Dari Ibu untuk (Bahasa) Ibu

Oleh: Hubbi S. Hilmi & M. Rohmadi

Hari itu minggu, minggu yang cukup lengang untuk saya sampai pada sebuah acara diskusi tentang upaya dan usaha pelestarian bahasa daerah yang diselenggarakan oleh salah satu universitas di Indonesia. Narasumbernya bukan main, seorang linguis dari Amerika, Prof. James T. Collins. Seperti biasa, acara mundur sekian menit hingga sekian jam menunggu para akademisi yang belum juga datang. Tampaknya, pada hari minggu pun mereka sangatlah sibuk dan perihal waktu seperti biasa hanya penanda saja, tak lebih dari itu.

James T. Collins memulai diskusi dengan memaparkan usaha dan upayanya yang cukup lama dan pelik untuk mengidentifikasi, meraut, hingga menyusun kamus bahasa daerah – bahasa Inggris. Ia menjelaskan sejumlah kendala dalam penyusunan kamus, mulai dari para pengguna bahasa yang meninggalkan bahasa daerahnya hingga kesalahan umum dalam penulisan kamus berbahasa daerah. James T. Collins menggambarkan bahwa para pengguna bahasa daerah telah banyak terkontaminasi oleh sejumlah bahasa daerah lain, mulai dari kosakata yang diucapkan, dialek, hingga terkontaminasi juga oleh bahasa nasional, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Collins juga memaparkan bahwa ia membutuhkan berpuluh-puluh tahun untuk dapat menyelesaikan kamus bahasa daerah – bahasa Inggris yang disusunnya hingga berhasil dicetak, kamus itu diberi nama Kamus Bahasa Bacan – Inggris (Bacan – English Dictionary).

Selain memaparkan kesulitan dalam mengidentifikasi bahasa ibu (bahasa daerah), kesulitan – dan Collins mempertegas dengan sebutan kesalahan – dalam menyusun kamus bahasa daerah ialah ketakmampuan para penyusun kamus berlogika. Para akademisi, para penyusun kamus atau entah siapapun yang mencoba menyusun kamus bahasa daerah, terkadang menyusunnya dengan logika yang salah, mereka (baca: para akedemisi, para penyusun kamus) menyusun kamus bahasa daerah berlandas pada bahasa yang mereka mengerti (bahasa para penyusunnya). Semisalnya menyusun kamus dengan berlandas pada bahasa Indonesia atau bahasa tujuannya. Kosakata acuan yang digunakan sebagai penentu kosakata dalam kamus disusun kerap menggunakan kosakata bahasa Indonesia. Hal tersebut tak seharusnya dilakukan, tak sesuai logika penyusunan kamus, tersebab penyusunan kamus bahasa daerah – bahasa Indonesia (bahasa lain) seharusnya berpedoman atau mengacu pada kosakata bahasa daerah itu sendiri, bukan malah sebaliknya.

Selain Prof. James T. Collins, diskusi juga menghadirkan satu pemateri penting lainnya, Prof. Gufran Ali Ibrahim guru besar Antropolinguistik Universitas Khairun. Masih beririsan dengan yang disampaikan Collins sebelumnya, Prof. Gufran juga menyampaikan penting dan gentingnya pelestarian bahasa daerah di zaman yang serba modern ini. Zaman yang serba cepat ini memang merupakan tantangan perkembangan bahasa daerah dan sastra daerah. Para pemuda, khususnya para akademisi di bidang bahasa dituntut untuk bekerja dan berpikir ekstra, kreatif, dan melek perkembangan teknologi dalam upaya pelestarian bahasa daerah.

