Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku adalah kebanggaan keluarga—cerdas, bertanggung jawab, dan selalu menjadi contoh sempurna di mata orang tua. Adikku, di sisi lain, dianggap sebagai si kecil yang butuh perhatian dan perlindungan. Lalu aku? Aku adalah anak tengah, yang dianggap cukup kuat untuk bertahan tanpa perlu diistimewakan.
Sejak kecil, aku terbiasa mendengar kalimat, “Kamu harus kuat. Jangan merepotkan kami.” Orang tuaku menganggap bahwa aku, sebagai anak kedua, tidak punya alasan untuk mengeluh. Kakakku sudah menanggung beban berat sebagai yang pertama, dan adikku perlu dimanjakan karena masih kecil. Jadi, aku belajar menyimpan semuanya sendiri—rasa lelah, sakit, bahkan tangisan.
Setiap pagi, aku membantu ibu di dapur. Setelah itu, aku harus berangkat ke sekolah, menjaga nilai tetap baik meski aku tahu orang tuaku jarang memuji usahaku. Pulang sekolah, tugasku belum selesai. Aku membantu kakak mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, atau menemani adik bermain agar ibu bisa beristirahat. Kalau aku mengeluh? Jawabannya selalu sama, “Kamu itu laki-laki. Laki-laki harus kuat!”
Satu peristiwa yang tak akan pernah kulupakan adalah ketika aku sakit demam tinggi menjelang ujian semester. Tubuhku lemas, kepalaku terasa berputar, tapi aku tidak berani mengatakan apa-apa. Aku takut dianggap lemah. Malam itu, aku mencoba mengerjakan tugas matematika sambil menahan sakit.
Melihatku terdiam lama, ibu masuk ke kamarku. Aku berharap ia menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja. Tapi yang kudengar malah suara tegasnya, “Kamu kenapa lambat sekali? Ujian sudah dekat! Jangan malas!”
Aku hanya mengangguk pelan, menahan tangis yang hampir pecah. Setelah ibu pergi, aku menangis dalam diam. Aku tidak marah, hanya kecewa. Kenapa tidak ada yang melihat aku juga manusia, yang bisa merasa sakit dan lelah?
Hari-hari seperti itu membuatku sering merasa seperti bayang-bayang. Aku ada, tapi tidak terlihat. Setiap keberhasilanku tidak dihargai seperti keberhasilan kakakku, dan setiap kesalahanku langsung dibandingkan dengan adikku. Aku mulai bertanya-tanya, apa aku benar-benar berarti di mata mereka?
Namun, meski begitu, aku tetap mencoba bertahan. Aku berpikir, mungkin suatu hari nanti mereka akan melihat usahaku. Mungkin aku hanya perlu lebih kuat, lebih sabar, dan lebih baik lagi. Namun, semakin aku berusaha, semakin aku merasa tenggelam dalam ekspektasi yang tak pernah usai.
Ketika aku mulai beranjak remaja, aku menemukan pelarian dalam buku-buku. Di sana, aku bisa melupakan sejenak kenyataan yang selalu menuntutku menjadi sempurna. Aku membaca tentang tokoh-tokoh yang berjuang melawan dunia, dan diam-diam aku merasa mereka mengerti aku. Buku-buku itu menjadi sahabatku, tempatku menemukan ketenangan yang tidak pernah kutemukan di rumah.
Namun, pelarian itu pun tidak bertahan lama. Ketika ibu menemukan tumpukan buku di mejaku, aku kembali ditegur. “Kamu ini, bukannya belajar, malah baca buku yang nggak ada gunanya. Fokus sama masa depanmu!” katanya dengan nada tinggi. Aku hanya bisa diam, menyimpan lagi semua perasaan yang berkecamuk di dalam hati.
Di malam-malam sepi, aku sering bertanya pada diriku sendiri: apa aku akan selalu seperti ini? Apa aku akan terus menjadi seseorang yang hanya diharapkan untuk memberi tanpa pernah menerima? Aku ingin didengar, ingin dimengerti, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya meminta itu semua. Aku takut dianggap lemah, takut mengecewakan mereka yang selalu berkata bahwa aku harus kuat.
Dalam kesunyian itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Suatu hari nanti, aku akan membuktikan bahwa aku bisa bertahan, bukan karena mereka, tapi karena aku ingin hidup untuk diriku sendiri. Mungkin saat itu, aku akhirnya bisa merasa berarti.
Namun, di balik semua itu, aku menemukan kekuatan yang tidak pernah kusadari sebelumnya. Aku belajar menghadapi dunia dengan tanganku sendiri. Aku belajar untuk menjadi mandiri, untuk tidak terlalu berharap pada orang lain. Meskipun rasanya berat, aku tahu itu membuatku lebih tangguh.
Kini, ketika aku mengenang masa itu, aku tidak menyimpan dendam. Aku menyadari bahwa mungkin itulah cara orang tuaku melihatku—sebagai seseorang yang cukup kuat untuk bertahan tanpa perlu diperhatikan lebih. Tapi aku juga berjanji pada diriku sendiri: kelak, aku tidak akan mengulang pola itu pada anak-anakku. Mereka akan tahu bahwa mereka dihargai, didengar, dan dicintai, apa pun posisi mereka dalam keluarga.
Karena di balik tuntutan untuk selalu kuat, ada hati yang juga perlu dimengerti. Dan aku berharap, suatu hari, mereka akan mengerti itu juga.