Cerpen "Bungsu"

Bungsu
Karya: Nusaiba Nurahmah

Entah sudah pukul berapa sekarang, namun langit terlihat mulai menenggelamkan mataharinya. Sedangkan Johana masih memandangi layar laptopnya sambil sesekali membuka buku-buku yang menumpuk di ujung meja kamarnya. Hari ini adalah hari liburnya, namun ‘oleh-oleh’ dari dosennya itu tak kunjung rampung digarap oleh Johana. Johana sesekali menghela napas sebagai tanda ia muak dengan apa yang ia lakukan sekarang.

Sayup-sayup terdengar suara ibu dari arah dapur, “Johana! Oh Johana!” Johana mengehela napas panjang. Dengan memasang muka yang agak masam ia berjalan menuju ke dapur “Ada apa bu?” “kau ini dari mana saja? Satu hari ini kau hanya di kamar terus, tidur saja kah kau?” ibu menjawab sambil membolak-balik tempe di atas wajan. Lagi lagi, Johana menghela napas, ia merasa tak ada tenaga untuk menjawab cecaran ibunya itu. “tidak bu, aku dari tadi mengerjakan tugas kuliahku, aku bahkan sama sekali tak memejamkan mataku.” Johana menjawab dengan menahan emosinya sembari mengatur nafasnya. “Oh, yasudah tolong belikan ibu telur di kedai Wak Ida”. Tanpa memberi jawaban apapun Johana berbalik badan dan keluar rumah sambil membawa dompet berisi uang.

Di jalan, Johana tak kuasa menahan tangisnya. ‘apakah aku terlihat seperti anak malas? apakah aku tampak seperti anak yang tak berbakti kepada orang tua? Bahkan ibu membutuhkanku saat ia sedang memarahiku sekalipun. Kenapa ibu selalu menyuruhku untuk membeli bahan masakan ke kedai Wak Ida? Kenapa tidak kak Jovian saja yang membeli? Apa salahnya anak laki-laki pergi ke kedai membeli telur? Toh, telur tidak memandang gender. Namun, menurut Johana marah bukanlah menjadi solusinya karena justru ia semakin akan disalahkan oleh orang tuanya jika ia memasang muka masam.

Malam pun tiba, Johana lebih memilih untuk melupakan kedongkolan dengan ibunya tadi sore. Ayah, Ibu, Johana dan Jovian kakak laki-lakinya duduk santai di ruang keluarga sembari menonton televisi. “Jovian, bagaimana pekerjaanmu di kantor?” tanya ibu kepada Jovian. “sangat baik bu, bahkan kemarin aku mendapat tawaran untuk dipromosikan. Sebentar lagi mungkin pangkatku akan naik bu hehe” jawab Jovian dengan bangganya. “Kau lihatlah kakakmu ini Johana, pekerjaannya lancar, bahkan dia mendapat tawaran untuk dipromosikan, sebentar lagi akan naik pangkat, kau tahu berkat apa? Semua ini berkat ketekunan ia belajar saat kuliah sehingga dia bisa lulus tepat waktu dengan nilai tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Contohlah kakakmu ini Johana, jangan jadikan tidurmu itu sebagai hobi” kata ibu sambil menatap Johana yang sedang menonton televisi. Mata Johana yang sedang melihat televisi seketika berkaca-kaca, Johana menunduk dan mulai menatap mata ibunya. “Apa yang ibu katakan? Menjadikan tidur sebagai hobiku? Bu, setiap malam aku selalu minum kopi untuk apa? untuk memperpendek waktu tidurku, bahkan setelah pulang kuliah pun aku selalu belajar di kamar bu, apakah aku harus belajar di depan mata ibu untuk bisa memvalidasi hasil kerjaku? Apakah selama ini ibu menemukan IPK-ku dibawah 3,9? Tidak kan bu? Lalu aku harus bagaimana agar bisa menjadi seperti yang ibu harapkan?”. Sebenarnya, Johana tidak ingin menjawab ibunya, namun ia sangat muak karena selalu dibandingkan dengan kakaknya. Selalu diminta untuk mencontoh kakaknya yang bahkan Johana sendiri merasa dirinya lebih baik dari kakaknya. Ayah, ibu dan Jovian yang mendengar jawaban Johana tersentak kaget. Johana hiraukan situasi tersebut dan kembali ke kamarnya.

Di ruang ternyamannya itu, Johana menyelimuti dirinya sambil merenungi kejadian tadi. ‘ tahu akan seperti ini, lebih baik aku dulu nekat mendaftar kuliah di luar negeri. tahu begini, aku lebih baik bekerja daripada harus kuliah dibawah tekanan orang tua ku.’ Rasa penyesalan yang bertubi-tubi dilontarkan oleh Johana. ‘aku menyesal sekali dulu mengapa aku harus mau kuliah di kampus dekat rumah? Kenapa dulu aku menerima dengan sangat lapang.’ Sebenarnya, bukan pertama kalinya Johana mengalami momen seperti ini. Namun, momen ini selalu terulang karena tak ada suatu evaluasi diantara mereka.

Seperti biasa, luka Johana kembali terkubur dalam wajah cerianya. Keadaan kembali seolah tidak ada suatu hal yang perlu diperbaiki. Lima hari lagi Jovian akan dipromosikan, Jovian terlihat sangat sibuk, saking sibuknya ia sampai tak pulang selama beberapa hari ini. Walaupun hari-hari biasa pun, kakaknya itu sering menginap di kos temannya dan tak pulang ke rumah. Namun hari ini, ibunya jatuh sakit, sehingga semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Johana sebagai anak perempuan terakhir. Dari mulai memasak, mencuci, membersihkan rumah, membeli obat untuk ibu, dan menyuapi ibu semuanya dikerjakan oleh Johana sendiri tanpa dibantu oleh kakaknya, Jovian. Bahkan di kala ibunya sakit, Jovian masih bersikeras menyelesaikan persiapan promosinya tanpa menjenguk ibu sekalipun. ‘Lihatlah sekarang? Bahkan aku anak yang selalu ada di sisi ibu. Mau sampai manakah ibu akan memperlakukanku seperti anak yang tak berguna?’

Menurut Johana, anak perempuan terakhir adalah ia yang tak memiliki tempat untuk bercerita, yang usianya bersaing dengan usia orang tuanya, yang telah mulai kehilangan masa kejayaan orang tuanya, yang selalu terlihat manja namun nyatanya dipaksa dewasa oleh keadaan, yang memilih memendam lukanya karena tak ingin memberikan beban kepada orang lain, yang selalu dianggap kuat dan baik-baik saja padahal ia kesepian, sendiri dan tidak ada yang mengerti.