Di Atas Langit Masih Ada Langit

Kosong. Hanya saja debaran jantung terdengar keras di telingaku. Deru nafas seakan berebut pintu untuk keluar masuk dalam paru paru. Sekeliling ramai orang namun seakan hilang dari pandangan. Begitulah keadaanku kala kenangan buruk masa lalu sekilas muncul di depanku secara tiba-tiba.

Seakan Aku membawa beban berat. Bingung harus diletakkan di mana beban ini. Tak ada tempat yang sesuai. Takut jika Aku mengulangi kesalahan yang sama dalam meletakkan beban. Jika kuletakkan justru malah terlempar dengan beban lebih berat kembali. Sirene di kepalaku mengatakan tidak untuk meletakkan beban.

Bagaimana dengan orang tua? Bukankah orang tua lebih memahami anaknya. Siapa kata seperti itu, diri ini bahkan menjadi penengah yang jarang diperhatikan. Ketika ku ceritakan kejadian di mana Aku takut akan masa lalu ku terulang hanya dianggap sepele. ‘Takutmu berlebihan’. Bingung bukan kepalang diri ini harus bagaimana lagi harus bercerita.

Hingga memutuskan untuk menyalahkan diri sendiri dalam segala tindakan. Melakukan segala cara menyakiti diri sendiri. Segala luka terlukis indah. Rona merah pada buku jari mempercantik keindahan jariku. Gambar dalam buku pelajaran menjadi eksotis seolah olah Aku adalah seniman utamanya. Sungguh indah goresan yang kuciptakan. Bahkan hingga detik ini bekasnya masih terlihat. Orang orang mungkin tak melihatnya, namun dalam pandanganku luka itu masih ada di sana. Membekas. Tak akan pernah hilang.

Ruang hati ini kosong. Pintunya tertutup rapat. Tidak mempersilakan masuk tamu seorang pun. Sialan. Aku muak bernapas. Sesal karena diri ini masih hidup. Payah diri ini sudah tidak kuat menopang tubuh diri sendiri. Muak kepala ini berisik setiap ingin istirahat. Memutuskan tidak tidur selama tiga malam. Bergaya seakan dirinya kelelawar. Mau dipaksa menjadi kelelawar diri ini tetap menjadi manusia di dunianya.

Tindakan lain dilakukan kedua orang tuaku setelah mendapat laporan bahwasanya putrinya sedang tidak baik-baik saja. Jembatan kala itu menjadi saksi di mana Bapak berusaha mengetuk pintu hati ku, berusaha untuk masuk. Namun pikiranku tak tertuju akan hal itu. Netraku menatap dari pinggiran jembatan ada sungai luas mengalir deras. Hatiku berkata untuk terjun. Pikiranku untuk terjun tertahan kalimat Bapak. “Kamu sudah melalui banyak hal, sudah tidak apa, istirahat sebentar, kita pergi sejenak dari dunia. Tenangkan hatimu dahulu.” Bapak berkata demikian. Nasehat nasehat seakan tetap tak mempan untukku. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sudahlah aku lelah.

Keadaanku ternyata diperhatikan oleh seseorang. Ia mengetahui hal yang ku sembunyikan padahal Aku tak pernah memberitahu siapapun. Bagaimana bisa dia mengetahui hal itu. Ia menyelamatkanku dari jurang gelap gulita. Tenangkan hati dan pikiran. Ia menyarankan untuk segera mengobati luka masa laluku pada tabib yang cakap.

Aku kala itu berumur 16 tahun, nekat dengan bekal seadanya berangkat sendiri menuju tabib yang katanya bisa menyembuhkan luka ini. Aku berada di ruangan itu sendirian. Duduk manis untuk didengarkan ceritanya. Aku hanya berharap aku baik-baik saja. “Terima kasih sudah datang. Tapi kamu harus pulang dengan keadaan sehat, berobatlah disini hingga pulih.” Kata dia padaku. Pengobatan kujalani. Hanya sembuh sedikit, baru mengering lukanya.

Jenjang selanjutnya Aku berusaha melupakan rasa itu. Menyibukkan pikiran dalam kegiatan yang positif namun toksik. Memaksa diri untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Kepanitiaan, organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler ku ikuti semuanya agar berisik di kepala ini tertunda untuk Aku pikirkan. Bak pohon yang sudah rapuh akarnya namun dipaksa berdiri dalam badai, akhirnya Aku tumbang. Kembali lagi ku torehkan luka. Ku lukis seindah mungkin.

Namun kembali lagi bersama dengan seseorang yang lagi lagi mengetahui keadaanku. Bagaimana bisa. Cenayang kah dia. Dia menyuruhku istirahat. Tenangkan hati dan pikiran. Namun kali ini berbeda kalimatnya. “Percayakan semua sama yang di Atas, Dia mengatur skenariomu jangan salahkan Dia.” Entah mengapa kalimat tersebut mengetukku. Kalimat itu bagai cahaya.

Cahaya itu mengetuk pintu. Tanpa berpikir panjang Aku membuka pintunya. Cahaya itu memberikan pandanganku yang luas. Lebih luas apa arti kehidupan ini. Baru kusadari selama ini aku hanya belum memasukkan cahaya itu dalam hati. bahwasanya dunia ini hanya fana, akhir kehidupan lah yang nyata.

Namanya juga manusia tak luput dari lupa. Terkadang asap hitam menutupi cahaya itu namun seseorang itu lagi pasti datang membawa hujan mengguyur asap mengembalikan cahaya itu. “Di atas langit masih ada langit, percaya sama yang di atas”. Allah itu selalu ada tak pernah pergi. Hanya menunggu hamba-Nya membuka pintu hati untuk-Nya.

Masih bersambung hingga akhir hayatnya.