Crowd Surf dan Tanah Indah: Malam Tak Terlupakan di Konser FSTVLST Jogja

Musik, bagi saya, bukan sekadar hiburan. Ia adalah ruang aman, tempat saya merasa dimengerti tanpa perlu menjelaskan terlalu banyak. Musik adalah pelarian, sekaligus pengingat bahwa saya tidak sendiri menjalani semua ini.

Sebagai anak muda, sering kali ada kegelisahan, tekanan, bahkan kekosongan yang sulit dijelaskan. Saat itulah FSTVLST hadir dalam hidup saya, sebuah band asal Yogyakarta yang lirik-liriknya terasa seperti catatan harian generasi yang sedang bertumbuh dan bertarung dengan realita.

Konser FSTVLST

Beberapa waktu lalu, saya akhirnya punya kesempatan menonton konser FSTVLST langsung di kota asal mereka, Yogyakarta. Sejak awal malam, suasananya sudah terasa berbeda. Venue penuh dengan orang-orang yang membawa semangat dan keresahan yang sama.

Asap tipis dari panggung bercampur dengan lampu warna-warni yang menari-nari di udara. Ketika lagu “Menantang Rasi Bintang” dimainkan sebagai pembuka, semua langsung berdiri, melompat, dan bernyanyi keras.

Ada semacam energi kolektif yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rasanya seperti berada dalam rumah rumah yang dibangun dari lirik, nada, dan pelukan tak kasat mata dari orang-orang yang bahkan tidak saya kenal.

Lagu “Tanah Indah”

Salah satu momen paling emosional malam itu terjadi saat FSTVLST memainkan lagu “Tanah Indah”. Lagu ini berbicara tentang harapan yang lahir dari kegetiran, tentang pencarian tempat di dunia yang keras dan tak selalu adil. “Tanah Indah” bukan hanya soal tempat fisik, melainkan soal ruang dalam diri: ruang untuk pulih, tumbuh, dan merasa pantas. Ketika bagian reff dimainkan, ribuan suara bergabung menjadi satu. Semua bernyanyi lantang, seakan meluruhkan luka bersama-sama.

Saya merinding. Itu bukan tangisan sedih, melainkan bentuk kelegaan bahwa ternyata banyak dari kami yang merasa hal yang sama, dan malam itu kami tidak sendiri.

Crowd Surf

Namun puncak dari malam itu adalah saat FSTVLST membawakan lagu “GAS”. Di tengah suara keras gitar dan dentuman drum yang meledak-ledak, saya memutuskan melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya yakni crowd surf. Ketika tubuh saya terangkat dan mulai digiring oleh tangan-tangan orang asing, jantung saya berdebar hebat. Tapi anehnya, tidak ada rasa takut hanya kepercayaan dan kebebasan.

Saat tubuh saya melayang, lirik lagu “GAS” terngiang jelas di telinga:
“Berjalan tak seperti rencana adalah jalan yang sudah biasa, dan jalan satu-satunya, jalani sebaik kau bisa.”

Hidup Tidak Selalu Berjalan Sesuai Ekspektasi

Kalimat itu seperti berbicara langsung kepada diri saya yang sedang belajar menerima bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai ekspektasi. Dalam crowd surf itu, saya merasa sedang merayakan kegagalan dan keberhasilan sekaligus.

Bahwa jatuh bangun adalah kewajaran, dan keberanian untuk terus melaju adalah kemenangan tersendiri. Crowd surf bukan sekadar aksi fisik, tapi simbol pembebasan, melepaskan beban, menerima arah yang tak pasti, dan memilih untuk tetap melangkah.

Alat Komunikasi Emosional

FSTVLST memang bukan band biasa. Mereka tidak hanya memainkan lagu, tetapi menghidupkannya. Penampilan Farid Stevy di panggung dengan gaya teatrikal dan suara penuh amarah terasa sangat jujur. Lirik-lirik mereka seperti tulisan dari buku harian banyak orang, tapi diucapkan dengan lantang tanpa malu.

Di konser itu, saya melihat musik bukan lagi sekadar pertunjukan, tapi menjadi alat komunikasi emosional dua arah antara panggung dan penonton. Tidak ada yang pura-pura. Semua meledak, mengalir, dan jujur.

Luka dan Harapan

Setelah konser usai, saya duduk sejenak di pinggir area. Tubuh saya lelah, tapi hati saya terasa penuh. Saya sedang memeluk versi diri saya yang dulu takut gagal, yang dulu merasa sendirian, yang dulu terlalu takut untuk mengambil langkah besar.

Malam itu bukan hanya tentang musik, bukan hanya tentang crowd surf. Malam itu adalah perayaan atas perjalanan hidup yang jatuh bangun, dan keputusan untuk tetap menjalaninya sebaik mungkin.

Musik malam itu menjadi bahasa yang menjembatani luka dan harapan. Ia menjadi pengingat bahwa kebebasan bisa datang dari hal-hal kecil seperti menyanyikan lirik sekuat-kuatnya, melompat bersama kerumunan, atau bahkan terbang di atas tangan orang-orang asing. Dan di titik itu, saya tahu saya benar benar merasa hidup.