Pun Collins menambahkan ketika saya mengacungkan tangan, bertanya terkait langkah konkrit apa yang dapat kita upayakan dalam rangka menjaga stabilitas bahasa daerah di zaman yang menuntut tiap individu untuk mengupgrade diri ini. Bahkan mengupgrade kemampuan diri mereka dalam berbahasa asing dan terlebih bukan lagi menjadi rahasia, bahwa di era digital ini, prestise bahasa daerah dalam pergaulan kalah jauh dibandingkan bahasa nasional apalagi bahasa asing, terlebih lagi dalam pergaulan sosial media. Hal tersebut kerap membuat para generasi yang seharusnya menjaga dan melestarikan bahasa daerah ciut nyalinya untuk berkoar menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. khususnya dalam dunia digital. Lantas langkah apa yang seharusnya dilakukan? Apakah telah tepat dengan terus melakukan inventarisasi bahasa daerah semacam membuat kamus?

Ibu Menjadi Pionir

Collins pun menjelaskan bahwa inventarisasi semacam membuat kamus dan penelitian-penelitian tak cukup dalam upaya dan usaha pelestarian bahasa daerah. Dibutuhkan revitalisasi bahasa daerah, semisal memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi. Meramu perkembangan teknologi dan informasi dengan bahasa daerah sasaran yang hendak dilestarikan. Hal ini tentu menuntut peran serta, bukan hanya para akademisi dalam bidang bahasa namun juga para intektual yang bergelut dalam dunia teknologi dan informasi. Misalnya membuat aplikasi game yang dalam pengoperasionalannya menggunakan bahasa daerah.

Invetarisasi bukan solusi untuk mencapai lestarinya bahasa daerah, sebab bahasa-bahasa yang telah dicatat hanya akan dicari dan dibaca oleh kalangan-kalangan tertentu saja yang memang memiliki kepentingan sendiri terkait bahasa-bahasa daerah tersebut. Lebih miris jadinya ketika tak ada yang mencarinya, maka catatan terkait bahasa daerah akan lapuk dimakan rayap di rak-rak buku perpustakaan, yang di era digital ini, perpustakaan pun telah jarang untuk dikunjungi.

Prof. Gufran turut menawarkan satu tawaran untuk belajar bahasa ibu (daerah) di kampung sendiri. Semisalnya dengan memberikan kepercayaan penuh pada para ibu, menjadikan para ibu di daerah-daerah sebagai pionir bahasa ibu, dengan memberikan mereka semacam penghargaan (honor/upah) untuk menjadi guru bahasa daerah bagi anaknya sendiri. Tersebab lestari dan punahnya bahasa daerah berawal dari kampung sendiri, berawal dari ruang lingkup keluarga. Tengok saja sejumlah keluarga, semisal yang menikah di usia muda atau para keluarga yang menikah berbeda suku dan bahasa, maka akan kita dapati pemerolehan bahasa anak yang pertama dalam ruang lingkup keluarga tersebut berupa bahasa nasional, dalam hal ini bahasa Indonesia.

Perlu pengubahan pola pikir bagi para orang tua sebagai pionir bahasa ibu (bahasa daerah), perubahan pola pikir yang pertama ialah terkait pola pikir yang beranggapan bahwa anak yang menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya bukan berarti anak tersebut lebih pintar daripada anak yang menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini bukan lagi merupakan rahasia, bahwa para orang tua memiliki anggapan semacam itu. Pola pikir berikutnya ialah bahwa para orang tua seharusnya lebih legowo, lebih nerimo bahwa pengajaran bahasa Indonesia biarlah menjadi urusan para guru bahasa Indonesia di ruang-ruang kelas dan kita sebagai orang tua tak seharusnya mengkudeta ranah tersebut. Memberikan kepercayaan yang besar bagi para ibu, bagi para orang tua sebagai para pionir, sebagai garda terdepan pelestarian bahasa daerah di masing-masing daerah merupakan salah satu upaya yang dapat dipertimbangkan, selain invetarisasi untuk pengarsipan juga revitalisasi bahasa daerah agar tak ditelan arus modernisasi.

Biodata Penulis

  • Hubbi S. Hilmi merupakan mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta dan salah satu tenaga pengajar di Universitas Khairun Ternate.
  • M. Rohmadi merupakan salah satu dosen di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan merupakan ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI) Indonesia.
3 Likes