dibuktikan pada kutipan yang menyebutkan bahwa sosok “Aku” ini tokoh yang sosok yang mudah terpengaruh dengan ucapan orang lain. Terlihat pada awalnya sosok “Aku” ini berpikiran bahwa paspor itu berharga namun karena dia tidak mau pulang ke Kampung dan memilih tetap di luar negeri akhirnya setelah bergulat dengan pikirannya dia membulatkan tekad dan menyetujui saran dari Dulhumut. Pikiran inilah yang menggambarkan sosok “Aku” adalah orang yang mudah dipengaruhi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tokoh “Aku” dilukiskan dengan teknik pikiran dan perasaan.

Penggunaan teknik arus kesadaran pada cerpen ini terlihat pada kutipan yang menjelaskan tokoh Bu Lurah yang mempunyai watak pencemburu. Watak ini dibuktikan dengan perilaku bu Lurah yang memprotes Srimulat jika ikut pak Lurah. Untuk teknik reaksi tokoh lain digambarkan pada sosok Dulhumut. Berikut kutipannya :

“Dari Dulhumut aku mendapatkan cara untuk melarikan diri. Menurutnya, aku harus melenyapkan pasporku agar identitasku tidak diketahui. Jika tak ada paspor, identitas kita akan kabur dan susah dideportasi.”

Berdasarkan data tersebut, tokoh Dulhumut digambarkan memiliki sikap yang buruk. Ini dibuktikan tokoh Dulhumut dalam hal ini adalah tokoh lain. Dulhumut memberikan komentar atau tanggapan kepada sosok “Aku” yang dimana dia tokoh utama. Jadi, teknik pelukisan tokoh ini adalah teknik pelukisan teknik reaksi tokoh lain. Pada cerpen ini, teknik pelukisan fisik dibuktikan pada kutipan yang menyebutkan bahwa sosok lelaki yaitu Dulhumut yang berkulit gelap dan berambut keriting ini seperti tokoh yang memiliki watak yang pekerja keras dan kasar.

  1. Latar

Latar dalam cerpen “Paspor” menggambarkan realitas kehidupan perantau dan imigran di Jerman yang penuh tantangan yang digambarkan dalam kutipan “Di Jerman aku bisa hidup tenang biarpun apa apa serba mahal”. Latar tempat lain seperti taman, apartemen, dan restoran kecil, mencerminkan keterbatasan ruang hidup tokoh utama dan Dulhumut sebagai kaum kecil. “Menurutnya, aku harus melenyapkan pasporku agar identitasku tidak diketahui”. Menurut latar waktu dalam kutipan cerpen tersebut menunjukkan perjuangan tokoh “Aku” dalam melenyapkan identitas di era modern. Waktu dalam cerita ini mencerminkan tekanan hidup yang dialami imigran gelap di tengah dinamika dunia modern.

Latar sosial menyoroti tekanan ekonomi, sosial, dan hukum yang dihadapi oleh imigran gelap, serta dilema moral dalam mempertahankan identitas atau bertahan hidup. Dalam latar sosial ditunjukkan dalam kutipan “Paspor jauh lebih istimewa daripada KTP”. Perpaduan latar memperkuat tema identitas dan perjuangan, dimana paspor menjadi acuan tekanan sosial dan aturan terhadap imigran. Dengan demikian, latar menjadi elemen penting dalam menyampaikan pesan cerita tentang identitas, perjuangan, dan keadilan sosial.

  1. Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan salah satu unsur fiksi digolongkan sebagai sarana cerita. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadiran dan bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam berupa persona pertama, gaya “Aku”, dan persona ketiga, gaya “Dia”.

Dalam cerpen “Paspor” karya Anton Kurnia ini menggunakan sudut pandang berupa sudut pandang persona pertama “Aku”. Dimana tokoh Aku bercerita secara langsung dari sudut pandang dirinya sendiri serta menceritakan peristiwa yang dialaminya. Dalam cerpen ini si “Aku” tentu punya nama, namun karena ia mengisahkan pengalaman sendiri nama itu jarang disebut. Berikut kutipannya:

“Aku ditugaskan sebagai asisten Pak Lurah untuk melakukan studi banding pembangunan berkelanjutan di pinggiran kota di negeri asing ini selama sebulan atas biaya sebuah yayasan sosial yang memiliki cita-cita untuk kemakmuran dunia”.

Kalimat tersebut membuktikan tentang sosok “Aku” yang bercerita secara langsung dari sudut pandang dirinya sendiri yang bernasib mujur karena dipilih sebagai asisten untuk melakukan studi banding di Jerman. Dalam kalimat tersebut tokoh “Aku” sebagai fokus utama dan pusat dari cerita.

Epilog

Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia yang dituangkan ke dalam bentuk lisan maupun tulisan. Karya sastra memiliki sifat imajinatif dan kreatif sehingga memberi kesan menarik. Analisis intrinsik digunakkan untuk menggali elemen-elemen naratif yang membentuk struktur cerita, seperti tema, pemplotan, penokohan, pelataran dan penyudut pandangan dan konflik yang ada di dalamnya, serta bagaimana semua elemen saling terkait penyampaian pesan moral dan emosional dapat sampai kepada pembaca.

Cerpen “Paspor” karya Anton Kurnia menggambarkan perjuangan imigran di Jerman dengan tema identitas, tekanan sosial-ekonomi, dan dilema moral. Tema Dikotomis non tradisional berfokus pada kenyataan hidup yang sulit. Dengan sudut pandang persona pertama dan plot campuran, cerita ini menampilkan kontras antara kehidupan ideal dan realitas. Pada bagian penokohan, tokoh utama “Aku” dan beberapa tokoh tambahan seperti Dulhumut dan tokoh- tokoh lainnya dilukiskan dengan berbagai teknik seperti teknik ekspositori dan dramatik. Latar tempat yang digunakan dalam cerpen ini yaitu latar waktu dan latar sosial, yang ditunjukkan pada era modern yaitu perbedaan budaya dan identitas. Sudut pandang orang pertama ditunjukan dengan penyebutan “Aku”.

Bukan hanya sekedar cerita saja cerpen karya Anton Kurnia ini memiliki makna yang mendalam. Pesan yang terkandung dalam cerpen Paspor menjadi simbol tekanan sosial dan aturan, memperkuat pesan tentang pentingnya mempertahankan identitas dan integritas. Cerpen ini mengajarkan bahwa melarikan diri dari masalah, tidak selalu menjadi solusi yang tepat untuk keluar dari lingkaran permasalahan.

Penulis: Maulinda, Rika, Aziz, Venandya, dan Feby