Di Balik Kemudi, Aku Menemukan Diriku

Perkenalkan, nama saya Angger. Saya akan menceritakan pengalaman pertama kali belajar menyetir mobil. Saya belajar menyetir karena ada sebabnya, yaitu ketika awal masuk SMA, saya baru saja putus dengan mantan saya. Saat itu, saya merasa murung, menangis, dan tidak nafsu makan selama tiga bulan. Rasa trauma mulai muncul; rasanya seperti benar-benar putus asa, bahkan sempat terpikir untuk bunuh diri. Rasa putus asa atau stres itu masih membekas hingga sekarang.

Namun, bulik saya mengetahui bahwa saya sedang mengalami putus asa mendalam, dan dia juga tahu apa hobi kesukaan saya, yaitu car enthusiast. Dari situ, bulik saya memiliki ide, yaitu menyuruh saya untuk ikut kursus mobil.

Awal mula ikut kursus, saya membayangkan latihan dilakukan di lapangan. Ternyata, latihannya langsung di jalan raya. Awalnya, saya ragu dan takut menabrak kendaraan lain. Namun, setelah berjalan, saya mulai memahami kondisi jalanan dan menguasai mobil. Meski begitu, seperti halnya pemula, tentu tidak langsung lancar. Saat belajar membuka dan menutup kopling, mobil saya sempat tersendat hingga mesinnya mati.

Saya berlatih mengemudi di kursus itu selama tujuh hari. Setelahnya, saya melanjutkan latihan di rumah dengan saudara saya menggunakan mobil jip yang belum dilengkapi power steering. Awalnya, saya kaget karena setir mobil itu sering kali berbelok sendiri jika tidak diseimbangkan. Bahkan, saya hampir menabrak pembatas jembatan.

Setelah beberapa bulan berlatih, bulik saya yang tinggal di Banjarnegara kembali ke Magelang mengendarai mobil sendirian. Ketika bulik saya hendak pulang ke Banjarnegara malam-malam, saya berinisiatif untuk mengantarnya. Bulik saya percaya bahwa saya sudah lancar mengendarai mobil, meski saat itu saya belum mempunyai SIM. Itu menjadi momen pertama saya mengendarai mobil jarak jauh. Ketika latihan hanya bisa membawa mobil pelan-pelan, saat itu saya mulai menyesuaikan kecepatan dengan kondisi jalan. Melewati jalan antar kota yang ramai, saya harus berani menyalip kendaraan lain di tanjakan dan jalan berkelok-kelok.

Ada satu momen yang mengingatkan saya pada kakek saya yang dulu berprofesi sebagai sopir travel. Ketika malam hari dalam waktu kejar tayang, jika ada lampu merah yang nanggung, biasanya diterobos saja saat kondisi jalan sepi. Bulik saya sendiri yang memerintahkan itu. Dari situ, jiwa adrenalin saya mulai terlatih di jalanan.

Berkat momen-momen tersebut, kini saya lancar mengendarai mobil. Rasa kecewa karena kehilangan mantan saya perlahan hilang, karena saya berhasil mewujudkan hobi saya. Selain itu, saya juga memiliki impian untuk melakukan roadtrip keliling Indonesia menggunakan mobil yang dibangun khusus untuk overland. Impian itu berlandaskan prinsip saya yang mencintai kebebasan. Saya ingin lepas dari tekanan hidup yang berat, berinteraksi dengan orang-orang baru di luar pulau untuk menambah wawasan, serta menikmati keindahan alam Indonesia yang bisa menenangkan pikiran dan jiwa.

Roadtrip antar pulau juga mengajarkan kita untuk saling menghargai perbedaan. Apalagi, Indonesia dikenal dengan keragaman budaya dan suku. Jika kita tidak melihat langsung keberagaman itu, rasa saling menghargai hanya sebatas ucapan. Saya menganggap belajar mengemudi mobil ini sebagai modal awal saya untuk belajar memahami perbedaan di Indonesia.

Mengapa saya memilih belajar menyetir sebagai modal? Karena ketika melakukan perjalanan darat, kita akan bertemu berbagai macam orang. Kegiatan ini juga menjadi cara saya untuk mengobati rasa galau, stres, dan pikiran yang kalut. Meskipun pilihan ini mungkin dianggap aneh oleh sebagian orang, inilah saya—seseorang yang berambisi mencari kebebasan jiwa melalui perjalanan tanpa ujung dan tanpa batas kecepatan.

Sekian pengalaman dan impian saya. Semoga cerita ini dapat menginspirasi.