Sumber: Woman sitting leaning forehead on knee photo – Free Crying Image on Unsplash
Belakangan ini berbagai media massa dipenuhi berita yang sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak memprihatinkan? Setiap harinya di media massa selalu muncul berita kekerasan seksual dengan kasus yang berbeda dan seluruh korbannya adalah perempuan. Kekerasan seksual itu sendiri merupakan setiap perbuatan yang berindikasi merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau tindakan lainnya terhadap tubuh seseorang yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual, dan/atau fungsi reproduksi yang dilakukan secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang. Kekerasan seksual tersebut meliputi pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, kontrol seksual, dan lain sebagainya.
Dalam kasus kekerasan seksual, perempuan sering kali menjadi korbannya. Hal itu disebabkan karena adanya budaya patriarki yang berkembang dan mengakar kuat di masyarakat. Konstruksi sosial dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya patriarki tersebut memunculkan adanya ketidaksetaraan gender. Dalam budaya patriarki, perempuan selalu dianggap sebagai inferior, kelas kedua, lemah, dan subordinasi laki-laki. Anggapan seperti itulah yang membuat perempuan sering kali dimanipulasi secara seksual dengan cara dilecehkan. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan tersebut menunjukkan bahwa eksistensi ruang aman bagi perempuan patut dipertanyakan. Perempuan membutuhkan ruang aman yang membuat mereka bergerak leluasa ketika melakukan aktivitas tanpa perlu merasa takut maupun terancam akan mengalami kekerasan maupun pelecehan.
Kekerasan seksual kini sudah tidak hanya terjadi di ruang privat, tetapi juga banyak terjadi di ruang publik. Kasus kekerasan seksual semakin lama semakin mirip dengan fenomena gunung es. Beberapa kasus bagaikan puncak gunung es yang muncul di permukaan laut karena telah dilaporkan oleh korbannya. Namun, kasus yang tidak dilaporkan ternyata bagaikan tubuh gunung es yang lebih besar dari puncaknya dan tenggelam jauh hingga dasar laut. Beberapa kasus tidak tampak ke permukaan karena sering kali terjadi pembungkaman maupun pengancaman yang dilakukan oleh pelaku ketika korban ingin melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Misalnya pada beberapa hari lalu, muncul berita seorang pelaku kekerasan seksual yang menyalahgunakan kekuasaannya agar tidak disalahkan. Pelaku tersebut mengancam korbannya agar mau menyelesaikan kasus tersebut dengan cara damai. Jika korban menolak, si pelaku mengancam akan membuat si korban menjadi tersangka dengan berbekal kekuasaan yang dimiliki oleh si pelaku.
Kasus kekerasan seksual sering kali diikuti dengan tindakan menyalahkan korban (victim blaming). Misalnya, perempuan sering kali disalahkan atas pakaiannya yang memancing nafsu lawan jenis. Kebiasaan menyalahkan pihak perempuan ternyata sudah menjadi kebiasaan di masyarakat. “Salah siapa pakaiannya terlalu seksi”, begitu kata mereka. Namun, ketika perempuan sudah menggunakan mukena yang sangat tertutup, masih saja muncul kasus perempuan yang digerayangi saat menunaikan ibadah sholat. Bahkan, ketika perempuan memutuskan untuk tinggal di pesantren, muncul berita seorang guru pesantren yang memperkosa murid pesantrennya. Kata orang-orang, perempuan tidak boleh pergi terlalu jauh, apalagi hingga larut malam. Kata mereka lebih baik perempuan di rumah saja agar tetap aman. Namun, kasus kekerasan seksual oleh anggota keluarga tidak jarang bertengger di media massa. Lantas di manakah sebenarnya ruang aman untuk perempuan?
Kemudian, beberapa hari lalu saya sempat membaca kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswa di salah satu universitas ternama di Indonesia. Universitas yang seharusnya menjadi tempat untuk menempuh pendidikan malah menjadi tempat yang tidak cukup aman untuk mahasiswa. Sebagai sesama mahasiswa, saya turut merasa prihatin sekaligus merasa kesal melihat berita tersebut. Namun, ketika membaca keseluruhan berita, rasa prihatin saya mulai didominasi rasa marah. Dari berita tersebut, saya mengetahui bahwa pelaku dari kasus kekerasan seksual tersebut adalah seorang dosen. Peran dosen yang seharusnya memberi ilmu dan membimbing mahasiswa agar memiliki masa depan yang cerah malah justru berbalik arah merusak masa depan mahasiswanya sendiri hanya demi kepuasan pribadi.
Harus seperti apa lagi seorang perempuan berpakaian? Bagaimana agar perempuan merasa aman di mana pun mereka berada? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering kali muncul di benak saya. Menurut saya, seharusnya penyebab kekerasan seksual tidak dapat dibebankan hanya kepada perempuan saja. Bagaimana dengan seorang laki-laki yang tidak dapat menahan hasrat seksualnya? Bagaimana dengan laki-laki yang menyalahgunakan kekuasaannya demi kepuasan pribadi? Mengapa pada akhirnya segala tindakan laki-laki seolah tampak dibenarkan, sedangkan tindakan perempuan sering kali disalahkan?
Kekerasan seksual saat ini menjadi isu yang harus diprioritaskan untuk ditangani. Mengingat banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, eksistensi ruang aman untuk perempuan perlu diwujudkan secara konkret. Namun, untuk mewujudkan ruang aman bagi perempuan, diperlukan partisipasi dari seluruh masyarakat, termasuk pemerintah. Penciptaan ruang aman bagi perempuan harus dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu dengan memberi edukasi sejak dini kepada masyarakat mengenai kekerasan seksual. Kemudian, pemerintah juga harus turut andil dalam memberikan kepastian dan ketegasan hukum mengenai kekerasan seksual. Kemudian, pola asuh yang ada di masyarakat harus dijauhkan dari pengaruh budaya patriarki agar perempuan tidak terus menerus dianggap menduduki kelas kedua atau subordinasi laki-laki yang dapat dimanipulasi kapan saja. Jika berbagai upaya untuk mengatasi kekerasan seksual sudah dioptimalkan, ruang aman untuk perempuan dapat tercipta dengan sendirinya.