Di Antara Takbir dan Knalpot: Malam yang Tak Lagi Sama
Pernahkah kamu merasa asing di tengah perayaan?
Malam itu, langit penuh takbir. Sebagian orang merayakan kemenangan batin, sebagian lagi merayakan kebisingan. Di tengah itu, aku pulang- di antara sorak knalpot dan bendera-bendera yang tak ku pahami makna dari adanya benda itu. Sambil berjalan, aku berpikir dan menanyakan apa yang sebenarnya mereka rayakan? Betulkah ini sebuah perayaan? Atau malah pelarian? Entah, mungkin aku tak akan mendapatkan jawabannya.
Dulu, ketika aku masih kecil, malam takbiran terasa hangat. Banyak orang berkeliling kampung berjalan kaki, membawa obor, dan mengucapkan tabir bersama-sama. Ada sensasi bahagia yang sederhana saat menontonnya.
Kini, ketika aku menjelang dewasa, aku kesulitan menghadirkan kembali rasa yang sama. Dunia berubah. Manusia berubah. Terlalu cepat.
Dewasa ini, mereka merayakan malam takbiran dengan adu knalpot dan klakson kendaraan. Mereka tidak sedang merayakan takbir, mereka sedang melupakan kekosongan. Mungkin ada banyak alasan kenapa mereka memilih kebisingan untuk mengisi malam yang seharusnya penuh ketenangan. Mungkin itu pelarian. Mungkin itu bentuk protes yang tak tau harus ditujukan ke mana. Atau mungkin, mereka hanya ingin terlihat, didengar, dianggap ada meski dengan cara yang mencemaskan.
Sangat disayangkan jika sebagian besar orang mulai percaya bahwa takbir adalah tentang seberapa keras suara, bukan seberapa dalam makna. Tapi mau gimana lagi? Ketika ruang untuk hening makin hilang, dan suara-suara bising dianggap sebagai simbol kegembiraan, maka perayaan pun bisa berubah menjadi pelampiasan.